Oleh Ngainun Naim
A. Pendahuluan
Saya menulis buku Menjadi Guru
Inspiratif tahun 2008. Ide menulis datang secara tidak sengaja. Dalam suatu
perbincangan santai, seorang teman kuliah bercerita mengenai guru-guru dan dosen-dosen yang pernah
mengajarnya. Ia bilang ada guru atau dosen yang hebat dan menanamkan pengaruh
besar. “Mereka itu inspiratif”, katanya. Namun banyak yang biasa-biasa saja
sehingga kemudian dilupakan oleh para siswanya.
Diskusi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Ada berbagai
pertanyaan yang muncul, seperti mengapa tidak semua dosen memiliki
sifat yang inspiratif? Bagaimana menjadi seorang pendidik yang inspiratif?
Kegelisahan dan berbagai pertanyaan terus terngiang dalam benak saya.
Sebagaimana dikatakan oleh Milan Kundera bahwa “Ingatan dan kenangan adalah hal terindah
dalam hidup”, saya kemudian mengingat pengalaman
belajar, terutama berkaitan dengan seperti saja karakter para guru saya. Ketika
sekolah di MTs, misalnya, saya bukan orang yang menyukai pelajaran bahasa
Indonesia. Pelajaran ini, menurut saya, hanya mengotak-atik hal-hal sederhana. Berbicara dan membaca sebagian besar
kita lakukan dalam bahasa Indonesia. Terus mengapa mesti masih harus belajar
Bahasa Indonesia? Ketidaksukaan saya semakin memuncak ketika ada tugas mengarang. Rasanya, ini bagian dari pelajaran bahasa
Indonesia yang paling memusingkan.
Apa yang saya alami ternyata juga dialami banyak teman-teman sekelas. Saya
nyaris masih ingat kalimat awal yang sering kami gunakan dalam memulai sebuah
karangan, seperti: “Pada suatu hari”, “Di sebuah desa”, atau “Liburan yang
lalu”. Jarang sekali ada kalimat pembuka yang lain yang lebih kreatif.
Kondisinya tentu lebih parah lagi kalau sudah masuk ke isi karangan. Isinya
berputar-putar tidak karuan. Kalimat tertentu bisa berkali-kali diulang dalam
satu paragraf. Kata “oleh karena itu” bisa muncul
lebih dari lima kali. Teman sebangku saya paling sering menulis kata “lalu”.
Pernah dihitung oleh guru bahasa Indonesia, kata lalu dalam satu alinea
ada sepuluh.
Itulah salah satu alasan saya kurang menyukai pelajaran bahasa Indonesia.
Tetapi ketidaksukaan tersebut, terutama mengarang, tidak berlangsung lama. Bahkan dalam perkembangannya
kemudian saya justru suka dan menikmati dunia menulis. Kesukaan terhadap
menulis ini mulai menemukan momentumnya ketika saya menjadi mahasiswa. Menulis,
terutama menulis artikel dan resensi buku, telah menjadi kegiatan yang begitu
mengasikkan dan menyenangkan.
Bagaimana saya kemudian menyukai dunia menulis? Faktor guru. Ya, gurulah
yang memberikan saya perubahan secara drastis dari membenci karang mengarang
hingga begitu menyukainya sampai sekarang. Guru yang mengubah sikap saya ini
bukan guru bahasa Indonesia, tetapi guru lain yang mengajar bahasa Inggris.
Waktu itu, beliau masih cukup muda. Usianya sekitar 26 atau 27 tahun.
Orangnya gagah, menarik, dan kalau mengajar sangat memikat. Saya sangat
menyukai caranya mengajar. Dan yang lebih saya sukai, beliau memberikan banyak inspirasi kepada saya. Beliau mengerti
betul bagaimana membangkitkan potensi dan minat muridnya untuk menguasai
pelajaran. Berbagai metode beliau terapkan agar kami bisa menyenangi dan
menguasai pelajaran bahasa Inggris.
Tetapi di luar itu, ada hal lain yang semakin mengokohkan keinginan saya
untuk maju, yaitu sikap dan semangat beliau. Beliau seorang seorang penulis
artikel di berbagai majalah, dan juga seorang “kutu buku”. Setiap mengajar
selalu membawa buku. Di sela-sela waktu kosong, beliau membaca buku. Sekitar 10
atau 15 menit menjelang pelajaran berakhir,
beliau selalu memberi kesempatan kepada kami untuk bertanya tentang apa saja.
Dan sepanjang pengalaman yang saya ingat, beliau mampu menjawab setiap
pertanyaan kami secara memuaskan. Padahal, pertanyaan yang kami ajukan mencakup
berbagai bidang.
Itulah yang membuat saya begitu terinspirasi. Ingin rasanya meniru beliau. Inspirasi
dari beliau mendorong saya untuk sedapat mungkin membaca buku dan majalah yang
ada. Juga, saya berusaha menulis, walaupun pada awalnya saya tidak menyukai
menulis. Tetapi lama kelamaan, menulis mulai menarik hati saya. Seiring
perjalanan waktu, menulis pun semakin saya sukai. Ketika mahasiswa, dan
terutama ketika menempuh jenjang S2, sebagian dari biaya kuliah saya peroleh
dari honorarium menulis artikel dan resensi buku di berbagai media massa. Ketika menempuh S3, sebagian biaya juga saya peroleh dari honorarium
menulis buku.
Apa yang ingin saya tekankan dari cuplikan pengalaman ini adalah soal guru
inspiratif. Ya, guru inspiratif adalah guru yang tidak hanya mengajar saja,
tetapi juga mampu memberikan pengaruh ke dalam jiwa siswanya, dan lebih jauh,
mampu merubah kehidupan para siswanya. Walaupun tentu saja, perubahan
selanjutnya dalam kehidupan siswa setelah menamatkan jenjang sekolah tergantung
kepada siswa itu sendiri. Ada yang menindaklanjuti spirit inspiratif ini, dan
ada yang hanya mengenangnya saja. Tetapi hal yang penting adalah spirit
inspiratif ini memiliki makna yang sangat penting dalam mengantarkan perubahan.
Mereka, para guru inspiratif itu, mungkin tidak menyadarinya, tetapi para
siswanya akan selalu mengenang jasa-jasanya.
Guru inspiratif, yang kemudian menjadi judul buku ini, adalah hasil
pergulatan, diskusi, perenungan, dan kajian yang saya lakukan. Saya kemudian
mengembangkan gagasan ini, mencari relevansi, dan konteksnya. Menurut saya, ini merupakan suatu hal
menarik. Tetapi mengapa hanya sedikit guru yang semacam itu?
Dalam penulisan buku ini, saya berusaha mencari berbagai bahan pustaka
pendukung, baik dari buku maupun internet, dan juga renungan pengalaman
pribadi. Ternyata, guru inspiratif hanyalah sebagian kecil saja dari guru-guru
kita. Sebagian besarnya adalah guru kurikulum, yaitu guru yang mengajar demi
tuntutan menyelesaikan target yang telah ditentukan oleh kurikulum. Dalam
pandangan guru kurikulum, ukuran keberhasilan adalah ketika siswanya dapat
memperoleh nilai maksimal dari mata pelajaran yang telah disampaikan. Tidak
lebih. Persoalan bagaimana siswanya kemudian berdaya, berubah menjadi lebih
baik, lebih maju, dan seterusnya, tidak masuk hitungan.
Inilah yang menggelisahkan saya. Coba misalnya separuh saja dari seluruh
guru Indonesia adalah guru yang inspiratif, tentu hasilnya akan luar biasa.
Indonesia tidak akan terpuruk dan terus menerus didera beragam persoalan
seperti sekarang. Guru inspiratif akan senantiasa memberikan motivasi dan modal
kepada para siswanya untuk mampu menghadapi perubahan. Tantangan demi tantangan
akan mampu ditundukkan, walaupun tantangan tersebut tidak ringan. Manusia tahan
banting yang tidak larut dalam perubahan hanya mampu dihasilkan oleh guru
inspiratif.
Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana membangun spirit inspiratif
di kalangan guru-guru kita. Guru inspiratif, menurut saya, adalah guru
kurikulum plus. Maksudnya, selain mengajar secara maksimal berdasarkan
kurikulum, ada nilai plusnya, yaitu memberikan modal lain bagi kehidupan para
siswanya dalam menghadapi hidup. Dan guru inspiratif bisa diciptakan.
Mungkin ini terlalu muluk, tetapi bukan suatu hal yang mustahil. Pentingnya
guru inspiratif harus terus menerus disuarakan, diperjuangkan, dan diwujudkan.
Dengan begitu, ada harapan perubahan yang lebih baik di masa depan. Guru
inspiratif bukan segala-galanya, tetapi adanya guru inspiratif akan memberikan
kontribusi yang luar biasa bagi perubahan dalam kehidupan siswa-siswanya.
B. Makna Guru Inspiratif
Setiap orang yang pernah belajar pasti memiliki guru. Jumlah guru yang mengajar kita jumlahnya sangat banyak, namun tidak semuanya kita kenang. Bahkan ada guru yang kita
tidak lagi mengingatnya. Hanya sebagian saja dari guru yang pernah mengajar
yang kita kenang karena “keistimewaan” tertentu yang ada pada guru tersebut.
Para siswa biasanya menyebutnya sebagai guru idola atau guru favorit.
Dalam tipologi umum, guru secara sederhana dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
guru kurikulum yaitu sosok guru yang amat patuh kepada kurikulum dan merasa
berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan sesuai
dengan acuan kurikulum. Guru kurikulum mengajarkan sesuatu yang standar (habitual
thinking). Guru kurikulum, kata Rhenald Khasali, seorang guru besar UI, mewakili sebagian
besar guru yang pernah ditemuinya. Jika mengikuti logika Khasali, berarti
sebagian besar guru adalah guru kurikulum. Mereka mengajar hanya untuk memenuhi
tuntutan kurikulum. Tugas mengajar akan dianggap selesai dan sukses manakala
apa yang tercantum dalam kurikulum sudah disampaikan secara tuntas, dan para
siswanya mampu menguasainya secara baik. Tolok ukur keberhasilan mengajar bagi
guru tipe ini adalah angka-angka kuantitatif yang diperoleh dalam evaluasi.
Tidak ada orientasi lainnya yang lebih luas.
Tipologi yang kedua adalah guru inspiratif, yaitu guru yang memiliki
orientasi jauh lebih luas. Guru inspiratif tidak hanya terpaku pada kurikulum,
tetapi juga memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan
kemampuan para siswanya. Sayangnya, jumlah guru inspiratif amat terbatas, hanya
sekitar 1 persen saja. Guru inspiratif bukan guru yang hanya mengejar
kurikulum, tetapi lebih dari itu, mengajak siswa-siswanya berpikir kreatif (maximum
thinking). Ia mengajak siswa-siswanya melihat sesuatu dari luar (thinking
out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke
masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka
guru inspiratif akan melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan
aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan
validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal
(yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.
C. Menyulut Spirit
Inspiratif
“Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang terbuka di mana hanya
manusia unggullah yang dapat bertahan atau memanfaatkan kesempatan yang
terbuka. Masyarakat masa depan mengagungkan kualitas yang hanya dapat
diproduksi oleh manusia-manusia unggul. Hanya manusia unggullah yang dapat
bersaing. Dengan keunggulan itulah manusia dapat hidup terus dan dapat bersaing
dengan bangsa-bangsa lain. Manusia unggul adalah manusia yang dapat berfikir
kreatif dan produktif, yang tidak menerima status quo dan selalu menginginkan
sesuatu yang baru yang lebih baik. Dan oleh sebab itu, manusia unggul adalah
manusia inovatif” --- HAR Tilaar.
Menjadi guru inspiratif ternyata tidak mudah. Hal ini disebabkan karena
karakter inspiratif tidak bersifat permanen. Suatu saat, seorang guru dapat
menjadikan dirinya begitu inspiratif di mata para siswanya. Sementara di saat
yang lain, karakter semacam itu memudar. Oleh karena itu, spirit inspiratif
harus dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian tidak terpisah dari diri
seorang guru.
Hal penting yang harus dilakukan seorang guru adalah bagaimana senantiasa
berusaha menemukan pemantik dan penyulut spirit inspiratif. Dengan usaha yang
dilakukan secara terus menerus, penuh semangat, dan dilandasi oleh keyakinan
yang kokoh, maka spirit inspiratif akan dapat tetap terjaga secara stabil. Naik
turunnya spirit inspiratif sebenarnya merupakan hal wajar dan manusiawi.
Bagaimana menyulut spirit inspiratif? Jawaban atas pertanyaan ini memang
tidak mudah. Setiap guru dapat memiliki cara dan mekanisme tersendiri untuk
melakukannya. Pengalaman masing-masing guru bisa jadi berlainan. Ada yang
berusaha melakukan evaluasi diri, ada yang membaca buku-buku motivasi, membaca
biografi tokoh-tokoh sukses, melakukan relaksasi, dan beraneka teknik lainnya.
Memang tidak ada teori baku dan universal yang menjelaskan terhadap persoalan
ini.
Menurut penulis, spirit inspiratif dapat dibangkitkan dengan beberapa cara.
Pertama, komitmen. Komitmen sebagai guru inspiratif harus dibangun
secara kokoh dalam jiwa. Komitmen akan memberi makna yang sangat penting
terhadap apa yang kita kerjakan, kita lihat, kita rasa, kita dengar, dan kita
pikirkan. Setiap mengajar, sejauh kita memegang komitmen, maka kita akan
senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memberi inspirasi kepada para
siswa. Mengamati bagaimana siswa kurang bergairah belajar, maka komitmen
sebagai guru inspiratif akan melahirkan beragam usaha untuk membangkitkan
semangat mereka terhadap belajar. Melihat siswa yang dinilai bermasalah, spirit
inspiratif akan terdorong untuk melacak penyebabnya dan mencari jalan
keluarnya. Menghadapi hasil evaluasi yang kurang memuaskan, spirit inspiratif
akan tergerak untuk menemukan cara-cara konstruktif untuk meningkatkan prestasi.
Begitu seterusnya. Setiap ada persoalan, spirit inspiratif selalu memunculkan
dorongan dalam diri guru untuk mencari jalan pemecahannya.
Kedua, membangun kecintaan terhadap profesi. Mengajar yang
dilandasi oleh kecintaan yang mendalam akan melahirkan dan menyulut spirit
inspiratif secara kokoh. Cinta yang kuat dapat menggerakkan jiwa untuk
senantiasa penuh semangat, yakin, optimis, dan penuh harapan. Besarnya cinta
terhadap profesi, terhadap tanggung jawab, terhadap masa depan siswa, dan
terhadap tanggung jawab kepada Allah, akan menjadikan mengajar menjadi
sedemikian memberdayakan, penuh kenikmatan dan penghayatan. Bagi seorang guru,
jangan sampai tugas mengajar dilakukan karena faktor keterpaksaan. Ini
merupakan sesuatu yang fatal, karena sikap terpaksa akan menjadikan mengajar
hanya sebagai pemenuhan kewajiban saja. Tidak ada lagi spirit dan cinta yang
mampu melandasinya. Tidak ada lagi visi lebih luas dan mendalam yang dibangun.
Spirit inspiratif tidak akan muncul pada guru yang memiliki karakter semacam
ini. Mereka yang mengajar secara terpaksa akan kehilangan gairah dan orientasi
yang lebih luas. Mengajar kemudian dilakukan hanya sekedarnya saja. Mengajar
dalam keterpaksaan akan menimbulkan efek psikologis yang kurang baik terhadap
diri guru sendiri dan juga para siswanya. Lebih jauh, kondisi ini akan
menyebabkan pembelajaran tidak mampu mencapai hasil maksimal sebagaimana
diharapkan.
Ketiga, menajamkan visi. Visi, menurut Philip Kotler, merupakan an
ideal standar of excellence (standar ideal kesempurnaan) yang ingin kita
raih. Atau bisa juga dimaknai sebagai a dream must be achieve (mimpi
yang harus kita raih). Visi sebagai guru inspiratif akan menjadikan segala
aktifitasnya senantiasa diarahkan untuk menuju kepada hal tersebut. Visi ini
akan menuntut bukti dan perjuangan. Dengan merumuskan visi ini, seorang guru
inspiratif akan membuat kemajuan yang berarti, walaupun menghadapi tantangan
yang tidak ringan. Seorang guru yang tidak memiliki visi tidak akan membuat
kemajuan, walaupun mungkin ia berada di jalan yang mulus.
D. Karakteristik Guru Inspiratif
Guru inspiratif akan selalu memberikan perspektif pencerahan kepada para
siswanya. Mereka tidak sekedar mengajar sebagai kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam kurikulum, tetapi juga senantiasa berusaha secara maksimal
untuk mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang, dan orientasi hidup
siswa-siswanya. Sebab, kesuksesan mengajar tidak hanya diukur secara
kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi juga pada
bagaimana para siswanya menjalani kehidupan selanjutnya setelah mereka
menyelesaikan masa-masa studinya.
Kriteria guru yang inspiratif memang belum terumuskan secara jelas. Ini
merupakan hal yang wajar karena definisi guru inspiratif sendiri bukan sebuah
definisi yang populer dan baku dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian,
bukan berarti tidak ada kriteria. Berdasarkan penelusuran literatur, diskusi,
dan perenungan, penulis menemukan beberapa kriteria untuk mengukur apakah
seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru inspiratif atau bukan. Tentu
saja, apa yang penulis kategorikan sebagai kriteria inspiratif ini bukanlah
sebuah kriteria kaku. Sangat mungkin pembaca menemukan kriteria-kriteria
lainnya yang dapat melengkapi kriteria yang penulis rumuskan.
Pertama, terus belajar. Belajar menambah pengetahuan secara terus
menerus merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang guru inspiratif.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menjadi tantangan bagi guru untuk
terus mengikutinya. Akses menambah ilmu sekarang ini semakin terbuka. Sumber
pengetahuan tidak hanya dari buku. Sekarang ini, ada beraneka sumber belajar
yang bisa didapatkan.
Kedua, kompeten. Bagi seorang guru, memiliki kompetensi berarti
memiliki kecakapan atau kemampuan untuk mengajar. Tentu saja, kompetensi ini
tidak sekedar mampu dalam makna yang minimal, tetapi mampu dalam makna yang
mendalam.
Ketiga, ikhlas. Guru yang mengajar bukan karena dilandasi oleh
keikhlasan, tetapi karena semata-mata mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai
guru akan dinilainya hanya dari segi capaian materi semata. Apabila yang
menjadi orientasi utamanya adalah materi, maka si guru akan mengalami
kegoncangan psikologis apabila ia merasa tidak seimbang antara apa yang ia
kerjakan dengan honorarium yang ia terima. Sebagai akibatnya, ia akan
kehilangan semangat mengajar. Mengajar dilakukan hanya sekedarnya sebagai
bagian untuk memenuhi syarat mendapatkan gaji.
Keempat, spiritualis. Aspek spiritualitas menjadi aspek penting
yang mempengaruhi sisi inspiratif atau tidaknya seorang guru. Memang sisi ini
bukan sebuah keharusan, tetapi adanya sisi spiritualis ini akan semakin
mengukuhkan dimensi inspiratif seorang guru. Bagi seorang guru, khususnya guru
agama Islam, aspek spiritualitas merupakan aspek yang harus dimiliki yang
membedakannya dengan guru bidang studi lainnya. Guru agama bukan sekedar
sebagai “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, ia adalah sumber
inspirasi “spiritual” dan sekaligus sebagai pembimbing sehingga terjalin
hubungan pribadi antara guru dengan anak didik yang cukup dekat dan mampu
melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Kelima, totalitas. Totalitas merupakan bentuk penghayatan dan
implementasi profesi yang dilaksanakan secara utuh. Dengan totalitas, maka
seorang guru akan memiliki curahan energi secara maksimal untuk mendidik para
siswanya. Dalam kaitannya dengan totalitas ini, menarik untuk merenungkan pernyataan
Win Wenger (2003), “Apapun bidang yang sedang Anda pelajari, tenggelamkan diri
Anda ke dalamnya. Bangunlah hubungan saraf-inderawi (neuro-sensori) dengannya
sebanyak mungkin indera dan imajinasi Anda”.
Keenam, motivator dan kreatif. Motivasi dalam diri siswa akan
terbangun manakala siswa memiliki ketertarikan terhadap apa yang disampaikan
oleh guru. Hubungan emosional ini penting untuk membangkitkan motivasi siswa.
Motivasi akan sulit dibangun manakala dalam diri siswa tidak terdapat
ketertarikan sama sekali terhadap guru.
Ketujuh, pendorong perubahan. Guru inspiratif akan meninggalkan
pengaruh kuat dalam diri para siswanya. Mereka akan terus dikenang, menimbulkan
spirit dan energi perubahan yang besar, dan menjadikan kehidupan para siswanya
senantiasa bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Guru semacam inilah yang
banyak melahirkan para tokoh besar. Mereka sendiri mungkin sampai sekarang
tetap berada di tempatnya tinggal, tetap dengan kesederhanaannya, dan tetap
menularkan virus inspiratif kepada para siswanya yang terus datang silih
berganti, sementara para siswanya yang terinjeksi spirit hidupnya telah berubah
dan menjadi seorang yang memiliki capaian besar dalam hidupnya.
Kedelapan, disiplin. Dalam konteks disiplin,
keteladanan guru menegakkan disiplin akan menjadi rujukan bagi para siswa untuk
juga membangun kedisiplinan. Bagaimana mungkin para siswa akan dapat
menjalankan disiplin dengan baik, jika guru sendiri tidak memberikan
keteladanan? Aspek yang akan lebih meneguhkan tertanamnya budaya disiplin dalam
diri anak didik dalam menegakkan wibawa dan keteladanan adalah konsistensi,
atau dalam bahasa agama disebut dengan istiqamah. Sebuah aturan yang
ditegakkan tanpa konsistensi akan menghancurkan kewibawaan. Lebih jauh, budaya
disiplin pun akan sulit diharapkan untuk tumbuh subur. Dalam hal ini, guru dan
pihak sekolah harus membangun sistem yang tidak memungkinkan terjadinya
faktor-faktor yang memutus budaya disiplin.
E. Inspirasi Guru dan Perubahan
Jalan Hidup Siswa
Pada dasarnya, peran guru inspiratif bukanlah faktor tunggal yang akan
menentukan keberhasilan dalam hidup seseorang. Keberhasilan seseorang dalam
hidup setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal; peran pribadi guru inspiratif,
kemampuan guru inspiratif membangun iklim pembelajaran yang semakin menyuburkan
arti dan makna inspiratif, serta usaha siswa sendiri untuk meraih kesuksesan,
baik ketika masih sekolah maupun setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya.
Pada titik inilah, guru inspiratif memiliki peranan penting dalam menyulutkan
api pemantik kesuksesan dalam kehidupan para siswanya.
Tetapi jika inspirasi dan hasrat tersebut berhenti dan hanya sebatas
sebagai bentuk ekspresi kekaguman semata, tentu saja perubahan tidak akan
terjadi dalam diri para siswa. Perubahan sebagai dampak dari guru inspiratif
akan betul-betul terjadi manakala para siswa tersebut melakukan aksi untuk
meniru, memberdayakan diri, dan mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang
siswa yang memiliki kemampuan dan penguasaan bahasa Inggris dengan baik,
sebagaimana gurunya.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah
strategis dan juga memupuk beberapa potensi kreatif sebagai modal penting yang
mampu mengubah inspirasi yang ada menjadi revolusi diri. Langkah yang justru
lebih penting setelah memperoleh pengaruh positif dari guru inspiratif adalah
bagaimana melakukan aksi sebagai bentuk pengungkapan hasrat dan kemauan untuk
berubah demi melejitkan potensi diri. Langkah-langkah perubahan ini sangat
penting untuk dilakukan karena hanya dengan jalan semacam inilah pengaruh dari
seorang guru inspirasi betul-betul dirasakan secara nyata dalam bentuk revolusi
diri menuju ke arah aktualisasi potensi diri. Inilah salah satu agenda penting
yang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.
terinspirasi. :)
BalasHapusTerima kasih Ustad.
HapusInilah artikel inspiratif yang membahas tentang guru inspiratif yang akan memunculkan pembaca inspiratif Dan pemikir inspiratif
BalasHapusAmin. Terima kasih banyak.
Hapusmantap dah....
BalasHapusTerima kasih.
Hapussangat menginspirasi sekali
BalasHapusterimakasih pak..
Terima kasih Mas Nurhuda.
Hapus