Oleh Ngainun Naim
Mantan Presiden RI,
K.H. Abdurrahman Wahid, pernah membuat pernyataan menarik mengenai kiai dan
intelektual. Menurut Gus Dur—sapaan akrab K.H. Abdurrahman Wahid—perbedaan
antara keduanya sangat mendasar, yakni pada orientasinya. Kiai itu berusaha
menerjemahkan teori, konsep, dan persoalan yang rumit menjadi sederhana dan
mudah dipahami oleh masyarakat. Sementara intelektual justru sebaliknya;
persoalan yang sebenarnya sederhana dan mudah justru dibuat rumit dengan
bungkus teori yang melangit. Seolah ciri intelektual adalah ilmiah yang sulit
untuk dipahami. Akibatnya, masyarakat yang mendengar justru dibuat pusing dengan
hal tersebut.
Pernyataan tersebut
bisa jadi sekadar guyonan atau memang dimaksudkan oleh Gus Dur untuk memberikan
kritik terhadap kalangan intelektual yang terkesan elitis dan hanya berada di
atas menara gading. Sudah bukan rahasia lagi kalau Gus Dur dikenal sebagai ahli
humor sekaligus kritikus yang cerdas. Khazanah
humornya sangat kaya. Dalam berbagai forum—formal atau nonformal—Gus Dur
dengan tanpa beban melontarkan joke-joke segar yang menghibur.
Wajar jika Gus Dur
memberikan pujian terhadap kiai karena peran besarnya dalam transformasi di
berbagai bidang kehidupan. Kehidupan Gus Dur selalu dikelilingi oleh kiai. Gus
Dur sendiri kita kenal sebagai kiai yang tidak hanya ahli dalam bidang agama,
tetapi juga berbagai bidang kehidupan lainnya. Gus Dur menjadi kiai—meminjam
penjelasan budayawan Mohammad Sobari—pertama-tama karena ”ascribed status”.
Kurang lebih itu artinya, beliau menjadi kiai karena ayahnya kiai, dan
kakeknya, dari pihak ayah maupun ibu, semua juga kiai.
Tetapi Gus Dur
menjadi kiai bukan semata-mata karena memiliki garis nasab kiai, melainkan juga
karena ”achieved status”, yakni melalui perolehan prestasi pribadi. Jauh
sebelum Gus Dur menjadi tokoh besar, beliau telah melewati berbagai perjalanan
yang memungkinkan dirinya menjadi kiai. Beliau nyantri di berbagai pesantren,
terutama di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Beberapa pesantren juga pernah
disinggahi, walaupun tidak lama.
Di masa dewasanya, beliau
pun masih ’nyantri’ pada seorang kiai tarekat di Kebumen. Kecuali itu, beliau juga
sangat dekat dengan sejumlah kiai yang di dunia NU disebut ’khariqul adah’—kiai-kiai ’nyleneh’—karena pada hakekatnya mereka
menatap dimensi lain dalam hidup, yang tak tampak oleh cara pandang biasa. Karena itu tidak ada yang meragukan kekiaian
beliau.
Menurut Gus Dur,
kiai dan intelektual seharusnya menjalankan perannya masing-masing secara
optimal. Lewat cara demikian, diharapkan kehidupan umat akan mengalami
transformasi ke arah yang lebih baik. Saat Gus Dur memberikan pujian terhadap
kiai bukan berarti Gus Dur menafikan kaum intelektual. Beliau sendiri juga seorang
intelektual. Kritik tersebut lebih dimaksudkan sebagai kritik konstruktif agar
masing-masing menjalankan perannya secara lebih optimal.
Salah satu kelemahan
kalangan intelektual—sebagaimana kritik Gus Dur—adalah pilihan terminologisnya
yang sering terkesan elitis dan sulit dipahami. Salah satu contoh konsep yang
sekarang ini sedang banyak diperbincangkan oleh kalangan intelektual adalah
konsep toleransi. Kalangan intelektual merumuskan toleransi dari beragam
perspektif: sejarah, sosiologi, filsafat, dan juga agama. Rumusan tersebut—tentu
saja—memiliki kontribusi signifikan dalam membangun epistemologi yang mapan
terhadap konsep toleransi. Sebagai kinerja intelektual, hasil kerja keras
kalangan intelektual tersebut seharusnya diapresiasi secara positif. Cara kerja
merekalah yang memiliki kontribusi penting terhadap perubahan.
Namun demikian,
salah satu kelemahan produk intelektual adalah sulitnya diterjemahkan pada
masyarakat di akar rumput. Biasanya, bahasa yang digunakan kalangan intelektual
adalah bahasa ilmiah yang sarat dengan kutipan-kutipan teoritis. Seolah ukuran
ilmiah adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Demikian juga dengan konsep
toleransi.
Dalam kerangka
semacam ini menarik untuk merenungkan kiprah seorang kiai asal Ngunut
Tulungagung, yaitu K.H. Nasihuddin. Beliau adalah seorang kiai yang cukup
dikenal di daerah Tulungagung dan sekitarnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat
beliau memang rajin berdakwah. Gaya bahasa yang beliau gunakan sederhana, mudah
dipahami, aktual, dan berbasis pada pengalaman kehidupan sosial kemasyarakatan
sehari-hari. Hal ini yang menjadikan beliau seorang kiai yang dakwahnya selalu
ditunggu oleh masyarakat.
Salah satu contoh
menariknya adalah bagaimana K.H. Nasihuddin mengajarkan toleransi kepada
masyarakat. Beliau menggunakan konsep yang cukup menarik, yaitu ”ndelok-ndelok”
(lihat-lihat). Filsafat ”ndelok-ndelok” ini hampir selalu muncul dalam setiap
pengajian beliau. Substansinya adalah mengajak umat untuk memahami setiap
persoalan yang ada secara objektif, jernih, bijak, dan tidak terburu-buru.
Lewat filsafat ”ndelok-ndelok”, orang tidak mudah untuk diajak membuat
keputusan secara emosional. Segala sesuatunya seyogyanya dipertimbangkan secara
baik.
Filsafat
”ndelok-ndelok” ini sesungguhnya mengandung konsep yang luas, mendalam, dan
kontekstual. Dikatakan luas karena saat diimplementasikan, filsafat
”ndelok-ndelok” ini mencakup berbagai aspek kehidupan. Ia mencakup bidang
ibadah dan muamalah. Orang yang memahami filsafat ”ndelok-ndelok” ini secara
baik akan memiliki sifat yang toleran. Dikatakan mendalam karena kandungan
maknanya yang filosofis dan substansial. Dan dikatakan kontekstual karena kata
tersebut bisa diterapkan dalam situasi, kondisi, dan waktu yang ada.
Filsafat
”ndelok-ndelok” yang dipopulerkan oleh K.H. Nasihuddin merupakan
konseptualisasi yang cerdas dan aplikatif untuk membangun saling pengertian dan
menghargai perbedaan. Di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan yang kian
kompleks dan mudah tersulut dalam pertentangan, apa yang dirumuskan oleh K.H.
Nasihuddin memiliki kontribusi konstruktif dalam menumbuhkan kesadaran
keragaman di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.