Jumat, 26 April 2013

MUSIM CERAI


Oleh Ngainun Naim


Saya menulis catatan ini berdasarkan keprihatinan terhadap semakin maraknya kasus perceraian. Sesungguhnya meningkatnya kasus perceraian tidak hanya terjadi di kalangan artis saja. Profesi lainnya juga memiliki gejala yang sama. Tetapi perceraian artis memang menjadi perbincangan luas karena mereka menjadi public figur dan konsumsi empuk awak media.
Beberapa artis yang belakangan ini rumah tangganya retak atau bahkan sudah bubar, antara lain; Katon Bagaskara—Ira Wibowo, Venna Melinda—Ivan, dan Jamal Mirdad—Lidya Kandow. Artis-artis ini telah membangun biduk rumah tangga dalam jangka waktu yang panjang; lebih dari sepuluh tahun. Bahkan Jamal—Lidya yang telah 27 tahun menikah juga dikabarkan sedang dalam proses cerai.
Saya sendiri selalu berdoa agar Allah memberikan rahmat-Nya bagi keluarga saya. Doa awal pernikahan agar tercipta keluarga sakinah mawaddah wa rakhmah selalu saya panjatkan. Saya juga berusaha agar mampu terbangun keluarga seperti doa saya. Walaupun saya sadar sepenuhnya, siapapun yang membangun mahligai rumah tangga, tidak ada seorang pun yang tidak pernah memiliki masalah. Bertemunya dua orang dengan perbedaan dalam banyak hal dalam ikatan pernikahan jelas membutuhkan kemauan dan kesadaran untuk saling memahami satu sama lain. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Dr. Meutia Hatta, putri Bung Hatta saat ditanya tentang apa nasehat Bung Hatta saat Bu Meutia menikah dengan Prof. Sri-Edi Swasono, ternyata menurut Bu Meutia, Bung Hatta hanya menasehatkan satu hal, yaitu toleransi.
Kelihatannya sederhana, tetapi tentu tidak mudah untuk mewujudkannya. Toleransi itu maknanya luas dan mendalam. Toleransi lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. Banyak orang yang mengajarkan toleransi, tetapi dalam praktiknya tidak selalu toleran. Saya sadar juga dalam beberapa kasus masuk dalam kategori ini. Tetapi sebagai seorang Muslim, saya selalu berusaha untuk menjadi manusia yang toleran. Tentu saja, toleran itu tidak dalam semua hal. Dalam hal yang fundamental, seperti agama, toleransi itu tidak berlaku. Secara mendasar, toleransi itu bisa diterapkan, khususnya, pada aspek yang berkaitan dengan relasi sosial.
Toleransi dalam rumah tangga jika diterapkan secara sungguh-sungguh, menurut saya, Insyaallah akan mampu menjadikan rumah tangga sebagai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rakhmah. Anda mungkin bertanya; ”Apa hanya toleransi saja?”. Tentu saja tidak, tetapi coba Anda renungkan; keluarga yang retak dan hancur biduk rumah tangganya terjadi karena mereka tidak toleran satu sama lain.
Berkaitan dengan toleransi ini, saya sudah mengulasnya secara panjang lebar di buku saya, Character Building. Pada halaman 139 buku tersebut, saya menulis bahwa toleransi berarti sikap membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda.
Toleransi lahir dari sikap menghargai diri (self-esteem) yang tinggi. Kuncinya adalah bagaimana semua pihak memersepsi dirinya dan orang lain. Jika persepsinya lebih mengedepankan dimensi negatif dan kurang apresiatif terhadap orang lain, kemungkinan besar sikap toleransinya akan lemah, atau bahkan tidak ada. Sementara, jika persepsi diri dan orang lainnya positif, maka yang muncul adalah sikap yang toleran dalam menghadapi keragaman. Toleransi akan muncul pada orang yang telah memahami kemajemukan secara optimis-positif. Sementara pada tataran teori, konsep toleransi mengandaikan fondasi nilai bersama.
Memang bukan hal mudah membangun semangat toleransi dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata toleransi memang mudah diucapkan, namun memiliki kesulitan dan kerumitan tersendiri ketika diimplementasikan, sebab realitas yang sarat keragaman, perbedaan, dan penuh pertentangan dalam kehidupan menjadikan usaha untuk mengimplementasikan toleransi menjadi agenda yang tidak ringan. Namun demikian, menarik menyimak pendapat Nurcholish Madjid dalam bukunya Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Kolom-Kolom di Tabloid TEKAD (Jakarta: TEKAD, 1999), halaman 107, yang menyatakan bahwa melaksanakan toleransi merupakan manifestasi dari ajaran agama yang benar. Menurut analisis Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—salah satu ajaran agama Islam yang sangat mendasar adalah tanggung jawab pribadi manusia kelak di hadapan Tuhan. Segi konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya dan tindakannya sendiri. Tidak boleh ada paksaan terhadap orang lain. Bahkan, agama pun tidak boleh dipaksakan kepadanya. Hak yang amat asasi ini kemudian bercabang menjadi berbagai hak yang tidak boleh diingkari, di antaranya hak menyatakan pendapat dan pikiran. Dan, adanya hak setiap orang untuk didengar menghasilkan adanya kewajiban orang lain untuk mendengar.
Di tengah fenomena semakin maraknya kasus perceraian, ada baiknya kita merenungkan kembali spirit toleransi. Sekali lagi memang tidak hanya kata toleransi saja yang menentukan keharmonisan sebuah keluarga, tetapi tanpa toleransi, sebuah keluarga tidak akan mampu terbangun secara harmonis. Salam [Trenggalek—Tulungagung, 26/4/2013].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.