Selasa, 20 Agustus 2013

MENJADI GURU INSPIRATIF: MEMBERDAYAKAN DAN MENGUBAH JALAN HIDUP SISWA

Oleh Ngainun Naim



A.  Pendahuluan
Saya menulis buku Menjadi Guru Inspiratif tahun 2008. Ide menulis datang secara tidak sengaja. Dalam suatu perbincangan santai, seorang teman kuliah bercerita mengenai guru-guru dan dosen-dosen yang pernah mengajarnya. Ia bilang ada guru atau dosen yang hebat dan menanamkan pengaruh besar. “Mereka itu inspiratif”, katanya. Namun banyak yang biasa-biasa saja sehingga kemudian dilupakan oleh para siswanya.
Diskusi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Ada berbagai pertanyaan yang muncul, seperti mengapa tidak semua dosen memiliki sifat yang inspiratif? Bagaimana menjadi seorang pendidik yang inspiratif?
Kegelisahan dan berbagai pertanyaan terus terngiang dalam benak saya. Sebagaimana dikatakan oleh Milan Kundera bahwa “Ingatan dan kenangan adalah hal terindah dalam hidup”, saya kemudian mengingat pengalaman belajar, terutama berkaitan dengan seperti saja karakter para guru saya. Ketika sekolah di MTs, misalnya, saya bukan orang yang menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran ini, menurut saya, hanya mengotak-atik hal-hal sederhana. Berbicara dan membaca sebagian besar kita lakukan dalam bahasa Indonesia. Terus mengapa mesti masih harus belajar Bahasa Indonesia? Ketidaksukaan saya semakin memuncak ketika ada tugas mengarang. Rasanya, ini bagian dari pelajaran bahasa Indonesia yang paling memusingkan.
Apa yang saya alami ternyata juga dialami banyak teman-teman sekelas. Saya nyaris masih ingat kalimat awal yang sering kami gunakan dalam memulai sebuah karangan, seperti: “Pada suatu hari”, “Di sebuah desa”, atau “Liburan yang lalu”. Jarang sekali ada kalimat pembuka yang lain yang lebih kreatif.
Kondisinya tentu lebih parah lagi kalau sudah masuk ke isi karangan. Isinya berputar-putar tidak karuan. Kalimat tertentu bisa berkali-kali diulang dalam satu paragraf. Kata “oleh karena itu” bisa muncul lebih dari lima kali. Teman sebangku saya paling sering menulis kata “lalu”. Pernah dihitung oleh guru bahasa Indonesia, kata lalu dalam satu alinea ada  sepuluh.
Itulah salah satu alasan saya kurang menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Tetapi ketidaksukaan tersebut, terutama mengarang, tidak berlangsung lama. Bahkan dalam perkembangannya kemudian saya justru suka dan menikmati dunia menulis. Kesukaan terhadap menulis ini mulai menemukan momentumnya ketika saya menjadi mahasiswa. Menulis, terutama menulis artikel dan resensi buku, telah menjadi kegiatan yang begitu mengasikkan dan menyenangkan.
Bagaimana saya kemudian menyukai dunia menulis? Faktor guru. Ya, gurulah yang memberikan saya perubahan secara drastis dari membenci karang mengarang hingga begitu menyukainya sampai sekarang. Guru yang mengubah sikap saya ini bukan guru bahasa Indonesia, tetapi guru lain yang mengajar bahasa Inggris.
Waktu itu, beliau masih cukup muda. Usianya sekitar 26 atau 27 tahun. Orangnya gagah, menarik, dan kalau mengajar sangat memikat. Saya sangat menyukai caranya mengajar. Dan yang lebih saya sukai, beliau memberikan banyak inspirasi kepada saya. Beliau mengerti betul bagaimana membangkitkan potensi dan minat muridnya untuk menguasai pelajaran. Berbagai metode beliau terapkan agar kami bisa menyenangi dan menguasai pelajaran bahasa Inggris.
Tetapi di luar itu, ada hal lain yang semakin mengokohkan keinginan saya untuk maju, yaitu sikap dan semangat beliau. Beliau seorang seorang penulis artikel di berbagai majalah, dan juga seorang “kutu buku”. Setiap mengajar selalu membawa buku. Di sela-sela waktu kosong, beliau membaca buku. Sekitar 10 atau 15 menit menjelang pelajaran berakhir, beliau selalu memberi kesempatan kepada kami untuk bertanya tentang apa saja. Dan sepanjang pengalaman yang saya ingat, beliau mampu menjawab setiap pertanyaan kami secara memuaskan. Padahal, pertanyaan yang kami ajukan mencakup berbagai bidang.
Itulah yang membuat saya begitu terinspirasi. Ingin rasanya meniru beliau. Inspirasi dari beliau mendorong saya untuk sedapat mungkin membaca buku dan majalah yang ada. Juga, saya berusaha menulis, walaupun pada awalnya saya tidak menyukai menulis. Tetapi lama kelamaan, menulis mulai menarik hati saya. Seiring perjalanan waktu, menulis pun semakin saya sukai. Ketika mahasiswa, dan terutama ketika menempuh jenjang S2, sebagian dari biaya kuliah saya peroleh dari honorarium menulis artikel dan resensi buku di berbagai media massa. Ketika menempuh S3, sebagian biaya juga saya peroleh dari honorarium menulis buku.
Apa yang ingin saya tekankan dari cuplikan pengalaman ini adalah soal guru inspiratif. Ya, guru inspiratif adalah guru yang tidak hanya mengajar saja, tetapi juga mampu memberikan pengaruh ke dalam jiwa siswanya, dan lebih jauh, mampu merubah kehidupan para siswanya. Walaupun tentu saja, perubahan selanjutnya dalam kehidupan siswa setelah menamatkan jenjang sekolah tergantung kepada siswa itu sendiri. Ada yang menindaklanjuti spirit inspiratif ini, dan ada yang hanya mengenangnya saja. Tetapi hal yang penting adalah spirit inspiratif ini memiliki makna yang sangat penting dalam mengantarkan perubahan. Mereka, para guru inspiratif itu, mungkin tidak menyadarinya, tetapi para siswanya akan selalu mengenang jasa-jasanya.
Guru inspiratif, yang kemudian menjadi judul buku ini, adalah hasil pergulatan, diskusi, perenungan, dan kajian yang saya lakukan. Saya kemudian mengembangkan gagasan ini, mencari relevansi, dan konteksnya. Menurut saya, ini merupakan suatu hal menarik. Tetapi mengapa hanya sedikit guru yang semacam itu?
Dalam penulisan buku ini, saya berusaha mencari berbagai bahan pustaka pendukung, baik dari buku maupun internet, dan juga renungan pengalaman pribadi. Ternyata, guru inspiratif hanyalah sebagian kecil saja dari guru-guru kita. Sebagian besarnya adalah guru kurikulum, yaitu guru yang mengajar demi tuntutan menyelesaikan target yang telah ditentukan oleh kurikulum. Dalam pandangan guru kurikulum, ukuran keberhasilan adalah ketika siswanya dapat memperoleh nilai maksimal dari mata pelajaran yang telah disampaikan. Tidak lebih. Persoalan bagaimana siswanya kemudian berdaya, berubah menjadi lebih baik, lebih maju, dan seterusnya, tidak masuk hitungan.
Inilah yang menggelisahkan saya. Coba misalnya separuh saja dari seluruh guru Indonesia adalah guru yang inspiratif, tentu hasilnya akan luar biasa. Indonesia tidak akan terpuruk dan terus menerus didera beragam persoalan seperti sekarang. Guru inspiratif akan senantiasa memberikan motivasi dan modal kepada para siswanya untuk mampu menghadapi perubahan. Tantangan demi tantangan akan mampu ditundukkan, walaupun tantangan tersebut tidak ringan. Manusia tahan banting yang tidak larut dalam perubahan hanya mampu dihasilkan oleh guru inspiratif.
Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana membangun spirit inspiratif di kalangan guru-guru kita. Guru inspiratif, menurut saya, adalah guru kurikulum plus. Maksudnya, selain mengajar secara maksimal berdasarkan kurikulum, ada nilai plusnya, yaitu memberikan modal lain bagi kehidupan para siswanya dalam menghadapi hidup. Dan guru inspiratif bisa diciptakan.
Mungkin ini terlalu muluk, tetapi bukan suatu hal yang mustahil. Pentingnya guru inspiratif harus terus menerus disuarakan, diperjuangkan, dan diwujudkan. Dengan begitu, ada harapan perubahan yang lebih baik di masa depan. Guru inspiratif bukan segala-galanya, tetapi adanya guru inspiratif akan memberikan kontribusi yang luar biasa bagi perubahan dalam kehidupan siswa-siswanya.

B.  Makna Guru Inspiratif
Setiap orang yang pernah belajar pasti memiliki guru. Jumlah guru yang mengajar kita jumlahnya sangat banyak, namun tidak semuanya kita kenang. Bahkan ada guru yang kita tidak lagi mengingatnya. Hanya sebagian saja dari guru yang pernah mengajar yang kita kenang karena “keistimewaan” tertentu yang ada pada guru tersebut. Para siswa biasanya menyebutnya sebagai guru idola atau guru favorit.
Dalam tipologi umum, guru secara sederhana dapat dibagi menjadi dua. Pertama, guru kurikulum yaitu sosok guru yang amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum. Guru kurikulum mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum, kata Rhenald Khasali,  seorang guru besar UI, mewakili sebagian besar guru yang pernah ditemuinya. Jika mengikuti logika Khasali, berarti sebagian besar guru adalah guru kurikulum. Mereka mengajar hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Tugas mengajar akan dianggap selesai dan sukses manakala apa yang tercantum dalam kurikulum sudah disampaikan secara tuntas, dan para siswanya mampu menguasainya secara baik. Tolok ukur keberhasilan mengajar bagi guru tipe ini adalah angka-angka kuantitatif yang diperoleh dalam evaluasi. Tidak ada orientasi lainnya yang lebih luas. 
Tipologi yang kedua adalah guru inspiratif, yaitu guru yang memiliki orientasi jauh lebih luas. Guru inspiratif tidak hanya terpaku pada kurikulum, tetapi juga memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan kemampuan para siswanya. Sayangnya, jumlah guru inspiratif amat terbatas, hanya sekitar 1 persen saja. Guru inspiratif bukan guru yang hanya mengejar kurikulum, tetapi lebih dari itu, mengajak siswa-siswanya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak siswa-siswanya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka guru inspiratif akan melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.

C.  Menyulut Spirit Inspiratif
Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang terbuka di mana hanya manusia unggullah yang dapat bertahan atau memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Masyarakat masa depan mengagungkan kualitas yang hanya dapat diproduksi oleh manusia-manusia unggul. Hanya manusia unggullah yang dapat bersaing. Dengan keunggulan itulah manusia dapat hidup terus dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Manusia unggul adalah manusia yang dapat berfikir kreatif dan produktif, yang tidak menerima status quo dan selalu menginginkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Dan oleh sebab itu, manusia unggul adalah manusia inovatif” --- HAR Tilaar.

Menjadi guru inspiratif ternyata tidak mudah. Hal ini disebabkan karena karakter inspiratif tidak bersifat permanen. Suatu saat, seorang guru dapat menjadikan dirinya begitu inspiratif di mata para siswanya. Sementara di saat yang lain, karakter semacam itu memudar. Oleh karena itu, spirit inspiratif harus dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian tidak terpisah dari diri seorang guru.
Hal penting yang harus dilakukan seorang guru adalah bagaimana senantiasa berusaha menemukan pemantik dan penyulut spirit inspiratif. Dengan usaha yang dilakukan secara terus menerus, penuh semangat, dan dilandasi oleh keyakinan yang kokoh, maka spirit inspiratif akan dapat tetap terjaga secara stabil. Naik turunnya spirit inspiratif sebenarnya merupakan hal wajar dan manusiawi.
Bagaimana menyulut spirit inspiratif? Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah. Setiap guru dapat memiliki cara dan mekanisme tersendiri untuk melakukannya. Pengalaman masing-masing guru bisa jadi berlainan. Ada yang berusaha melakukan evaluasi diri, ada yang membaca buku-buku motivasi, membaca biografi tokoh-tokoh sukses, melakukan relaksasi, dan beraneka teknik lainnya. Memang tidak ada teori baku dan universal yang menjelaskan terhadap persoalan ini.
Menurut penulis, spirit inspiratif dapat dibangkitkan dengan beberapa cara. Pertama, komitmen. Komitmen sebagai guru inspiratif harus dibangun secara kokoh dalam jiwa. Komitmen akan memberi makna yang sangat penting terhadap apa yang kita kerjakan, kita lihat, kita rasa, kita dengar, dan kita pikirkan. Setiap mengajar, sejauh kita memegang komitmen, maka kita akan senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memberi inspirasi kepada para siswa. Mengamati bagaimana siswa kurang bergairah belajar, maka komitmen sebagai guru inspiratif akan melahirkan beragam usaha untuk membangkitkan semangat mereka terhadap belajar. Melihat siswa yang dinilai bermasalah, spirit inspiratif akan terdorong untuk melacak penyebabnya dan mencari jalan keluarnya. Menghadapi hasil evaluasi yang kurang memuaskan, spirit inspiratif akan tergerak untuk menemukan cara-cara konstruktif untuk meningkatkan prestasi. Begitu seterusnya. Setiap ada persoalan, spirit inspiratif selalu memunculkan dorongan dalam diri guru untuk mencari jalan pemecahannya.
Kedua, membangun kecintaan terhadap profesi. Mengajar yang dilandasi oleh kecintaan yang mendalam akan melahirkan dan menyulut spirit inspiratif secara kokoh. Cinta yang kuat dapat menggerakkan jiwa untuk senantiasa penuh semangat, yakin, optimis, dan penuh harapan. Besarnya cinta terhadap profesi, terhadap tanggung jawab, terhadap masa depan siswa, dan terhadap tanggung jawab kepada Allah, akan menjadikan mengajar menjadi sedemikian memberdayakan, penuh kenikmatan dan penghayatan. Bagi seorang guru, jangan sampai tugas mengajar dilakukan karena faktor keterpaksaan. Ini merupakan sesuatu yang fatal, karena sikap terpaksa akan menjadikan mengajar hanya sebagai pemenuhan kewajiban saja. Tidak ada lagi spirit dan cinta yang mampu melandasinya. Tidak ada lagi visi lebih luas dan mendalam yang dibangun. Spirit inspiratif tidak akan muncul pada guru yang memiliki karakter semacam ini. Mereka yang mengajar secara terpaksa akan kehilangan gairah dan orientasi yang lebih luas. Mengajar kemudian dilakukan hanya sekedarnya saja. Mengajar dalam keterpaksaan akan menimbulkan efek psikologis yang kurang baik terhadap diri guru sendiri dan juga para siswanya. Lebih jauh, kondisi ini akan menyebabkan pembelajaran tidak mampu mencapai hasil maksimal sebagaimana diharapkan.
Ketiga, menajamkan visi. Visi, menurut Philip Kotler, merupakan an ideal standar of excellence (standar ideal kesempurnaan) yang ingin kita raih. Atau bisa juga dimaknai sebagai a dream must be achieve (mimpi yang harus kita raih). Visi sebagai guru inspiratif akan menjadikan segala aktifitasnya senantiasa diarahkan untuk menuju kepada hal tersebut. Visi ini akan menuntut bukti dan perjuangan. Dengan merumuskan visi ini, seorang guru inspiratif akan membuat kemajuan yang berarti, walaupun menghadapi tantangan yang tidak ringan. Seorang guru yang tidak memiliki visi tidak akan membuat kemajuan, walaupun mungkin ia berada di jalan yang mulus.

D.  Karakteristik Guru Inspiratif
Guru inspiratif akan selalu memberikan perspektif pencerahan kepada para siswanya. Mereka tidak sekedar mengajar sebagai kewajiban sebagaimana ditentukan dalam kurikulum, tetapi juga senantiasa berusaha secara maksimal untuk mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang, dan orientasi hidup siswa-siswanya. Sebab, kesuksesan mengajar tidak hanya diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi juga pada bagaimana para siswanya menjalani kehidupan selanjutnya setelah mereka menyelesaikan masa-masa studinya.
Kriteria guru yang inspiratif memang belum terumuskan secara jelas. Ini merupakan hal yang wajar karena definisi guru inspiratif sendiri bukan sebuah definisi yang populer dan baku dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian, bukan berarti tidak ada kriteria. Berdasarkan penelusuran literatur, diskusi, dan perenungan, penulis menemukan beberapa kriteria untuk mengukur apakah seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru inspiratif atau bukan. Tentu saja, apa yang penulis kategorikan sebagai kriteria inspiratif ini bukanlah sebuah kriteria kaku. Sangat mungkin pembaca menemukan kriteria-kriteria lainnya yang dapat melengkapi kriteria yang penulis rumuskan.
Pertama, terus belajar. Belajar menambah pengetahuan secara terus menerus merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang guru inspiratif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menjadi tantangan bagi guru untuk terus mengikutinya. Akses menambah ilmu sekarang ini semakin terbuka. Sumber pengetahuan tidak hanya dari buku. Sekarang ini, ada beraneka sumber belajar yang bisa didapatkan.
Kedua, kompeten. Bagi seorang guru, memiliki kompetensi berarti memiliki kecakapan atau kemampuan untuk mengajar. Tentu saja, kompetensi ini tidak sekedar mampu dalam makna yang minimal, tetapi mampu dalam makna yang mendalam.
Ketiga, ikhlas. Guru yang mengajar bukan karena dilandasi oleh keikhlasan, tetapi karena semata-mata mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru akan dinilainya hanya dari segi capaian materi semata. Apabila yang menjadi orientasi utamanya adalah materi, maka si guru akan mengalami kegoncangan psikologis apabila ia merasa tidak seimbang antara apa yang ia kerjakan dengan honorarium yang ia terima. Sebagai akibatnya, ia akan kehilangan semangat mengajar. Mengajar dilakukan hanya sekedarnya sebagai bagian untuk memenuhi syarat mendapatkan gaji.
Keempat, spiritualis. Aspek spiritualitas menjadi aspek penting yang mempengaruhi sisi inspiratif atau tidaknya seorang guru. Memang sisi ini bukan sebuah keharusan, tetapi adanya sisi spiritualis ini akan semakin mengukuhkan dimensi inspiratif seorang guru. Bagi seorang guru, khususnya guru agama Islam, aspek spiritualitas merupakan aspek yang harus dimiliki yang membedakannya dengan guru bidang studi lainnya. Guru agama bukan sekedar sebagai “penyampai” materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, ia adalah sumber inspirasi “spiritual” dan sekaligus sebagai pembimbing sehingga terjalin hubungan pribadi antara guru dengan anak didik yang cukup dekat dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi pengajarannya.
Kelima, totalitas. Totalitas merupakan bentuk penghayatan dan implementasi profesi yang dilaksanakan secara utuh. Dengan totalitas, maka seorang guru akan memiliki curahan energi secara maksimal untuk mendidik para siswanya. Dalam kaitannya dengan totalitas ini, menarik untuk merenungkan pernyataan Win Wenger (2003), “Apapun bidang yang sedang Anda pelajari, tenggelamkan diri Anda ke dalamnya. Bangunlah hubungan saraf-inderawi (neuro-sensori) dengannya sebanyak mungkin indera dan imajinasi Anda”.
Keenam, motivator dan kreatif. Motivasi dalam diri siswa akan terbangun manakala siswa memiliki ketertarikan terhadap apa yang disampaikan oleh guru. Hubungan emosional ini penting untuk membangkitkan motivasi siswa. Motivasi akan sulit dibangun manakala dalam diri siswa tidak terdapat ketertarikan sama sekali terhadap guru.
Ketujuh, pendorong perubahan. Guru inspiratif akan meninggalkan pengaruh kuat dalam diri para siswanya. Mereka akan terus dikenang, menimbulkan spirit dan energi perubahan yang besar, dan menjadikan kehidupan para siswanya senantiasa bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Guru semacam inilah yang banyak melahirkan para tokoh besar. Mereka sendiri mungkin sampai sekarang tetap berada di tempatnya tinggal, tetap dengan kesederhanaannya, dan tetap menularkan virus inspiratif kepada para siswanya yang terus datang silih berganti, sementara para siswanya yang terinjeksi spirit hidupnya telah berubah dan menjadi seorang yang memiliki capaian besar dalam hidupnya.
Kedelapan, disiplin. Dalam konteks disiplin, keteladanan guru menegakkan disiplin akan menjadi rujukan bagi para siswa untuk juga membangun kedisiplinan. Bagaimana mungkin para siswa akan dapat menjalankan disiplin dengan baik, jika guru sendiri tidak memberikan keteladanan? Aspek yang akan lebih meneguhkan tertanamnya budaya disiplin dalam diri anak didik dalam menegakkan wibawa dan keteladanan adalah konsistensi, atau dalam bahasa agama disebut dengan istiqamah. Sebuah aturan yang ditegakkan tanpa konsistensi akan menghancurkan kewibawaan. Lebih jauh, budaya disiplin pun akan sulit diharapkan untuk tumbuh subur. Dalam hal ini, guru dan pihak sekolah harus membangun sistem yang tidak memungkinkan terjadinya faktor-faktor yang memutus budaya disiplin. 

E.  Inspirasi Guru dan Perubahan Jalan Hidup Siswa
Pada dasarnya, peran guru inspiratif bukanlah faktor tunggal yang akan menentukan keberhasilan dalam hidup seseorang. Keberhasilan seseorang dalam hidup setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal; peran pribadi guru inspiratif, kemampuan guru inspiratif membangun iklim pembelajaran yang semakin menyuburkan arti dan makna inspiratif, serta usaha siswa sendiri untuk meraih kesuksesan, baik ketika masih sekolah maupun setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya. Pada titik inilah, guru inspiratif memiliki peranan penting dalam menyulutkan api pemantik kesuksesan dalam kehidupan para siswanya.
Tetapi jika inspirasi dan hasrat tersebut berhenti dan hanya sebatas sebagai bentuk ekspresi kekaguman semata, tentu saja perubahan tidak akan terjadi dalam diri para siswa. Perubahan sebagai dampak dari guru inspiratif akan betul-betul terjadi manakala para siswa tersebut melakukan aksi untuk meniru, memberdayakan diri, dan mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang siswa yang memiliki kemampuan dan penguasaan bahasa Inggris dengan baik, sebagaimana gurunya.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan juga memupuk beberapa potensi kreatif sebagai modal penting yang mampu mengubah inspirasi yang ada menjadi revolusi diri. Langkah yang justru lebih penting setelah memperoleh pengaruh positif dari guru inspiratif adalah bagaimana melakukan aksi sebagai bentuk pengungkapan hasrat dan kemauan untuk berubah demi melejitkan potensi diri. Langkah-langkah perubahan ini sangat penting untuk dilakukan karena hanya dengan jalan semacam inilah pengaruh dari seorang guru inspirasi betul-betul dirasakan secara nyata dalam bentuk revolusi diri menuju ke arah aktualisasi potensi diri. Inilah salah satu agenda penting yang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.

8 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.