Oleh Ngainun Naim
Saya menulis
catatan ini berdasarkan keprihatinan terhadap semakin maraknya kasus
perceraian. Sesungguhnya meningkatnya kasus perceraian tidak hanya terjadi di
kalangan artis saja. Profesi lainnya juga memiliki gejala yang sama. Tetapi
perceraian artis memang menjadi perbincangan luas karena mereka menjadi public figur dan konsumsi empuk awak
media.
Beberapa artis
yang belakangan ini rumah tangganya retak atau bahkan sudah bubar, antara lain;
Katon Bagaskara—Ira Wibowo, Venna Melinda—Ivan, dan Jamal Mirdad—Lidya Kandow.
Artis-artis ini telah membangun biduk rumah tangga dalam jangka waktu yang
panjang; lebih dari sepuluh tahun. Bahkan Jamal—Lidya yang telah 27 tahun
menikah juga dikabarkan sedang dalam proses cerai.
Saya sendiri
selalu berdoa agar Allah memberikan rahmat-Nya bagi keluarga saya. Doa awal
pernikahan agar tercipta keluarga sakinah mawaddah wa rakhmah selalu saya
panjatkan. Saya juga berusaha agar mampu terbangun keluarga seperti doa saya.
Walaupun saya sadar sepenuhnya, siapapun yang membangun mahligai rumah tangga,
tidak ada seorang pun yang tidak pernah memiliki masalah. Bertemunya dua orang
dengan perbedaan dalam banyak hal dalam ikatan pernikahan jelas membutuhkan
kemauan dan kesadaran untuk saling memahami satu sama lain. Saya teringat apa
yang disampaikan oleh Dr. Meutia Hatta, putri Bung Hatta saat ditanya tentang apa
nasehat Bung Hatta saat Bu Meutia menikah dengan Prof. Sri-Edi Swasono, ternyata
menurut Bu Meutia, Bung Hatta hanya menasehatkan satu hal, yaitu toleransi.
Kelihatannya
sederhana, tetapi tentu tidak mudah untuk mewujudkannya. Toleransi itu maknanya
luas dan mendalam. Toleransi lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. Banyak
orang yang mengajarkan toleransi, tetapi dalam praktiknya tidak selalu toleran.
Saya sadar juga dalam beberapa kasus masuk dalam kategori ini. Tetapi sebagai
seorang Muslim, saya selalu berusaha untuk menjadi manusia yang toleran. Tentu
saja, toleran itu tidak dalam semua hal. Dalam hal yang fundamental, seperti
agama, toleransi itu tidak berlaku. Secara mendasar, toleransi itu bisa
diterapkan, khususnya, pada aspek yang berkaitan dengan relasi sosial.
Toleransi dalam
rumah tangga jika diterapkan secara sungguh-sungguh, menurut saya, Insyaallah
akan mampu menjadikan rumah tangga sebagai rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
wa rakhmah. Anda mungkin bertanya; ”Apa hanya toleransi saja?”. Tentu saja
tidak, tetapi coba Anda renungkan; keluarga yang retak dan hancur biduk rumah
tangganya terjadi karena mereka tidak toleran satu sama lain.
Berkaitan dengan
toleransi ini, saya sudah mengulasnya secara panjang lebar di buku saya, Character Building. Pada halaman 139
buku tersebut, saya menulis bahwa toleransi berarti sikap
membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup
yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran
dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan
terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda.
Toleransi lahir
dari sikap menghargai diri (self-esteem) yang tinggi. Kuncinya adalah
bagaimana semua pihak memersepsi dirinya dan orang lain. Jika persepsinya lebih
mengedepankan dimensi negatif dan kurang apresiatif terhadap orang lain,
kemungkinan besar sikap toleransinya akan lemah, atau bahkan tidak ada.
Sementara, jika persepsi diri dan orang lainnya positif, maka yang muncul
adalah sikap yang toleran dalam menghadapi keragaman. Toleransi akan muncul pada
orang yang telah memahami kemajemukan secara optimis-positif. Sementara pada
tataran teori, konsep toleransi mengandaikan fondasi nilai bersama.
Memang bukan hal
mudah membangun semangat toleransi dan mewujudkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Kata toleransi memang mudah diucapkan, namun memiliki kesulitan
dan kerumitan tersendiri ketika diimplementasikan, sebab realitas yang sarat
keragaman, perbedaan, dan penuh pertentangan dalam kehidupan menjadikan usaha
untuk mengimplementasikan toleransi menjadi agenda yang tidak ringan. Namun
demikian, menarik menyimak pendapat Nurcholish Madjid dalam bukunya Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di Tabloid TEKAD (Jakarta:
TEKAD, 1999), halaman 107, yang menyatakan bahwa melaksanakan toleransi
merupakan manifestasi dari ajaran agama yang benar. Menurut analisis Cak
Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—salah satu ajaran agama Islam yang sangat
mendasar adalah tanggung jawab pribadi manusia kelak di hadapan Tuhan. Segi
konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
memilih jalan hidupnya dan tindakannya sendiri. Tidak boleh ada paksaan
terhadap orang lain. Bahkan, agama pun tidak boleh dipaksakan kepadanya. Hak
yang amat asasi ini kemudian bercabang menjadi berbagai hak yang tidak boleh
diingkari, di antaranya hak menyatakan pendapat dan pikiran. Dan, adanya hak
setiap orang untuk didengar menghasilkan adanya kewajiban orang lain untuk
mendengar.
Di tengah fenomena
semakin maraknya kasus perceraian, ada baiknya kita merenungkan kembali spirit
toleransi. Sekali lagi memang tidak hanya kata toleransi saja yang menentukan
keharmonisan sebuah keluarga, tetapi tanpa toleransi, sebuah keluarga tidak
akan mampu terbangun secara harmonis. Salam
[Trenggalek—Tulungagung, 26/4/2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.