Selasa, 20 Agustus 2013

MENYIMAK PARA CERPENIS TRENGGALEK BERTUTUR



MENYIMAK PARA CERPENIS TRENGGALEK BERTUTUR
Judul Buku: Senja Temaram di Pantai Blado
Penulis: Kamali Ali, dkk.
Penerbit: Quantum Litera Center Trenggalek
Edisi: Desember 2012
Tebal: xii+242 halaman



Ciri khas setiap manusia adalah senang bercerita. Lewat bercerita, tercipta kepuasan eksistensial. Bercerita sesungguhnya juga memberikan indikasi kalau setiap manusia itu membutuhkan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan terhadap penghargaan inilah yang menjadikan manusia itu lebih suka berbicara daripada mendengar. Perdebatan atau pertengkaran terjadi saat dua orang merasa diri mereka masing-masing sebagai penting sehingga tidak mau mendengarkan lawan bicaranya.
Kemauan dan kemampuan mendengarkan itu membutuhkan latihan. Memang mudah diucapkan atau ditulis, tetapi saat dipraktikkan ternyata cukup sulit. Para pejuang demokrasi saja ternyata sering juga ngotot dengan pendapatnya dan tidak menghargai suara yang berbeda. Begitu juga mereka yang mengajarkan tentang kejujuran ternyata tidak sedikit yang berperilaku tidak jujur. Ada jarak yang menganga antara idealitas dengan realitas.
Bercerita—seperti juga berbagai aktivitas hidup manusia yang lainnya—akan bermakna dan bermartabat tatkala dilakukan secara kreatif, produktif, dan kontekstual. Kreatif bermakna selalu berusaha menciptakan hal-hal baru yang menarik. Produktif bermakna tidak hanya sekadar bercerita, tetapi bercerita yang mampu memiliki implikasi luas sehingga menumbuhkan kesadaran, wawasan, pengetahuan yang dapat mentransformasikan diri pencerita dan orang yang mendengarkan (atau membaca) cerita. Dan kontekstual dalam makna cerita tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi.

Bakat dan Wadah
Bercerita secara bermakna dan bermartabat dapat dilakukan—di antaranya—melalui cerita secara tertulis. Kita lebih mengenalnya sebagai cerpen atau cerita pendek. Sastra Indonesia kaya dengan cerpen dalam berbagai genre. Bercerita secara tertulis memiliki sketsa dan hamparan makna yang jauh lebih abadi dengan cakupan pembaca yang lebih luas.
Tetapi bukan rahasia lagi jika bercerita secara tertulis itu tidak mudah. Saya tidak ingin terjebak pada perdebatan mengenai menulis itu mudah atau sulit. Perdebatan semacam ini—sebagaimana tulisan para Kompasianer—tidak akan ada ujungnya. Masing-masing pendapat akan dibela mati-matian seolah yang lain pasti salah. Menurut saya, menulis bukan persoalan mudah atau sulit, tetapi harus dilihat dulu siapa yang menjadi objeknya. Banyak yang mengatakan menulis itu mudah dan banyak juga yang mengatakan sebaliknya. Mereka yang mengatakan menulis itu mudah juga tidak selalu mudah dalam menulis. Ada saat-saat tertentu di mana mereka menghadapi juga kesulitan dalam menulis. Sebaliknya, ada juga yang mampu menulis dengan gampang, padahal biasanya dia kesulitan menulis.
Terlepas dari perdebatan tentang mudah atau sulit, menulis itu membutuhkan ruang persemaian agar bisa menumbuhsuburkan aktivitas menulis. Sesungguhnya banyak sekali penulis-penulis muda berbakat di seantero negeri. Tetapi sayangnya, bakat-bakat istimewa itu kemudian lenyap tak berbekas karena berbagai hal. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak ada pembimbing, tidak ada bimbingan orang tua, dan berbagai faktor lainnya yang menjadikan para pemilik bakat itu tidak mampu meradiasikan potensi dirinya.
Pada titik inilah, ikhtiar kreatif Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek layak untuk diapresiasi. Berbagai usaha untuk menggali, menumbuhkembangkan, dan memberdayakan potensi literasi dilakukan oleh para pegiat QLC. Salah satunya melalui penerbitan secara mandiri cerpen-cerpen dalam bentuk buku.

Kaya Warna
Buku yang saya ulas ini merupakan bukti konkrit karya para cerpenis Trenggalek Jawa Timur. Ada 28 orang cerpenis yang karyanya termuat di buku ini. Kehadiran buku ini menjadi bukti nyata bahwa ada begitu banyak potensi yang dimiliki oleh warga Trenggalek. Membaca kumpulan cerpen ini akan mengantarkan kita kepada sebuah kesimpulan bahwa jika ada media dan ada kesempatan, banyak potensi yang ditemukan.
Cerpenis yang karyanya dimuat dalam buku ini sangat bervariasi. Dari sisi usia, ada cerpenis sangat belia, Hilmy ’Abbad. Usianya baru delapan tahun. Melalui karyanya yang berjudul “Indahnya Lautku”, Hilmy bertutur dalam bahasa khas anak-anak yang penuh keluguan, namun sarat dengan orisinalitas. Kemampuan bertutur Hilmy ’Abbad menunjukkan bahwa jika potensi yang dimilikinya terus dirawat dan dikelola, ke depan ia memiliki potensi besar untuk menjadi sastrawan yang berkualitas. Apalagi ia dibina oleh Bundanya yang juga menulis dalam buku ini, Iin Rahmawati ’Abbad melalui cerpennya, ”Di Temaram Senja Kutemukan Cahaya”.
Jika Anda menelisik khazanah sastra Indonesia, khususnya sastra Jawa, maka nama St. Sri Emyani tentu sudah tidak asing lagi. Ia sudah malang melintang dalam dunia sastra. Ratusan cerpennya telah dimuat di berbagai media. Ciri khas karyanya yang kocak, sarat dengan kritik dalam bumbu humor, dan gaya bertutur yang renyah menjadikan cerpen Pak Yani—begitu saya memanggilnya—terasa nikmat untuk dibaca. Cerpennya yang berjudul ”Burungnya Bos Warceng” akan membuat Anda tertawa terpingkal-pingkal usai membaca. Pak Yani dengan kemampuannya yang mumpuni dalam bercerita mampu membius pembaca melalui olah bahasa, mengaduk-aduk logika, dan ’menjebak’ pembacanya untuk terus mengikuti alur cerita sejak awal sampai akhir.
Nama lain yang penting untuk disebut adalah Sri Lestari. Cerpenis asal Trenggalek ini sudah malang melintang dalam dunia menulis. Karyanya sudah pernah dimuat di Femina, Suara Pembaruan, Nova, Seputar Indonesia, Kompas Anak, dan lain-lain. Selain itu, karya skenarionya juga ditayangkan berbagai televisi nasional, seperti RCTI, SCTV, dan Trans TV. Ia juga telah menulis banyak buku, di antaranya Sketsa Bidadari, Tarian Sunyi, dan beberapa judul buku lainnya. Karena itu, tidak berlebihan jika cerpennya yang dimuat di buku ini, ”Bu Sastro dan Sepetak Kebun Kenangan” terlihat sangat matang dan menarik. Jam terbangnya yang tinggi menjadikan karyanya sangat menawan dan memikat untuk dinikmati.
Namun demikian, mayoritas penulis cerpen adalah generasi muda yang potensial. Ada yang baru sekolah di SMA dan sedang duduk di bangku kuliah di berbagai perguruan tinggi. Menilik jejak perjalanan mereka menulis terlihat bahwa mereka adalah generasi muda penuh potensi yang siap mewarnai jagad sastra Indonesia.
Setiap cerpen dalam buku ini memang menarik untuk dinikmati. Anda dapat menemukan keragaman latar belakang, perspektif, dan motif dari setiap cerpen yang disajikan. Membaca kumpulan cerpen ini tak ubahnya menikmati ’warung makan prasmanan’ dengan menu yang sangat beragam. Tidak berlebihan jika spirit menulis ini mampu untuk terus dirawat, Trenggalek ke depan akan mampu menjadi bagian penting dalam dunia sastra Indonesia.
Namun demikian bukan berarti setiap cerpen itu bebas kritik. Justru ketika sebuah tulisan tercipta, ia harus siap untuk ditelanjangi. Hal ini disebabkan karena pembaca adalah juri yang hampir pasti menemukan sisi-sisi yang dapat untuk dikritik. Demikian juga dengan kumpulan cerpen dalam buku ini.
Ada beberapa cerpen yang alurnya berbelit-belit. Hal ini menyebabkan para pembaca akan cepat jenuh untuk membaca sampai tuntas. Demikian juga beberapa cerpen yang alurnya mudah ditebak sehingga tidak memberikan daya kejut yang memikat.
Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, kumpulan cerpen ini merupakan bukti nyata bahwa dunia sastra Trenggalek sedang menggeliat. Semuanya memang baru langkah awal. Sejarah akan mencatat apakah benih-benih ini akan mampu terus tumbuh dan berkembang ataukah hanya fenomena sesaat. Jika QLC mampu mengelola dan menjadikan dirinya sebagai RUANG KOMPROMI dengan mengakomodasi berbagai warna dalam keragaman potensi yang ada, saya optimis dunia sastra Trenggalek akan menjadi warna lain yang penuh harapan. Tetapi jika diwarnai dengan perdebatan tidak substansial dan perebutan ruang kebenaran, ruang klaim, dan perang kepentingan, maka modal besar yang kini dimiliki akan menciptakan musuh-musuh baru yang menggerogoti eksistensinya.

Buku Perjuangan
Buku ini adalah buku perjuangan. Disebut demikian karena buku ini dibiayai sepenuhnya oleh teman-teman QLC. Tentu dibutuhkan modal tidak kecil bagi teman-teman yang memiliki kepedulian tersebut. Apalagi, rencana menerbitkan buku karya para penulis Trenggalek dari beragam genre juga terus diusahakan. Karena itu, bagi para pembaca sekalian yang berminat untuk memiliki buku-buku yang diterbitkan oleh QLC Trenggalek, bisa menghubungi teman-teman QLC di Facebook. ”Hargailah penulis buku dengan membeli karyanya”, tulis teman-teman QLC di dinding FB mereka. Dan saya menghargai karya mereka dengan mempromosikannya via Kompasiana he he he.
Salam
Tulungagung, 13 Agustus 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

2 komentar:

  1. nice info pak. salut sama konsistensi ngeblognya :D

    BalasHapus
  2. Sayo Nara@ terima kasih atas respon dan tanggapannya. Salam.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.