Selasa, 07 Februari 2012

PENGANTAR TEOLOGI KERUKUNAN


Kekerasan berlatarbelakang agama kembali menyeruak. Pasca penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang pada awal tahun 2011, kekerasan kembali pecah di Temanggung, Jawa Tengah. Ada tiga gereja yang dirusak, puluhan kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak. Kejadian di Pandeglang dan Temanggung menandai suramnya toleransi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Nampaknya kita perlu belajar banyak dari berbagai pengalaman sejenis secara lebih sungguh-sungguh. Peristiwa semacam ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi puluhan kali. Tidak terhitung lagi jumlah nyawa yang melayang sia-sia. Semestinya pengalaman yang sudah berulangkali tersebut menjadi modal penting dalam mengelola keragaman masyarakat secara lebih baik. Dengan demikian, kekerasan karena faktor perbedaan agama, aliran, kelompok, suku, dan sebagainya, tidak terulang kembali.
Di sisi yang lain, kerusuhan di Pandeglang dan Temanggung memberikan indikasi betapa toleransi masih rendah dalam pemahaman dan kesadaran masyarakat. Perbedaan ternyata belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan hidup yang indah, tetapi justru menjadi sarana untuk berperilaku secara barbar. Penyelesaian masalah dengan kepala dingin, mengedepankan dialog, jalan damai, dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan ternyata belum menjadi pilihan utama.
Toleransi yang selama ini didengungkan ternyata belum berpijak di bumi. Toleransi masih terasa meriah dalam wacana dan ruang-ruang diskusi, sementara secara aplikatif baru menjadi pemahaman dan kesadaran kalangan elit agama dan masyarakat tertentu saja. Sementara pada sebagian besar masyarakat, kesadaran semacam itu belum tumbuh dan berkembang secara baik. Realitas semacam inilah yang nampaknya dominan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Sentimen agama misalnya, begitu mudah dijadikan pemicu lahirnya kekerasan.
Usaha-usaha membangun toleransi dan kesadaran keragaman sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan. Dialog, diskusi, pertemuan, dan kerja sama di antara para tokoh agama menjadi kegiatan yang semakin populer. Kegiatan-kegiatan tersebut, sedikit banyak telah memberi kontribusi signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran toleransi. Selain itu, dengan kegiatan-kegiatan para tokoh agama, ruang-ruang perbedaan, prasangka, dan berbagai persepsi negatif terhadap mereka yang berbeda dapat diminimalisir.
Namun juga harus dicermati secara kritis bahwasanya pertemuan para tokoh lintas agama nampaknya kurang mampu tersosialisasi secara optimal di kalangan umat. Jika para tokoh agama mampu membangun dialog dan kesadaran toleransi, umatnya belum tentu memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama. Perbedaan pendidikan, pola pikir, latar belakang budaya, dan keragaman lainnya menjadikan umat beragama memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda terhadap wacana toleransi yang disosialisasikan oleh para tokoh agamanya.
Dengan kondisi semacam itu, diperlukan pemikiran secara lebih serius dan utuh untuk membangun sikap hidup yang lebih arif dalam kehidupan yang heterogen. Pola-pola penanganan persoalan kekerasan yang selama ini dilakukan nampaknya lebih bernuansa tentatif dan reaktif. Pola semacam ini memang mampu ‘memadamkan api’ secara cepat, tetapi kurang mampu menyelesaikan sampai ke akar persoalannya. Implikasinya, sangat mungkin kejadian sejenis terulang kembali dalam masa-masa selanjutnya.
Oleh karena itu, diperlukan metode membangun kesadaran dengan cakupan lebih luas dan memiliki spektrum pengaruh yang panjang. Pendidikan menjadi pilihan yang cukup strategis untuk menyosialisasikan nilai-nilai toleransi dan sikap arif terhadap keragaman. Hal ini disebabkan karena pendidikan memiliki segenap perangkat pendukung yang memadai dan sistematis untuk internalisasi nilai-nilai yang dimaksud. Selain itu, pengaruh pendidikan juga lebih berjangka panjang dibandingkan cara-cara tentatif dan reaksioner. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan perubahan. Dalam kerangka fungsional yang sedemikian signifikan, maka pendidikan harus diletakkan dalam posisi yang tepat. Posisi pendidikan harus diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif. Dengan demikian, pendidikan merupakan pengembangan paradigma intelektual. Dalam paradigma ini, peserta didik akan memiliki kesiapan mental dan kemampuan teoretik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah dalam era modern, termasuk bagaimana hidup dalam keragaman yang kian kompleks.
Pendidikan yang mampu menumbuhkan kesadaran dalam menghadapi kehidupan yang heterogen adalah pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa. Pendidikan semacam ini dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis, konflik agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang semacam ini, dalam proses keyakinannya setiap komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversity. Selain itu juga harus disertai dengan sikap yang tidak saja mengandaikan suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointerpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran moralitas dan kebajikan. Tentu saja, penanaman konsep seperti ini dengan tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan pendidikan multikultural bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan mengkhianati tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Landasan filosofis pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman bahwa multikultural merupakan fitrah manusia. Selain itu juga perlu didasarkan kepada pemahaman dan pengertian bahwa manusia memang berbeda, tetapi juga memiliki kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban sekarang ini persamaan-persamaan lebih penting ketimbang perbedaan.
Metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan multikultural adalah model komunikatif dengan menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Metode dialog ini sangat efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian perbandingan agama dan budaya. Sebab, dengan dialog memungkinkan setiap komunitas yang notabenenya memiliki latar belakang berbeda agama dapat mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam proses inilah diharapkan nantinya memungkinkan adanya sikap lending and borrowing serta saling mengenal antar tradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing peserta didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan, bahkan kalau mungkin dapat dibuang jauh-jauh.
Metode dialog ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak sebab metodenya telah mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded). Di samping juga untuk bersikap objektif dan subjektif sekaligus. Objektif maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair tanpa harus mempertanyakan mengenai benar-salahnya suatu agama. Subjektif maksudnya pengajaran seperti itu sifatnya hanya untuk mengantarkan setiap peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu agama dapat dirasakan oleh setiap orang yang mempercayainya.

*  *  *

Buku ini lahir di tengah iklim kehidupan sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja diwarnai dengan bentrokan, kekerasan, dan berbagai persoalan perbedaan yang berujung dengan kekerasan. Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk membangun kerukunan, tetapi realitas di lapangan nampaknya masih jauh dari harapan.
Kerukunan sesungguhnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Ia merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa ini. Menggantungkan terhadap pemerintah semata jelas tidak akan mampu memberi kontribusi signifikan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Pemerintah sendiri sudah kehabisan energi untuk mengurus aneka persoalan bangsa ini yang kian kompleks. Oleh karena itu, partisipasi dari seluruh komponen masyarakat sangat penting artinya. Namun sayangnya, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kerukunan. Sehingga persoalan kerukunan ini baru mengemuka dan banyak mendapat perhatian setelah berbagai insiden terjadi. Setelah itu, persoalan kerukunan kembali dilupakan.
Kontribusi keilmuan untuk membangun kerukunan juga tidak kalah pentingnya dibandingkan bergerak dalam aksi-aksi konkret di lapangan. Keduanya—teori dan aksi—bukan suatu hal yang harus dipertentangkan. Masing-masing eksponen, baik dari kalangan teoritisi maupun praktisi kerukunan tidak boleh menafikan satu sama lain. Masing-masing memiliki peranan dan kontribusi yang saling melengkapi.
Kehadiran buku ini merupakan ikhtiar penulis untuk membangun kerukunan pada tataran wacana dan teori. Lewat buku ini diharapkan akan muncul pemahaman dan kesadaran secara lebih luas tentang arti dan makna penting kerukunan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, keragaman seharusnya dirawat secara baik sehingga tidak berujung pada konflik dan kekerasan.
Tahun 2008 penulis saya menulis buku mengenai bagaimana hidup dalam masyarakat yang beragam. Buku berjudul Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Wacana, 2008) tersebut merupakan titik awal saya sebagai penulis untuk berkiprah dalam wacana toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme.
Sebagai seorang penulis yang menikmati debat-debat keilmuan, saya menyadari ada banyak hal yang harus disempurnakan dalam buku ini. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Komaruddin Hidayat bahwa jika seorang penulis menunggu sebuah karya sempurna maka dia tidak akan menghasilkan sebuah buku sepanjang hidup. Demikian juga dengan buku ini. Artinya, buku ini lahir dalam ruang yang membuka kritik dan masukan dari berbagai pihak. Catatan dan komentar konstruktif pembaca merupakan modal penting bagi penulis untuk melakukan kajian dan telaah secara lebih baik lagi.
Aktivitas menulis buku telah penulis lakukan dalam beberapa tahun terakhir. Menulis selalu memberikan energi dan spirit dalam hidup  Memang bukan hal mudah untuk merawat spirit ini di tengah berbagai godaan yang ada, tetapi saya akan selalu berusaha menulis dengan tetap berdasar nalar sehat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.