Selasa, 07 Februari 2012

PENGANTAR STUDI ISLAM


Studi Islam merupakan bidang kajian yang sudah cukup lama. Ia telah ada bersama dengan adanya agama Islam. Studi Islam dalam pengertian ini adalah studi Islam secara praktek. Tetapi, studi Islam sebagai sebuah ilmu yang tersusun secara sistematis, ilmiah, dan dibangun sebagai sebuah ilmu yang mandiri baru muncul dalam beberapa dekade terakhir.
Di PTAI, studi Islam menjadi nama sebuah mata kuliah. Pengantar Studi Islam (PSI) atau Metodologi Studi Islam (MSI) adalah nama mata kuliah yang bertujuan mengenalkan mahasiswa untuk memahami aspek-aspek ajaran Islam secara mendasar. Dengan mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman ajaran Islam secara lebih utuh, komprehensif, dan inklusif.
Materi dalam buku ini berusaha penulis sesuaikan dan kontekstualisasikan dengan dinamika yang tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Pembahasan buku ini diharapkan memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran mahasiswa terhadap makna penting agama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk dipertegas karena modernitas sekarang ini telah meminggirkan agama dalam kehidupan manusia.
Salah satu materi penting dalam buku ini adalah kebutuhan manusia terhadap agama.  Jika dilacak lebih mendalam, kebutuhan manusia terhadap agama berkaitan erat dengan hakikat dirinya. Sejarah panjang kehidupan manusia selalui diwarnai dengan diskusi, perdebatan, dan penelitian tanpa henti tentang hakikat dirinya. Mungkin aneh kedengarannya bahwa manusia justru bertanya dan meneliti tanpa henti tentang hakikat dan eksistensi dirinya. Tetapi itulah kenyataannya. Pertanyaan tentang siapa manusia, apa hakikatnya, dan hal ikhwal yang berkaitan dengan eksistensinya terus bergulir tanpa mampu dihentikan. Berbagai jawaban dan penemuan ternyata belum juga mampu menuntaskan terhadap persoalan ini. Selalu saja terbuka ruang untuk mempertanyakan dari setiap penemuan yang telah ada. Dan ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat sebuah penemuan memang relatif sifatnya. Selain itu, dinamika dan perkembangan juga terus berlangsung dengan derasnya yang mengakibatkan sebuah temuan akan segera kekurangan, atau bahkan kehilangan relevansinya.
Jika Anda bertanya tentang manusia kepada seorang psikolog, maka jawaban yang akan muncul juga lebih didominasi oleh perspektif kejiwaan. Sisi-sisi lainnya otomatis akan terabaikan, atau minimal kurang memperoleh perhatian secara proporsional. Coba Anda minta komentar kepada para ahli ilmu sosial tentang manusia, maka jawabannya juga lebih berkaitan dengan aspek relasi antar manusia. Demikian juga dengan bidang-bidang keilmuan lainnya.
Begitulah perkembangan dan perdebatan tentang manusia. Tidak pernah ada kata berhenti atau puas. Selalu muncul sisi lain yang belum terkuak, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan berarti menyisakan sisi yang belum terungkap. Prosesnya berlangsung secara terus menerus tanpa henti. Hal ini sekaligus memberikan pelajaran berharga buat kita bahwa sepanjang sejarah manusia, pertanyaan tentang manusia memang tidak akan pernah tuntas terjawab. Tidak ada sudut pandang yang mampu menjawab secara tuntas terhadap pertanyaan ini.
Namun demikian, ada satu sisi yang kurang memperoleh perhatian, tetapi sesungguhnya sisi ini menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dari manusia. Yaitu realitas bahwa manusia tidak hanya membutuhkan aspek yang bersifat fisik-material belaka, tetapi juga membutuhkan sesuatu yang mampu memenuhi kebutuhannya secara rohaniah. Ya, manusia membutuhkan agama. Kebutuhan ini bersifat primordial dan tidak bisa diingkari. Mengingkarinya hanya sebuah kesia-siaan belaka. Karena itu, ketika ada manusia yang mengikuti ideologi ateis, sesungguhnya ia telah mengingkari eksistensi dirinya yang paling mendasar. Walaupun secara tegas dan dengan arogan ia mengingkari akan adanya Tuhan, suatu saat ia pasti akan membutuhkannya. Kebutuhan akan Tuhan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari alam bawah sadar manusia.
Kita dapat belajar dari kasus yang menimpa pimpinan komunis terbesar, Lenin. Sebagai pengembang ideologi ateis, tentu saja ia harus menjadi teladan dari ideologi yang dikembangkannya. Ia menjadi pioner dan jejak hidup dari apa yang digagasnya. Tetapi nampaknya ia tidak menyadari bahwa suatu saat akan muncul, baik sadar atau tidak, kerinduan akan Tuhan. Dan itu benar-benar ia alami.
Suatu ketika, ia dalam perjalanan dinas dengan pesawat helikopter. Dalam pesawat tersebut hanya ada dia bersama sang pilot. Pada awalnya, perjalanan berlangsung dengan cukup lancar. Tidak ada persoalan teknis yang mengganggu perjalanan dinas bos sosialis-komunis tersebut. Namun ketika berada di daerah pegunungan, pesawat mengalami gangguan mesin. Jalannya pesawat menjadi oleng tak tentu arah. Keduanya menjadi panik. Dalam kondisi yang sedemikian darurat, tiba-tiba terdengar suara teriakan. “Tuhan, selamatkan kami”. Sang pilot terkejut. Sontak ia menoleh keheranan. Dalam pesawat tersebut hanya ada dia dan sang Bos Komunisme. Ia keheranan dan ragu akan apa yang didengarnya. “Tuan, salahkah yang barusan aku dengar?”. Tidak kalah kagetnya dengan sang pilot, Lenin pun menjadi salah tingkah. Ia menjadi bingung. Mengapa tanpa sadar ia mengucapkan kalimat tersebut. Bukankah kalimat tersebut menunjukkan suatu ungkapan yang mengakui adanya Tuhan? Bagaimana mungkin kalimat tersebut muncul dari tokoh yang memproklamirkan tidak adanya Tuhan?
Nampaknya Lenin tidak menyadari bahwa pengakuan akan adanya Tuhan yang termanifestasi dalam ajaran agama merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendasar. Menghilangkan, atau tidak mengakui adanya Tuhan adalah sebuah usaha menipu terhadap diri sendiri. Dalam konteks inilah, penting untuk memperhatikan pernyataan Anselm von Feuerbac, Religion in welcher Form sie auftritt bleibt das ideale Bedurfnis der Menschheit [Agama, dalam bentuk apa pun dia muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia]. Bagi Feuerbach, peranan agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia, tanpa agama, tidak dapat hidup sempurna. Sayangnya, bertolak belakang dengan pendapatnya, anaknya yang sangat masyhur sebagai filsuf materialis, Ludwig von Feuerbach, justru mempersetankan agama. Bagi Feuerbach yunior, hal yang utama bukan agama. Katanya, “Der Mensch ist, war er iszt, [Manusia adalah apa yang ia makan]. Makanan menentukan kehidupan manusia, termasuk kehidupan beragamanya.

(Ini adalah sebagian pengantar untuk buku saya, Pengantar Studi Islam, terbitan Gre Publishing Yogyakarta).


2 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.