Studi Islam
merupakan bidang kajian yang sudah cukup
lama. Ia telah ada bersama dengan adanya agama Islam. Studi Islam dalam
pengertian ini adalah studi Islam secara praktek. Tetapi, studi Islam sebagai
sebuah ilmu yang tersusun secara sistematis, ilmiah, dan dibangun sebagai
sebuah ilmu yang mandiri baru muncul dalam beberapa dekade terakhir.
Di PTAI,
studi Islam menjadi nama sebuah mata kuliah. Pengantar Studi Islam (PSI) atau
Metodologi Studi Islam (MSI)
adalah nama mata kuliah yang bertujuan mengenalkan mahasiswa untuk
memahami
aspek-aspek ajaran Islam secara mendasar. Dengan mata kuliah ini, mahasiswa
diharapkan memiliki pemahaman ajaran Islam secara lebih utuh, komprehensif, dan
inklusif.
Materi dalam
buku ini berusaha penulis sesuaikan dan kontekstualisasikan dengan dinamika
yang tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Pembahasan
buku ini diharapkan memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan
kesadaran mahasiswa terhadap makna penting agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini penting untuk dipertegas karena modernitas sekarang ini telah
meminggirkan agama dalam kehidupan manusia.
Salah satu materi penting dalam buku ini adalah kebutuhan manusia terhadap
agama. Jika dilacak lebih mendalam, kebutuhan manusia terhadap agama berkaitan
erat dengan hakikat dirinya. Sejarah panjang kehidupan manusia selalui diwarnai
dengan diskusi,
perdebatan, dan penelitian tanpa henti tentang
hakikat dirinya.
Mungkin aneh kedengarannya bahwa manusia justru bertanya dan meneliti tanpa
henti tentang hakikat dan eksistensi dirinya. Tetapi itulah kenyataannya.
Pertanyaan tentang siapa manusia, apa hakikatnya, dan hal ikhwal yang berkaitan
dengan eksistensinya terus bergulir tanpa mampu dihentikan. Berbagai jawaban
dan penemuan ternyata belum juga mampu menuntaskan terhadap persoalan ini.
Selalu saja terbuka ruang untuk mempertanyakan dari setiap penemuan yang telah
ada. Dan ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat sebuah penemuan memang
relatif sifatnya. Selain itu, dinamika dan perkembangan juga terus berlangsung
dengan derasnya yang mengakibatkan sebuah temuan akan segera kekurangan, atau
bahkan kehilangan relevansinya.
Jika Anda
bertanya tentang manusia kepada seorang psikolog, maka jawaban yang akan muncul
juga lebih didominasi oleh perspektif kejiwaan. Sisi-sisi lainnya otomatis akan
terabaikan, atau minimal kurang memperoleh perhatian secara proporsional. Coba
Anda minta komentar kepada para ahli ilmu sosial tentang manusia, maka jawabannya
juga lebih berkaitan dengan aspek relasi antar manusia. Demikian juga dengan
bidang-bidang keilmuan lainnya.
Begitulah
perkembangan dan perdebatan tentang manusia. Tidak pernah ada kata berhenti
atau puas. Selalu muncul sisi lain yang belum terkuak, karena dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan berarti menyisakan sisi yang belum terungkap.
Prosesnya berlangsung secara terus menerus tanpa henti. Hal ini sekaligus
memberikan pelajaran berharga buat kita bahwa sepanjang sejarah manusia,
pertanyaan tentang manusia memang tidak akan pernah tuntas terjawab. Tidak ada
sudut pandang yang mampu menjawab secara tuntas terhadap pertanyaan ini.
Namun
demikian, ada satu sisi yang kurang memperoleh perhatian, tetapi sesungguhnya
sisi ini menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dari manusia. Yaitu realitas
bahwa manusia tidak hanya membutuhkan aspek yang bersifat fisik-material
belaka, tetapi juga membutuhkan sesuatu yang mampu memenuhi kebutuhannya secara
rohaniah. Ya, manusia membutuhkan agama. Kebutuhan ini bersifat primordial dan
tidak bisa diingkari. Mengingkarinya hanya sebuah kesia-siaan belaka. Karena
itu, ketika ada manusia yang mengikuti ideologi ateis, sesungguhnya ia telah
mengingkari eksistensi dirinya yang paling mendasar. Walaupun secara tegas dan
dengan arogan ia mengingkari akan adanya Tuhan, suatu saat ia pasti akan
membutuhkannya. Kebutuhan akan Tuhan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari
alam bawah sadar manusia.
Kita
dapat belajar dari kasus yang menimpa pimpinan komunis terbesar, Lenin. Sebagai
pengembang ideologi ateis, tentu saja ia harus menjadi teladan dari ideologi
yang dikembangkannya. Ia menjadi pioner dan jejak hidup dari apa yang
digagasnya. Tetapi nampaknya ia tidak menyadari bahwa suatu saat akan muncul,
baik sadar atau tidak, kerinduan akan Tuhan. Dan itu benar-benar ia alami.
Suatu
ketika, ia dalam perjalanan dinas dengan pesawat helikopter. Dalam pesawat
tersebut hanya ada dia bersama sang pilot. Pada awalnya, perjalanan berlangsung
dengan cukup lancar. Tidak ada persoalan teknis yang mengganggu perjalanan
dinas bos sosialis-komunis tersebut. Namun ketika berada di daerah pegunungan,
pesawat mengalami gangguan mesin. Jalannya pesawat menjadi oleng tak tentu
arah. Keduanya menjadi panik. Dalam kondisi yang sedemikian darurat, tiba-tiba
terdengar suara teriakan. “Tuhan, selamatkan kami”. Sang pilot terkejut. Sontak
ia menoleh keheranan. Dalam pesawat tersebut hanya ada dia dan sang Bos
Komunisme. Ia keheranan dan ragu akan apa yang didengarnya. “Tuan, salahkah
yang barusan aku dengar?”. Tidak kalah kagetnya dengan sang pilot, Lenin pun
menjadi salah tingkah. Ia menjadi bingung. Mengapa tanpa sadar ia mengucapkan
kalimat tersebut. Bukankah kalimat tersebut menunjukkan suatu ungkapan yang
mengakui adanya Tuhan? Bagaimana mungkin kalimat tersebut muncul dari tokoh
yang memproklamirkan tidak adanya Tuhan?
Nampaknya
Lenin tidak menyadari bahwa pengakuan akan adanya Tuhan yang termanifestasi
dalam ajaran agama merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendasar.
Menghilangkan, atau tidak mengakui adanya Tuhan adalah sebuah usaha menipu
terhadap diri sendiri. Dalam konteks inilah, penting untuk memperhatikan
pernyataan Anselm von Feuerbac, Religion in welcher Form sie auftritt bleibt
das ideale Bedurfnis der Menschheit [Agama, dalam bentuk apa pun dia
muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia]. Bagi Feuerbach, peranan
agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia, tanpa agama, tidak
dapat hidup sempurna. Sayangnya, bertolak belakang dengan pendapatnya, anaknya
yang sangat masyhur sebagai filsuf materialis, Ludwig von Feuerbach, justru
mempersetankan agama. Bagi Feuerbach yunior, hal yang utama bukan agama.
Katanya, “Der Mensch ist, war er iszt,” [Manusia adalah apa yang
ia makan]. Makanan menentukan kehidupan manusia, termasuk kehidupan beragamanya.(Ini adalah sebagian pengantar untuk buku saya, Pengantar Studi Islam, terbitan Gre Publishing Yogyakarta).
ada ebooknya gak ya
BalasHapusada ebooknya gak ya
BalasHapus