Jumat, 23 Agustus 2013

DIALOG YANG DIALOGIS



DIALOG YANG DIALOGIS
Oleh Ngainun Naim

Lihatlah televisi, maka kita akan menyaksikan betapa mudahnya orang marah. Gara-gara persoalan yang ringan, orang begitu gampang tawuran. Emosi tampaknya lebih dominan daripada rasio.
Satu persoalan yang sampai sekarang menjadi agenda penting untuk dipecahkan adalah bagaimana mengatasi konflik yang begitu mudah tersulut. Perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari realitas hidup justru lebih sering dinilai dan dipandang sebagai realitas yang negatif.
Kehidupan yang harmonis dapat terbangun dengan baik manakala masing-masing pihak yang berbeda melakukan usaha bersama untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Jika satu pihak—apalagi masing-masing pihak—memegang dengan kukuh sikap memandang rendah terhadap yang lain maka konflik akan mudah tersulut.  Implikasinya, perbenturan antarkepentingan, hasrat menguasai, dan menundukkan akan menjadi pemantik timbulnya persengketaan. 

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang penuh dengan keragaman seperti di Indonesia, potensi konflik sangat terbuka. Apalagi sejarah menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat tidak hanya berlangsung secara linier, tetapi juga sirkuler. Dalam masyarakat yang penuh dengan keragaman, konflik seringkali mengambil bentuk kekerasan, kerusuhan, dan berbagai perilaku destruktif lainnya. Untuk menghadapi dan menyelesaikan sebuah konflik, dibutuhkan wawasan kearifan, kedalaman spiritual, dan kekuatan moral. Dengan modal tersebut, masyarakat dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian untuk kemudian merekonstruksinya menjadi sesuatu yang bernilai positif.
Konflik bisa terjadi di mana saja, mulai dari lingkup sosial terkecil, yaitu keluarga, relasi antartetangga, antarkampung, antaretnis, hingga komunitas yang jauh lebih besar, yaitu negara. Konflik juga dapat terjadi kapan saja. Dalam sebuah negara yang terkenal dengan keharmonisan dalam kemajemukannya seperti Indonesia pun tidak luput dari konflik. Konflik demi konflik kemudian menjadi bagian dari dinamika persoalan bangsa yang tidak mudah untuk diurai hingga sekarang ini.
Pada dasarnya kita ini adalah makhluk yang cenderung eksklusif. Inklusivitas dan toleransi lahir melalui proses panjang, dari hasil dialektika dan persentuhan secara terus-menerus, dari pergulatan intelektual dan spiritual, yang kesemuanya kemudian menghasilkan konstruksi pemahaman yang lebih arif dalam memandang yang lain. Menurut Dr. Haryatmoko, orang yang tidak toleran pada dasarnya memang tidak pernah berdialog, tidak pernah belajar, dan tidak pernah menggunakan penalarannya untuk memahami dan menerima yang lain.
Cara pandang toleran merupakan hasil dari dialektika dan pengasahan kesadaran yang dilakukan secara terus-menerus. Bisa jadi kesadaran tersebut lahir karena dialektika yang berlangsung secara produktif dalam dinamika hidup yang panjang. Sebaliknya, sikap dasar manusia yang tidak toleran akan semakin kukuh dan, dalam kondisi tertentu dapat memformula menjadi fundamentalisme, ketika menemukan faktor-faktor pendukung.
Oleh karena itu, hal penting yang mendorong ke arah terbentuknya kesadaran keragaman adalah dengan menciptakan ruang dialog dalam beragam manifestasinya secara terus-menerus. Dengan cara semacam ini, diharapkan kesadaran terhadap pluralitas akan mengalami diseminasi secara luas. Sebab, salah satu karakteristik masyarakat yang berkeadilan adalah adanya kesadaran pluralitas dalam masyarakat.
Tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan pemahaman terhadap perbedaan yang ada, maka yang terbangun adalah sikap eksklusif, tidak toleran, dan watak “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa kompromi. Kondisi tidak toleran akan semakin mengkristal manakala seseorang atau sekelompok orang tersingkir dalam dinamika sosial, politik, budaya, maupun kekuasaan. Ketersingkiran inilah yang kemudian terekspresikan dalam cara pandang yang eksklusif dan tidak toleran.
Keragaman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Memaksakan adanya keseragaman justru akan menghasilkan perbenturan, bahkan konflik. Hal yang justru diperlukan adalah bagaimana memperlakukan keragaman tersebut secara positif. Keragaman sesungguhnya merupakan kekayaan kehidupan yang harus diapresiasi dan dikembangkan agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Dalam kerangka semacam inilah seyogyanya umat beragama menatap terhadap umat beragama yang lainnya. Bagaimana pun juga, agama tidak bisa dan tidak mungkin dipaksakan secara seragam. Cara pandang yang tepat dalam menyikapi keragaman ini dapat menjadi modal penting dalam membangun kerukunan hidup antarumat beragama.
Dialog, ditinjau dari asal usul kata, berasal dari kata Yunani dia yang berarti antara, di antara, bersama, dan legein yang berarti berbicara, bercakap-cakap, bertukar pemikiran, dan gagasan. Secara harfiah, dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, dan gagasan bersama.
Dalam implementasinya, dialog tidak dilakukan dalam kerangka transaksi tawar-menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak yang lain memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Secara substansial, dialog adalah “percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama”. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat, dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk diperhatikan dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang aspek yang menjadi bahan dialog.
Tujuan dialog adalah untuk membangun pemahaman dan saling pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus dipahami secara baik oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam dialog demi mencari kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari mengajukan pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama yang mesti ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan itulah yang sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban yang belum tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki keterbukaan, tidak seperti pernyataan retoris atau pedagogis.
Landasan dialog yang seharusnya adalah kesadaran bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam dialog belum lengkap, belum penuh, dan belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Kenyataan sedemikian kaya tidak mungkin tertangkap seluruh segi dan unsur-unsurnya. Karena hanya mengerti kenyataan dari satu dan beberapa segi dan hanya unsur-unsur tertentu saja, maka orang perlu mengadakan dialog. Dialog merupakan kegiatan budaya. Manusia yang belum tinggi budayanya untuk mencapai maksud tujuannya menggunakan paksaan, kekerasan, perkelahian, dan peperangan. Sedang manusia berbudaya menggunakan pembicaraan, diskusi, tukar pikiran, dan argumen serta alasan-alasan untuk meyakinkan, mengubah pikiran atau cara bertindak orang atau kelompok lain. Dialog merupakan ciri masyarakat yang maju dan demokratis. Tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan hidup bersama. Tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para anggotanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.   
Dialog yang dilakukan dengan baik dan diikuti oleh orang-orang yang memenuhi syarat dapat membawa hasil yang maksimal. Pada tingkat pribadi, dialog dapat meningkatkan sikap saling memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan saling memperkaya.
Di tempat kerja, dialog dapat membantu kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Dalam masyarakat, dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, menerima, dan kerja sama antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan dan agama. Dalam keseluruhan hidup bangsa, dialog dapat memecahkan masalah nasional, merencanakan dan melaksanakan pembangunan bangsa, dan mengambil arah hidup bangsa menuju masa depan.

Salam!
Tulungagung, 22 Agustus 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.