Sabtu, 22 Februari 2025

Semakin Sadar Tidak Muda Lagi


 Ngainun Naim

 

Rasanya waktu berjalan belum terlalu lama. Kenangan saat mondok dan sekolah di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang masih cukup kuat di ingatan.

Peristiwa demi peristiwa masih acap kali muncul dalam kenangan. Rekonstruksi peristiwa demi peristiwa tidak terlalu sulit. Meskipun, tentu saja, tidak semua.

Otak itu memiliki kapasitas terbatas. Sesungguhnya lebih banyak yang telah lupa dibandingkan yang diingat. Sesungguhnya hanya peristiwa-peristiwa yang memiliki makna spesial yang terekam. Selebihnya lenyap bersama sang waktu.

Saat mondok dulu saya memiliki seorang sahabat yang alim. Beliau angkatan pertama MANPK Denanyar Jombang. Orangnya sangat disiplin dalam keseharian. Juga kutu kitab tulen.

Dulu beberapa kali saya diajak belanja kitab ke toko kitab Darul Fikr Jombang. Dalam waktu tertentu, belanja buku menjadi agenda yang menyenangkan. Kami naik sepeda dari pondok.

Perjalanan ke toko buku di hari jum’at—karena liburnya hari jum’at—menjadi  refresing yang menyegarkan. Tidak hanya secara intelektual tetapi juga secara fisik.

Tamat mondok kami berpisah jalan. Saya kuliah di Jawa Timur. Kawan mondok ini saya tidak tahu melanjutkan studi ke mana. Kami putus komunikasi.

Belakangan saya dengar beliau kuliah ke salah satu negeri di Timur Tengah. Saya kira itu wajar karena memang beliau memiliki kapasitas keilmuan untuk itu. Saya, karena satu dan lain hal, lebih memilih kuliah di dekat rumah.

Awal tahun 2000 kami bertemu di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebuah pertemuan yang menggembirakan setelah tamat sekolah. Waktu itu kami sama-sama sebagai calon mahasiswa Program Magister yang sedang menjalani tes.

Singkat cerita beliau diterima kuliah. Saya memutuskan pulang kampung karena tidak ada beasiswa lagi. Padahal satu-satunya harapan untuk bisa kuliah di Jakarta adalah beasiswa.

Setelah pertemuan itu saya belum berjumpa lagi secara fisik dengan beliau. Sampai sekarang juga belum pernah bertemu. Hanya beberapa informasi terkait beliau, khususnya terkait majelis ilmu yang beliau kelola, beberapa kali saya baca.

Beliau adalah KH. Choirul Anshori, M.A. Jabatan beliau sekarang, berdasarkan informasi di media, adalah Ketua Yayasan Syahamah.  Ceramahnya mudah ditemukan, khususnya di YouTube. Tinggal ketik nama beliau atau Yayasan Syahamah.

Sesungguhnya memori tentang KH. Choirul Ansori, M.A. tidak akan muncul jika tidak ada momentumnya. Saat di sebuah kios di Khan Khalilie, Kairo, pada 18 Januari 2025, seorang mahasiswi Universitas Al Azhar Mesir datang menyusul kami.

Saat itu kami sedang berbelanja. Ada beberapa kios yang dikunjungi. Ketika beberapa kawan masuk kios, saya lebih banyak duduk karena tidak tahu harus beli apa.

Awalnya saya kurang memperhatikan terhadap mahasiswi ini. Saat duduk santai bersama istri di luar kios, mahasiswi itu saya tanya. Ternyata dia dulu sekolah di MAPK Denanyar Jombang. Berarti satu almamater dengan saya.

Perbincangan berlanjut. Satu hal yang kemudian mengejutkan bahwa mahasiswa bernama Zahra itu merupakan putri kedua KH. Choirul Ansori, M.A. Ya Allah sungguh merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Segera saya ajak foto dan saya kirimkan gambarnya ke ayahnya. Tentu ayahnya terkejut. Kami pun kemudian terlibat saling berbalas pesan.

Sahabat saya ini—menurut informasi Zahra—tetap penggila kitab. Itu cerita Zahra. Benar saja di WA kepada saya beliau menulis pesan:

 

Januari biasanya ada pameran kitab di Mesir

 

Saya bertanya kepada beberapa mahasiswa Universitas Al-Azhar terkait informasi ini. Memang benar ada pameran kitab. Tapi infonya baru buka dua hari setelah kami pulang. Sayang memang.

Pertemuan singkat dengan Zahra menyadarkan bahwa saya sudah tidak muda lagi. Tahun ini usia saya sudah setengah abad. Saatnya untuk terus memperbaiki kualitas hidup. Saya harus menjadi manusia yang semakin baik dari hari ke hari.

 

Trenggalek, 21 Februari 2025


10 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.