Kekerasan
berlatarbelakang agama kembali menyeruak. Pasca penyerangan terhadap Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang pada awal tahun 2011,
kekerasan kembali pecah di Temanggung, Jawa Tengah. Ada tiga gereja yang
dirusak, puluhan kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak. Kejadian di
Pandeglang dan Temanggung menandai suramnya toleransi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Nampaknya
kita perlu belajar banyak dari berbagai pengalaman sejenis secara lebih
sungguh-sungguh. Peristiwa semacam ini bukan hanya terjadi sekali atau dua
kali, tetapi puluhan kali. Tidak terhitung lagi jumlah nyawa yang melayang
sia-sia. Semestinya pengalaman yang sudah berulangkali tersebut menjadi modal
penting dalam mengelola keragaman masyarakat secara lebih baik. Dengan demikian,
kekerasan karena faktor perbedaan agama, aliran, kelompok, suku, dan sebagainya, tidak
terulang kembali.
Di sisi yang
lain, kerusuhan di Pandeglang dan Temanggung memberikan indikasi betapa
toleransi masih rendah dalam pemahaman dan kesadaran masyarakat. Perbedaan
ternyata belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan hidup yang indah, tetapi
justru menjadi sarana untuk berperilaku secara barbar. Penyelesaian masalah
dengan kepala dingin, mengedepankan dialog, jalan damai, dan berbasis
nilai-nilai kemanusiaan ternyata belum menjadi pilihan utama.
Toleransi
yang selama ini didengungkan ternyata belum berpijak di bumi. Toleransi masih
terasa meriah dalam wacana dan ruang-ruang diskusi, sementara secara
aplikatif baru menjadi pemahaman dan kesadaran kalangan elit agama dan
masyarakat tertentu saja. Sementara pada sebagian besar masyarakat, kesadaran
semacam itu belum tumbuh dan berkembang secara baik. Realitas semacam inilah
yang nampaknya dominan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Sentimen agama
misalnya, begitu mudah dijadikan pemicu lahirnya kekerasan.
Usaha-usaha
membangun toleransi dan kesadaran keragaman sebenarnya sudah cukup banyak
dilakukan. Dialog, diskusi, pertemuan, dan kerja sama di antara para tokoh
agama menjadi kegiatan yang semakin populer. Kegiatan-kegiatan tersebut,
sedikit banyak telah memberi kontribusi signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran
toleransi. Selain itu, dengan kegiatan-kegiatan para tokoh agama, ruang-ruang
perbedaan, prasangka, dan berbagai persepsi negatif terhadap mereka yang
berbeda dapat diminimalisir.
Namun juga
harus dicermati secara kritis bahwasanya pertemuan para tokoh lintas agama
nampaknya kurang mampu tersosialisasi secara optimal di kalangan umat. Jika
para tokoh agama mampu membangun dialog dan kesadaran toleransi, umatnya belum
tentu memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama. Perbedaan pendidikan, pola
pikir, latar belakang budaya, dan keragaman lainnya menjadikan umat beragama
memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda terhadap wacana toleransi yang
disosialisasikan oleh para tokoh agamanya.
Dengan
kondisi semacam itu, diperlukan pemikiran secara lebih serius dan utuh untuk
membangun sikap hidup yang lebih arif dalam kehidupan yang heterogen. Pola-pola
penanganan persoalan kekerasan yang selama ini dilakukan nampaknya lebih
bernuansa tentatif dan reaktif. Pola semacam ini memang mampu ‘memadamkan api’
secara cepat, tetapi kurang mampu menyelesaikan sampai ke akar persoalannya.
Implikasinya, sangat mungkin kejadian sejenis terulang kembali dalam masa-masa
selanjutnya.
Oleh karena
itu, diperlukan metode membangun kesadaran dengan cakupan lebih luas dan
memiliki spektrum pengaruh yang panjang. Pendidikan menjadi pilihan yang cukup
strategis untuk menyosialisasikan nilai-nilai toleransi dan sikap arif terhadap
keragaman. Hal ini disebabkan karena pendidikan memiliki segenap perangkat
pendukung yang memadai dan sistematis untuk internalisasi nilai-nilai yang
dimaksud. Selain itu, pengaruh pendidikan juga lebih berjangka panjang
dibandingkan cara-cara tentatif dan reaksioner. Sebagaimana dikatakan Azyumardi
Azra, pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan
perubahan. Dalam kerangka fungsional yang sedemikian signifikan, maka
pendidikan harus diletakkan dalam posisi yang tepat. Posisi pendidikan harus
diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif.
Dengan demikian, pendidikan merupakan pengembangan paradigma intelektual. Dalam
paradigma ini, peserta didik akan memiliki kesiapan mental dan kemampuan
teoretik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah dalam era modern,
termasuk bagaimana hidup dalam keragaman yang kian kompleks.
Pendidikan
yang mampu menumbuhkan kesadaran dalam menghadapi kehidupan yang heterogen
adalah pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari
manapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya adalah terciptanya
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan
tanpa rekayasa. Pendidikan semacam ini dapat diposisikan sebagai bagian dari
upaya komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis, konflik agama,
radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar
dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan yang semacam ini, dalam proses keyakinannya setiap
komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversity. Selain
itu juga harus disertai dengan sikap yang tidak saja mengandaikan suatu
mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointerpretable, atau
menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan,
tetapi juga memerlukan kesadaran moralitas dan kebajikan. Tentu saja, penanaman
konsep seperti ini dengan tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang
diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan
pendidikan multikultural bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi
keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan mengkhianati
tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang
dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Landasan filosofis
pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia harus didasarkan kepada
pemahaman bahwa multikultural merupakan fitrah manusia. Selain itu juga perlu
didasarkan kepada pemahaman dan pengertian bahwa manusia memang berbeda, tetapi
juga memiliki kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban
sekarang ini persamaan-persamaan lebih penting ketimbang perbedaan.
Metode yang
dapat diterapkan dalam pendidikan multikultural adalah model komunikatif dengan
menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Metode dialog ini sangat
efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian
perbandingan agama dan budaya. Sebab, dengan dialog memungkinkan setiap
komunitas yang notabenenya memiliki latar belakang berbeda agama dapat
mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam proses inilah diharapkan
nantinya memungkinkan adanya sikap lending and borrowing serta saling
mengenal antar tradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing
peserta didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim
dapat diminimalkan, bahkan kalau mungkin dapat dibuang jauh-jauh.
Metode
dialog ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak sebab metodenya telah
mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded).
Di samping juga untuk bersikap objektif dan subjektif sekaligus. Objektif
maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair tanpa harus
mempertanyakan mengenai benar-salahnya suatu agama. Subjektif maksudnya
pengajaran seperti itu sifatnya hanya untuk mengantarkan setiap peserta didik
memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu agama dapat dirasakan
oleh setiap orang yang mempercayainya.
* * *
Buku
ini lahir di tengah iklim kehidupan sosial keagamaan di Indonesia yang selalu
saja diwarnai dengan bentrokan, kekerasan, dan berbagai persoalan perbedaan
yang berujung dengan kekerasan. Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh
pemerintah untuk membangun kerukunan, tetapi realitas di lapangan nampaknya
masih jauh dari harapan.
Kerukunan
sesungguhnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Ia merupakan
tanggung jawab seluruh komponen bangsa ini. Menggantungkan terhadap pemerintah
semata jelas tidak akan mampu memberi kontribusi signifikan dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang ada. Pemerintah sendiri sudah kehabisan energi untuk
mengurus aneka persoalan bangsa ini yang kian kompleks. Oleh karena itu,
partisipasi dari seluruh komponen masyarakat sangat penting artinya. Namun
sayangnya, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memiliki kepedulian
terhadap kerukunan. Sehingga persoalan kerukunan ini baru mengemuka dan banyak
mendapat perhatian setelah berbagai insiden terjadi. Setelah itu, persoalan
kerukunan kembali dilupakan.
Kontribusi
keilmuan untuk membangun kerukunan juga tidak kalah pentingnya dibandingkan
bergerak dalam aksi-aksi konkret di lapangan. Keduanya—teori dan aksi—bukan
suatu hal yang harus dipertentangkan. Masing-masing eksponen, baik dari
kalangan teoritisi maupun praktisi kerukunan tidak boleh menafikan satu sama
lain. Masing-masing memiliki peranan dan kontribusi yang saling melengkapi.
Kehadiran
buku ini merupakan ikhtiar penulis untuk membangun kerukunan pada tataran
wacana dan teori. Lewat buku ini diharapkan akan muncul pemahaman dan kesadaran
secara lebih luas tentang arti dan makna penting kerukunan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, keragaman seharusnya dirawat secara
baik sehingga tidak berujung pada konflik dan kekerasan.
Tahun
2008 penulis saya menulis buku mengenai bagaimana hidup dalam masyarakat yang
beragam. Buku berjudul Pendidikan
Multikultural, Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Wacana, 2008)
tersebut merupakan titik awal saya sebagai penulis untuk berkiprah dalam wacana
toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme.
Sebagai
seorang penulis yang menikmati debat-debat keilmuan, saya menyadari ada banyak
hal yang harus disempurnakan dalam buku ini. Sebagaimana dikatakan oleh Prof.
Komaruddin Hidayat bahwa jika seorang penulis menunggu sebuah karya sempurna
maka dia tidak akan menghasilkan sebuah buku sepanjang hidup. Demikian juga
dengan buku ini. Artinya, buku ini lahir dalam ruang yang membuka kritik dan
masukan dari berbagai pihak. Catatan dan komentar konstruktif pembaca merupakan
modal penting bagi penulis untuk melakukan kajian dan telaah secara lebih baik
lagi.
Aktivitas
menulis buku telah penulis lakukan dalam beberapa tahun terakhir. Menulis
selalu memberikan energi dan spirit dalam hidup Memang bukan hal mudah
untuk merawat spirit ini di tengah berbagai godaan yang ada, tetapi saya akan
selalu berusaha menulis dengan tetap berdasar nalar sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.