Oleh Ngainun Naim
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), integritas berarti keterpaduan; kebulatan;
keutuhan; jujur dan dapat dipercaya. Orang yang memiliki integritas akan
menjadi teladan bagi orang lain. Mereka memiliki kesatupaduan antara apa yang
diucapkan dengan yang dilakukan, antara nilai dengan perilaku, antara yang
ideal dengan realitasnya.
Secara
sangat mengesankan, Daniel Goleman menyatakan bahwa, ”Integritas—bersikap
terbuka, jujur, dan konsisten—ikut mengantar orang menjadi jawara dalam bidang
apa pun”. Jawara dalam makna ini, menurut saya, adalah kesuksesan. Karena itu,
jika orang ingin sukses maka ia harus memiliki integritas pribadi.
Manusia
yang memiliki integritas semakin hari tampaknya semakin berkurang. Lihat saja
bagaimana para pemimpin dan tokoh masyarakat sekarang ini justru menunjukkan
perilaku yang kurang mencerminkan integritas pribadinya. Sebagai orang penting,
pemimpin dan tokoh masyarakat seharusnya mampu menunjukkan integritas
pribadinya sehingga menjadi teladan bagi masyarakat luas. Tetapi realitas
tampaknya sering kontradiktif dan tidak sesuai dengan harapan.
Banyaknya
persoalan di negeri ini disebabkan oleh—salah satunya—faktor kepemimpinan yang
kurang memiliki integritas. Jika kita cermati, ada beberapa hal yang dapat
dicermati dari potret kepemimpinan yang semacam ini. Pertama, kebijakan pemimpin tidak berorientasi pada bagaimana
mensejahterakan rakyat secara optimal, tetapi yang lebih diutamakan adalah image building. Implikasinya, kebijakan
yang dibuat lebih bersifat pencitraan dan sarat kepentingan. Model kebijakan
semacam ini biasanya bersifat trickle up
effect yang menguntungkan kelompok tertentu yang menyokong kekuasaan.
Kedua,
pemimpin
pro status quo. Inovasi yang signifikan untuk
merubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik jarang dilakukan. Mereka ragu
mengambil kebijakan tegas sehingga berbagai persoalan tidak pernah
(di)selesai(kan) secara tuntas. Persoalan hubungan antaragama selalu saja
menyisakan agenda dan peluang untuk terulang kembali karena inovasi untuk
menyelesaikannya tidak dilakukan secara tuntas.
Ketiga, pemimpin memposisikan rakyat layaknya pemain dalam suatu
proses perdagangan. Keputusan yang diambil harus mencerminkan hubungan
untung-rugi. Kepekaan yang diasah bukan kepekaan krisis (sense of crisis) dan keprihatinan sosial, melainkan kepekaan pasar
(sense of market).
Keempat, pemimpin yang hanya menampilkan silat lidah yang
menakjubkan, bukan pemimpin yang mengedepankan mata hati sebagai oase
kehidupan. Kita sebenarnya membutuhkan pemimpin altruistik yang bersenyawa
dengan denyut nadi rakyat, bukan justru sebaliknya.
Kelima, pemimpin yang tidak mampu memberikan pencerahan bagi
perubahan bangsa dan negaranya. Pemimpin semacam ini hanya menjalankan tugas
kepemimpinan dengan orientasi yang tidak jelas. Jabatan hanya digunakan sebagai
sarana untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Di
saat semacam ini, muncul kerinduan terhadap adanya kepemimpinan yang
berintegritas. Masyarakat sudah jenuh dengan model pemimpin yang kurang sesuai
dengan harapan masyarakat. Dalam bahasa Karen Armstrong, manusia itu selalu
merindukan bentuk kepemimpinan yang lebih penuh kasih dan berprinsip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.