POTONG
KOMPAS
Oleh Ngainun
Naim
Mengapa
Indonesia menjadi negara yang korupsinya tumbuh subur tak terkendali? Ada
banyak jawabannya. Bisa karena memang sistemnya sudah rusak, adanya kesempatan,
mental yang jelek, atau juga karena berbagai sebab lainnya. Jawaban yang ada
bisa jadi lebih banyak lagi, tergantung konteks dan potensinya.
Maraknya
korupsi di (hampir) semua level menunjukkan satu hal, yakni tumbuh suburnya
budaya ”potong kompas”. Budaya potong kompas adalah budaya yang berorientasi
pada pencapaian hasil secara cepat dengan mengabaikan proses. ”Mentalitas
proses” diabaikan karena dianggap terlalu ribet, lama, dan semakin tergerus budaya
potong kompas.
Berkaitan
dengan budaya potong kompas ini, menarik menyimak pendapat cendekiawan Muslim
Almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Menurut Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish
Madjid—pada diri manusia terdapat dorongan dan kecenderungan berlaku tamak.
Potensi ini jika tidak dapat dikendalikan secara baik dan benar akan dapat
mengarahkan dan mendorong manusia pada kehancuran moral dan spiritual (30 Sajian Ruhani, hal. 27).
Coba
Anda simak baik-baik pendapat Cak Nur tersebut. Manusia itu cenderung berlaku
tamak, dan itu bisa dicermati dari perilaku korup yang kian menggurita.
Koruptor itu tidak pernah puas. Mengeruk harta lewat cara apapun tanpa pernah
merasa cukup. Berbagai kesempatan akan dimanfaatkan untuk memenuhi ambisinya.
Pada titik inilah, ajaran agama memegang peranan yang penting. Tentu bukan
sekadar memahami ajaran agama, tetapi bagaimana mengamalkan dan menghayatinya.
Ajaran
puasa ramadhan menjadi momentum yang seharusnya tidak sekadar dijalani secara
rutin. Agar puasa kita semakin bermutu, Cak Nur menyarankan supaya kita membangun kesadaran terhadap puasa yang
kita lakukan. Kesadaran ini penting sebagai titik pijak untuk membangun puasa
yang lebih berkualitas. Puasa juga mengajarkan kepada kita untuk menjalani
proses secara sabar, bukan potong kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.