TRANSFORMASI KESADARAN KEMANUSIAAN OTENTIK
Oleh Ngainun
Naim
Judul tulisan ini kalau Anda cermati memang terlihat ’melangit’. Saya
memakai judul ini sesuai dengan tema acara halal bi halal di kampus STAIN
Tulungagung. Kamis tanggal 15 Agustus 2013 saya mendapatkan tugas untuk mengisi
acara tersebut. Atas pertimbangan untuk kepentingan dokumentasi pemikiran dan
penyebaran isi ceramah yang mungkin saja memberikan manfaat, saya tulis
pokok-pokok ceramah dari acara tersebut.
Pada acara tersebut, saya memulai uraian dengan melacak pengertian halal bi
halal. Akar katanya memang dari bahasa Arab, tetapi kata halal bi halal bukan
kata resmi dalam terminologi bahasa Arab. Kata tersebut merupakan hasil
kreativitas orang Indonesia untuk menamai sebuah acara yang kemudian menjadi
tradisi. Orang Indonesia memang cukup kreatif dalam konteks ini.
Halal bi halal tidak bisa dilepaskan dari rangkaian ibadah puasa ramadhan.
Puasa ramadhan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam
dengan tujuan agar menjadi orang yang bertakwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 183). Namun
demikian, ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah puasa
selama sebulan tersebut. Berkaitan dengan pelajaran ini, saya merujuk
penjelasan Jalaluddin Rakhmat yang menyebut bulan ramadhan sebagai ”madrasah
ruhaniah”.
Sebagai madrasah atau sekolah, ada banyak guru yang mengajar. Artinya,
ramadhan mengajarkan kepada kita banyak hal. Secara sederhana, guru dalam
konteks ini ada empat. [1] guru dalam bidang akhlak. [2] guru bidang sosial.
[3] guru bidang ekonomi. [4] guru bidang politik. Jika orang mau berpikir dan
merenungkan secara mendalam dengan kejernihan hati, keempat guru ini seolah
hadir dan mengajarkan keempat nilai tersebut kepada kita. Karena kita diajar,
maka kita akan dinyatakan lulus jika mampu menyerap, memahami, dan menjalankan
pelajaran yang diberikan oleh guru.
Selain keempat hal tersebut, puasa ramadhan juga mengajarkan tentang
kedisiplinan. Saat puasa, umat Islam dilarang makan, minum, dan melakukan
hubungan seks karena dapat membatalkan puasanya. Perjuangan selama sebulan
menjalankan ibadah puasa memberikan banyak manfaat kepada umat Islam.
Pertama, mengelola
diri. Kita bisa saja
membatalkan puasa saat tidak ada orang yang tahu. Tetapi saat kita mampu
mengelola diri, hal semacam itu tentu tidak kita lakukan. Kita akan tetap
bertahan sekuat tenaga agar segala godaan yang dapat membatalkan puasa dapat
ditepis. Hal yang sama juga terjadi pada disiplin. Disiplin itu juga
membutuhkan kemampuan mengelola diri.
Kedua, puasa yang berkualitas jika dilandasi oleh kesadaran yang
tinggi. Kesadaran itu penting
artinya untuk menentukan kualitas sebuah aktivitas. Puasa itu membutuhkan
pengetahuan yang memadai agar ibadahnya memenuhi syarat rukun sehingga sah
menurut hukum Islam. Tetapi pengetahuan saja belum cukup. Banyak orang yang
tahu tetapi tidak menjalankan. Banyak orang yang mengerti tetapi justru tidak
menjalankan atau malah melanggar. Karena itu, pengetahuan haruslah dilandasi
kesadaran untuk menjalankan. Landasan kesadaran itu penting karena dapat
menentukan kualitas pelaksanaan dan penghayatan. Demikian juga dengan disiplin.
Banyak orang yang mengetahui dengan baik bahwa disiplin itu penting artinya,
tetapi karena tidak dilandasi oleh kesadaran maka disiplin itu pun tidak
diwujudkan dalam perilaku.
Ketiga, pelaksanaan puasa adalah bukti nyata bagaimana
menjalankan disiplin yang sesungguhnya. Puasa itu memiliki ketentuan waktu yang
sangat jelas; kapan mulai dan kapan di akhiri. Semua orang yang berpuasa
menaati aturan ini dengan begitu disiplin. Kurang satu menit pun orang tidak
berani berbuka karena memang belum waktunya. Nah, ini jelas pembelajaran yang
sangat berarti.
Keempat, puasa itu memberikan pengharapan kepada yang
menjalankannya. Pengharapan itu ada dua, yaitu pengharapan datangnya waktu
berbuka dan pengharapan pada kehidupan kelak di akherat. Hal ini bermakna bahwa
ibadah puasa itu memiliki nilai eskatologis yang sangat positif bagi manusia
agar kehidupan yang dijalani ini memiliki vitalitas dan spirit yang lebih
besar. Disiplin sesungguhnya juga memiliki pengharapan. Orang yang sukses
adalah orang yang memiliki budaya disiplin yang tinggi. Negara yang maju juga
negara yang memiliki budaya disiplin tinggi. Karena itulah, disiplin yang
dilaksanakan secara konsekuen juga memiliki titik pengharapan yang tinggi juga.
Saya kemudian menguraikan tentang idul fitri. Saya sampaikan bahwa inilah
saatnya saling maaf-memaafkan. Ini bukan hal mudah. Memaafkan adalah obat, yaitu obat sakit hati. Caranya:
(1) sadari bahwa yang mereka lakukan kepada kita adalah sebuah kesalahan. Dan
jika mereka menyakiti kita maka barangkali kita pun pernah menyakiti orang
lain. (2) lepaskan hak untuk membalas, menahan diri. Kita hanya
diperbolehkan—dan itu hak—membalas perlakuan yang serupa. Namun, ini sangat
sulit, apalagi jika hati dan perasaan kita ikut sakit. Sebab, barangkali sudah
menjadi kecenderungan bahwa kita akan sangat puas jika sudah melakukan
pembalasan dengan hal yang lebih buruk. (3) setelah memahami dan melepaskan hak
membalas, dan ini yang paling berat, adalah mencintai orang yang menyakiti hati
kita.
Hal penting yang saya sampaikan kepada para hadirin adalah ajakan agar dalam
kondisi fitri seperti sekarang ini, kita melakukan banyak kebaikan. Walaupun
memang, melakukan kebaikan itu godaannya sangat besar. Tetapi harus ada tekat
yang kuat dan semangat bersama untuk menebarkan dimensi kebajikan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Itulah poin-poin penting yang saya sampaikan dalam ceramah halal bi halal
kemarin. Tentu saja, catatan ini hanyalah sebagian kecil saja dari ceramah yang
saya sampaikan selama sekitar setengah jam tersebut. Dalam ceramah, ada
berbagai uraian yang sifatnya humor, guyonan, cerita-cerita klasik, dan
berbagai pelengkap sebuah ceramah. Juga pokok-pokok pikiran yang berkaitan
dengan masukan mengenai bagaimana mengembangkan spirit keilmuan bagi kemajuan
lembaga. Tetapi hal yang pokok adalah sebagaimana yang saya tulis dalam catatan
ini. Semoga catatan kecil dan sederhana ini memberikan manfaat kepada Anda
sekalian yang berkenan membaca. Amin. Salam.
Trenggalek, 16 Agustus 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.