Taman Montazah
Pagi hari Minggu, 19 Januari 2025, cuaca Kairo sangat
dingin. Suhu di kisaran 12 derajat. Nyaris sama dengan hari kemarin.
Suhu di Mesir memang berbeda jauh dengan Indonesia.
Sekian waktu kita merasakan suhu panas di Indonesia. Tidak hanya panas, tetapi
sangat panas. Hujan juga tidak segera turun.
Belakangan hujan turun. Namun ternyata tidak juga
mengembalikan suhu. Pada saat tidak hujan, panas kembali kita rasakan.
Kita—tepatnya saya—ini memang repot. Udara panas, mengeluh.
Dingin, mengeluh. Kondisi sering dikeluhkan dibandingkan disyukuri.
Bersyukur itu pada wilayah idealitas. Wilayah yang begitu
gampangnya kita perbincangkan. Namun realitas tak selalu semacam itu.
Bersyukur, meskipun tidak mudah, harus selalu hadir dalam kesadaran. Harus
selalu dilakukan upaya bersyukur.
Sarapan pagi di hotel terasa nikmat. Selain nasi, sayur,
dan lauk, ada juga kudapan. Ada banyak pilihan. Saya memilih roti sisir dan
ketela rebus.
Memang di negeri orang itu rasa makanan tidak sama dengan
negara kita. Ini harus juga dipahami. Ketela rebus, misalnya, di Indonesia
merupakan makanan idola saya. Rasanya enak dan natural.
Di Mesir beda. Awalnya saya berharap seperti Indonesia.
Namun kembali saya sadar bahwa ini Mesir. Tetap harus bersyukur menemukan
makanan yang mirip dengan makanan Indonesia.
Usai sarapan kami bergerak menuju Alexandria. Ini kota penting dalam sejarah Mesir. Kota ini pernah menjadi ibu kota Mesir.
Alexandria pernah eksis selama beberapa abad. Nur Al Din Hassan, pemandu kami, menjelaskan bahwa Alexandria menjadi kota penting mulai 300 SM sampai dengan 700 M. Jadi selama sekitar satu abad.
Mengejar bayangan
Tetiba pikiran saya melayang ke tanah air. Di tahun
Ketika Alexandria eksis, Indonesia masih belum menunjukkan sesuatu yang
signifikan. Kerajaan besar, misalnya, jauh setelah masehi. Mesir, dalam konteks
ini, adalah negara dengan peradaban yang telah berusia tua, bahkan sangat tua.
Bukti tuanya peradaban di Mesir—antara lain—dengan adanya
museum. Di Indonesia museum itu barang langka. Tidak semua tempat ada.
Mesir berbeda. Di negeri ini museum jumlahnya ratusan. Banyaknya
museum merupakan penanda bahwa peradaban di Mesir itu sudah berusia sangat
lama. Beda dengan Indonesia yang usia peradabannya relatif lebih muda.
Pukul 10.40 kami sampai Alexandria. Kami menempuh
perjalanan menuju Taman Montazah yang lokasinya di bibir pantai. Ini
mengingatkan dengan jalanan di Tuban, Jawa Timur.
Tentu tidak sama persis. Namun banyak kesamaannya.
Sama-sama di pinggir pantai. Juga sama-sama kurang rapi.
Mobil yang kami naiki masuk pintu gerbang. Awalnya saya membayangkan sebagaimana taman di Indonesia.
Rupanya saya salah. Taman Montazah ini sangat luas. Ini
merupakan Istana Raja Farough. Juga sangat indah. Kami menikmati beberapa sudut
taman.
Taman ini, meskipun sangat bagus dan sangat luas,
tampaknya belum selesai dibangun. Terlihat beberapa bagian yang masih dalam
pengerjaan. Namun demikian pengunjung yang masuk sudah cukup banyak. Tampaknya
tempat ini menjadi destinasi utama paara pelancong. Beberapa saya lihat
rombongan jamaah umroh dari Indonesia.
Pukul 12.00 kami meninggalkan Taman Montazah. Jika mau
mengunjungi bagian demi bagian lokasi ini jelas tidak cukup satu atau dua jam.
Butuh waktu berjam-jam. Padahal masih ada beberapa lokasi lain yang harus
dikunjungi.
Destinasi selanjutnya adalah makan siang ke sebuah
restoran. Waktu tempuh sekitar 35 menit dari Taman Montazah.
Restoran yang kami tuju bernama Branzino. Saya sendiri tidak tahu apa artinya. Saya cek di google ada penjelasannya. Intinya Branzino itu nama ikan.
Resto ini sangat indah. Menunya juga ikan laut. Di web https://www.tripadvisor.co.id/ ada banyak
komentar dari orang Indonesia. Rupanya restoran ini menjadi destinasi
wisatawan, termasuk dari Indonesia.
Jangan tanya soal rasa. Lidah Indonesia seperti saya dan
anggota rombongan memang belum akrab dengan menu semacam ini. Ini bukan masalah
karena rasa itu soal kebiasaan. Ketika berkunjung ke negara lain, rasa tentu
memerlukan adaptasi.
Makan siang telah usai. Perut terasa kenyang. Kami
kemudian melanjutkan perjalanan.
Tujuan selanjutnya adalah ke makam ulama yang sangat
terkenal, yaitu Sheikh Abdul Abbas Almursi. Sebuah tulisan dari web https://pejalanruhani.com/catatan/biografi/syaikh-abu-abbas-al-mursi-khalifah-besar-syadziliyah/ bisa memberikan
informasi tentang beliau. Dijelaskan dalam tulisan ini bahwa beliau lahir pada
tahun 616 H atau 1219 M di Kota Marsiyyah Spanyol. Beliau merupakan murid dan
penerus Syaikh Abu Hasan As-Syadzili. Gurunya ini yang membawanya berpindah dan
kemudian menetap sampai wafat di Alexandria.
Saya sendiri sesungguhnya belum banyak mengetahui tentang
tokoh besar ini. Semata karena saya belum membaca secara intensif
terkait tokoh ini. Ternyata, begitu saya berselancar ke dunia maya ternyata ada sangat
banyak sumber tulisan yang melimpah. Tinggal menyediakan waktu untuk
membacanya.
Makamnya ada di sebuah lorong yang kurang bersih. Nur
Hasan memberitahu kepada kami agar hati-hati dengan barang bawaan. Beliau juga
menyarankan agar kami masuk ke area makam, berziarah secukupnya, lalu segera
keluar bersama. Saya sendiri lupa untuk mengambil gambar makam.
Usai dari dalam makam Al-Mursi, kami keluar bersama.
Suasana kumuh dan kurang nyaman saya rasakan. Ini berbeda dengan kalua saya
melakukan ziarah para ulama di Jawa Timur. Memang beda lokasi dan konteks
sosial budaya.
Tujuan kami selanjutnya adalah makam Sheikh Al-Busiri
yang merupakan pengarang Qasidah Burdah. Di Indonesia, kata Burdah cukup
dikenal, khususnya shalawatnya yang acapkali dibaca usai shalat atau ngaji. Alhamdulillah,
Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk ziarah ke makamnya.
Posisi makam beliau tidak jauh dari makam Sheikh
Al-Mursi. Hanya sekira 100 meter saja. Sheikh Al-Busiri sendiri merupakan murid
dari Sheikh Al-Mursi. Wajar jika makamnya berdekatan.
Qasidah Burdah lahir melalui proses yang tidak biasa.
Berdasarkan informasi dari https://www.kompas.com/stori/read/2024/08/20/235600979/imam-al-bushiri-pengarang-qasidah-burdah?page=2 qasidah ini lahir
Ketika Al-Busiri dalam kondisi lumpuh. Qasidah ditulis dengan harapan agar
mendapatkan syafaat.
Dalam perjalanan waktu, beliau bermimpi bertemu dengan
Nabi Muhammad Saw. Ketika bangun, lumpuhnya sembuh. Beliau bisa berjalan
sebagaimana biasa.
Lokasi makam Al-Busiri ada di dekat masjid besar. Kami
masuk ke lokasi makam yang di dalamnya ada masjid kecil. Setelah mengambil
wudhu, kami masuk makam.
Ketika sedang bersiap masuk makam, datang imam masjid.
Beliau memperkenalkan diri sebagai keturunan Imam Al-Bushiri. Karena belum
shalat, kami pun menjalankan shalat.
Usai shalat jamaah, kami masuk area makam. Keturunan Imam
Al-Bushiri menemani kami berdoa. Beliau juga berkenan memimpin doa.
Dalam perbincangan singkat, beliau menanyakan asal-usul kami. Kami jelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia. Kami sampaikan juga bahwa Qasidah Burdah sangat terkenal di Indonesia.
Foto di serambi masjid, dekat makam Sheikh Al-Bushiri.
Acara ziarah sudah selesai. Kami kemudian berkumpul
menuju mobil. Di luar, pengemis dan peminta-minta berkerumun. Sebuah
pemandangan yang membuat kurang nyaman.
Acara selanjutnya adalah menuju Benteng Qaitbay. Benteng
ini berada di bibir pantai. Mirip beberapa benteng yang saya temui di Ternate.
Benteng ini memiliki sejarah yang sangat panjang. Sosok yang memerintahkan untuk membangun adalah Sultan Al Ashraf An Nashr Syaifudin Qaitbay. Beliau merupakan salah satu sultan dari Dinasti Mamluk. Benteng yang dibangun pada tahun 1423 M ini memiliki fungsi untuk menahan serangan musuh yang akan masuk ke Mesir.
https://www.pelago.com/id/activity/p7v3xxjh6-alexandria-day-trip-qaitbay-fort-alexandria-library-from-cairo-cairo/
Benteng ini sangat ramai pengunjung. Bisa jadi ini
merupakan salah satu destinasi wisatawan yang berkunjung ke Alexandria. Kami
bertujuh, mungkin karena sudah lelah, tidak terlalu lama di dalam benteng.
Sekira setengah jam kami sudah kembali berkumpul masuk ke mobil untuk
melanjutkan perjalanan.
Mobil sudah siap untuk kembali menyusuri jalanan
Alexandria. Kali ini mobil belok ke sebuah gang sempit. Jika bus jelas tidak
cukup.
Nur Hasan menjelaskan bahwa agenda kami selanjutnya, sebagai agenda penutup di Alexandria, adalah ziarah ke makam Nabi Muhammad Danial dan Hakim Lukman. Saya sendiri belum banyak mengetahui apa dan siapa dengan Nabi Danial. Kalau Hakim Lukman, mungkin ini tokoh dalam Al-Qur’an, Lukman Hakim. Tapi ini masih mungkin.
Saya lihat Ibuk dan Nyonya sedang tidur nyenyak. Saya tidak ingin mengganggu istirahat beliau berdua. Maka kami berlima saja yang melanjutkan perjalanan.
Begitu keluar mobil, kami masuk ke sebuah jalanan yang
panjang di perkampungan padat penduduk. Tidak ada kendaraan sama sekali di
dalamnya. Adanya hanya jalanan yang dipenuhi oleh orang berjalan kaki. Sekilas
ada kemiripan suasana dengan Malioboro Yogyakarta.
Jalanan di depan Masjid Nabi Danial dan Lukman
al-Hakim
Kami kemudian menuju sebuah masjid. Jelas terpampang
ada tulisan masjid Nabi Danial. Masjidnya tidak terlalu besar tetapi dari luar
terlihat bangunanya cukup estetik.
Begitu masuk masjid, kami langsung disambut imam
masjid. Kami kemudian diarahkan ke makam.
Makamnya unik karena ada di bawah tanah. Untuk ziarah
harus turun tangga. Cukup curam dan tidak mudah. Mungkin kisaran lima
meter di bawah tanah.
Makam Nabi Danial
Di ruang ini ada dua makam, yaitu makam Nabi Danial dan makam Lukman al-Hakim. Bentuk makamnya tidak sebagaimana makam yang lazim saya temui. Ada tulisan di atas kedua makam.
Apakah Lukman al-Hakim yang makamnya di samping makam Nabi Danial itu yang ada dalam Al-Qur’an? Wallahu a’lam. Tidak ada yang tahu secara pasti.
Makam Lukman al-Hakim
Kami pun segera larut dalam dunia. Setelah cukup
segera mengambil gambar sebagai dokumentasi. Begitu selesai kami segera naik ke
atas.
Muadzin terdengar melantunkan adzan. Memang sudah
masuk waktu ashar, sementara kami sudah shalat jamak di masjid Sheikh
Al-Busiri.
Begitu kami keluar datang rombongan satu bus dari
Indonesia. Rombongan ini beberapa kali bertemu karena tujuan kami tampaknya
sama.
Agenda perjalanan ke Alexandria usai sudah. Kami kembali
melakukan perjalanan menuju Kairo. Tubuh yang Lelah seharian segera menemukan momentum
untuk terlelap. Meskipun awalnya berbincang, itu tidak terlalu lama.
Selanjutnya kami masuk kea lam mimpi masing-masing.
Kami terbangun ketika mulai masuk Kairo. Hari telah gelap. Riuhnya jalanan yang semrawut membuat kami tidak bisa lagi melanjutkan tidur. Kami segera bergerak menuju agenda berikutnya, yaitu makan malam.
Barbecue Maulana
Sate kambing dan ayam bakar: Jangan dibayangkan rasaanya
seperti menu di Indonesia
Kali ini kami makan di sebuah tempat
yang cukup istimewa. Namanya Maulana Barbecue. Menunya ayam
goreng dan sate kambing. Alhamdulillah. Meskipun tidak
sepenuhnya cocok dengan lidah Indonesia, asal masuk perut tetap enak.
Kairo, 19 Januari
2025, Trenggalek, 9 Maret 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.