Sabtu, 13 Juli 2013

JEJAK HIDUP ANTON TABAH



JEJAK HIDUP ANTON TABAH
Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim

Kedua, dunia menulis. Anton Tabah, sebagaimana paparan di awal tulisan ini, adalah seorang kolomnis yang sangat produktif. Ia tidak hanya produktif menulis artikel, tetapi juga memberikan seminar, mengisi berbagai acara, dan juga menulis buku. Menurut pengakuannya, ia telah menulis ribuan artikel, ratusan makalah, dan puluhan judul buku. Tercatat hingga sekarang ia menulis 37 judul buku. Ini tentu prestasi yang tidak sederhana. Menulis, sebagaimana umum diketahui, bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Anton Tabah adalah seorang yang berprofesi polisi. Hanya sedikit polisi yang menekuni dunia menulis. Justru pada posisi inilah Anton Tabah menjadi ”makhluk istimewa”.
Ada banyak suka duka yang dialami oleh Anton Tabah berkaitan dengan kegiatannya menulis. Hobi menulisnya telah tumbuh semenjak ia mahasiswa. Hobi menulis ini yang membuat nama Anton Tabah menjadi cukup terkenal. Keterkenalan namanya membuat ia mengalami berbagai kemudahan saat berhadapan dengan masalah. Menulis pula yang membuatnya mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan saat ia pulang dari Jakarta, ia mampir ke Polres Pemalang. Saat itu ia ingin menawarkan bukunya yang pertama, Menatap dengan Mata Hati yang diterbitkan oleh Gramedia. Kapolres Pemalang saat itu, Letkol Bahrumsyah sampai menangis haru menyambut kedatangannya karena di luar dugaannya, Anton Tabah berkenan mengunjunginya. Selama ini, ia hanya mengenal nama Anton Tabah melalui media (h. 130).
Namun aktivitas menulis juga membawa dampak negatif bagi kehidupan Anton. Dalam tradisi militer, menulis harus mendapatkan izin atasan. Namun karena kepentingan aktualitas dan lamanya proses koreksi atasan, lama-lama Anton tidak lagi melalui prosedur semacam itu. Suatu saat, artikelnya yang membahas tentang Anti Teror itu di Polri, bukan di TNI. Kemudian ia menulis lagi bahwa TNI Polri tidak boleh disatukan karena tugas dan fungsinya berbeda. Artikel-artikel Anton ini membuat marah besar Menhanam/Pangab Jendral Benny Murdani. Sebagai konsekuensinya, Anton harus ”dibuang” di Timor Timur. Ia pun menjalani tugas ini dengan baik selama tiga tahun.
Ketiga, peran orang tua. Orang tua Anton yang ia panggil Ramak dan Simbok memiliki tradisi spiritual yang kuat. Dalam keterbatasan hidup, keduanya selalu ”tirakat” demi masa depan anak-anaknya. Puasa, dzikir, dan shalat malam menjadi bagian dari kehidupan keduanya. Dalam keterbatasan kehidupan ini, kedekatan kepada Allah telah memberikan energi hidup yang luar biasa. Keduanya selalu mendoakan, mendampingi, memberi nasehat, dan juga dorongan besar demi kesuksesan hidup seorang Anton Tabah. Dan Anton berusaha keras untuk mengikuti jejak orang tuanya.
Keempat, sisi lain kehidupan. Kesuksesan dalam karier tidak berarti sukses dalam seluruh dimensi kehidupan. Hal semacam ini juga dialami oleh Anton Tabah. Di tengah kariernya, ia mengalami kemelut rumah tangga. Karena berbagai sebab, termasuk atas nasehat Ramaknya, ia menceraikan istrinya. Kondisi ini tentu tidak mudah karena saat itu ia tengah menjabat sebagai Kapolres Klaten, yang kemudian berpindah ke Yogyakarta.
Kelima, kesederhanaan. Perjalanan kehidupan Anton Tabah memang sarat dinamika. Ia berangkat dari keterbatasan ekonomi dan akhirnya sukses menjadi seorang Jenderal. Namun ia tidak lupa diri. Pada bagian akhir buku ini diulas bagaimana dan mengapa ia menjalani kehidupan secara sederhana. Misalnya, ia masih tidak malu makan di Warteg, bergaul secara akrab dengan masyarakat, dan berbagai teladan kesederhanaan lainnya.
Membaca buku ini memang sarat dengan inspirasi. Orang bisa saja tidak simpatik dengan Anton Tabah, tetapi sebagaimana dikatakan pepatah, dalam setiap sisi kehidupan selalu tersedia hikmah yang bisa diambil bagi yang mau dan menyadarinya. Demikian juga dengan kisah kehidupan Anton Tabah, seorang polisi yang pernah mendapat julukan the rising star karena kecemerlangan karier dan pemikirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.