DIALOG YANG DIALOGIS
Oleh Ngainun
Naim
Lihatlah televisi, maka kita akan menyaksikan betapa
mudahnya orang marah. Gara-gara persoalan yang ringan, orang begitu gampang
tawuran. Emosi tampaknya lebih dominan daripada rasio.
Satu persoalan yang sampai sekarang menjadi agenda
penting untuk dipecahkan adalah bagaimana mengatasi konflik yang begitu mudah
tersulut. Perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari realitas hidup justru
lebih sering dinilai dan dipandang sebagai realitas yang negatif.
Kehidupan yang harmonis dapat terbangun dengan baik
manakala masing-masing pihak yang berbeda melakukan usaha bersama untuk saling
memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif
terhadap yang lain. Jika satu pihak—apalagi masing-masing pihak—memegang dengan
kukuh sikap memandang rendah terhadap yang lain maka konflik akan mudah
tersulut. Implikasinya, perbenturan
antarkepentingan, hasrat menguasai, dan menundukkan akan menjadi pemantik
timbulnya persengketaan.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang penuh dengan
keragaman seperti di Indonesia, potensi konflik sangat terbuka. Apalagi sejarah
menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat
tidak hanya berlangsung secara linier, tetapi juga sirkuler. Dalam masyarakat
yang penuh dengan keragaman, konflik seringkali mengambil bentuk kekerasan,
kerusuhan, dan berbagai perilaku destruktif lainnya. Untuk menghadapi dan
menyelesaikan sebuah konflik, dibutuhkan wawasan kearifan, kedalaman spiritual,
dan kekuatan moral. Dengan modal tersebut, masyarakat dapat mengambil pelajaran
dari berbagai kejadian untuk kemudian merekonstruksinya menjadi sesuatu yang
bernilai positif.
Konflik bisa terjadi di mana saja, mulai dari lingkup
sosial terkecil, yaitu keluarga, relasi antartetangga, antarkampung,
antaretnis, hingga komunitas yang jauh lebih besar, yaitu negara. Konflik juga
dapat terjadi kapan saja. Dalam sebuah negara yang terkenal dengan keharmonisan
dalam kemajemukannya seperti Indonesia pun tidak luput dari konflik. Konflik
demi konflik kemudian menjadi bagian dari dinamika persoalan bangsa yang tidak
mudah untuk diurai hingga sekarang ini.
Pada dasarnya kita ini adalah makhluk yang cenderung
eksklusif. Inklusivitas dan toleransi lahir melalui proses panjang, dari hasil
dialektika dan persentuhan secara terus-menerus, dari pergulatan intelektual
dan spiritual, yang kesemuanya kemudian menghasilkan konstruksi pemahaman yang
lebih arif dalam memandang yang lain. Menurut Dr. Haryatmoko, orang yang tidak
toleran pada dasarnya memang tidak pernah berdialog, tidak pernah belajar, dan
tidak pernah menggunakan penalarannya untuk memahami dan menerima yang lain.
Cara pandang toleran merupakan hasil dari dialektika dan
pengasahan kesadaran yang dilakukan secara terus-menerus. Bisa jadi kesadaran
tersebut lahir karena dialektika yang berlangsung secara produktif dalam
dinamika hidup yang panjang. Sebaliknya, sikap dasar manusia yang tidak toleran
akan semakin kukuh dan, dalam kondisi tertentu dapat memformula menjadi fundamentalisme,
ketika menemukan faktor-faktor pendukung.
Oleh karena itu, hal penting yang mendorong ke arah
terbentuknya kesadaran keragaman adalah dengan menciptakan ruang dialog dalam
beragam manifestasinya secara terus-menerus. Dengan cara semacam ini,
diharapkan kesadaran terhadap pluralitas akan mengalami diseminasi secara luas.
Sebab, salah satu karakteristik masyarakat yang berkeadilan adalah adanya
kesadaran pluralitas dalam masyarakat.
Tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan
pemahaman terhadap perbedaan yang ada, maka yang terbangun adalah sikap
eksklusif, tidak toleran, dan watak “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa
kompromi. Kondisi tidak toleran akan semakin mengkristal manakala seseorang
atau sekelompok orang tersingkir dalam dinamika sosial, politik, budaya, maupun
kekuasaan. Ketersingkiran inilah yang kemudian terekspresikan dalam cara
pandang yang eksklusif dan tidak toleran.
Keragaman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan
realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Memaksakan adanya keseragaman
justru akan menghasilkan perbenturan, bahkan konflik. Hal yang justru
diperlukan adalah bagaimana memperlakukan keragaman tersebut secara positif.
Keragaman sesungguhnya merupakan kekayaan kehidupan yang harus diapresiasi dan
dikembangkan agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Dalam kerangka semacam inilah seyogyanya umat beragama
menatap terhadap umat beragama yang lainnya. Bagaimana pun juga, agama tidak
bisa dan tidak mungkin dipaksakan secara seragam. Cara pandang yang tepat dalam
menyikapi keragaman ini dapat menjadi modal penting dalam membangun kerukunan
hidup antarumat beragama.
Dialog, ditinjau dari asal usul kata, berasal dari kata
Yunani dia yang berarti antara, di antara, bersama, dan legein yang
berarti berbicara, bercakap-cakap, bertukar pemikiran, dan gagasan. Secara
harfiah, dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar
pikiran, dan gagasan bersama.
Dalam implementasinya, dialog tidak dilakukan dalam
kerangka transaksi tawar-menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan.
Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan
pihak yang lain memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu
pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat
lain. Secara substansial, dialog adalah “percakapan dengan maksud untuk saling
mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai
kesejahteraan bersama”. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan
informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat, dan saling berusaha
mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk
diperhatikan dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan
kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan
demikian, dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman
bersama yang lebih luas dan mendalam tentang aspek yang menjadi bahan dialog.
Tujuan dialog adalah untuk membangun pemahaman dan saling
pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus dipahami secara baik
oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam dialog demi mencari
kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari mengajukan
pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama yang mesti
ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan itulah yang
sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban yang belum
tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki keterbukaan, tidak
seperti pernyataan retoris atau pedagogis.
Landasan dialog yang seharusnya adalah kesadaran bahwa
kedua belah pihak yang terlibat dalam dialog belum lengkap, belum penuh, dan
belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Kenyataan
sedemikian kaya tidak mungkin tertangkap seluruh segi dan unsur-unsurnya.
Karena hanya mengerti kenyataan dari satu dan beberapa segi dan hanya
unsur-unsur tertentu saja, maka orang perlu mengadakan dialog. Dialog merupakan
kegiatan budaya. Manusia yang belum tinggi budayanya untuk mencapai maksud
tujuannya menggunakan paksaan, kekerasan, perkelahian, dan peperangan. Sedang
manusia berbudaya menggunakan pembicaraan, diskusi, tukar pikiran, dan argumen
serta alasan-alasan untuk meyakinkan, mengubah pikiran atau cara bertindak
orang atau kelompok lain. Dialog merupakan ciri masyarakat yang maju dan
demokratis. Tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan hidup
bersama. Tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para anggotanya
mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dialog yang dilakukan dengan baik dan diikuti oleh
orang-orang yang memenuhi syarat dapat membawa hasil yang maksimal. Pada
tingkat pribadi, dialog dapat meningkatkan sikap saling memahami dan menerima,
serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan
saling memperkaya.
Di tempat kerja, dialog dapat membantu kelancaran
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Dalam masyarakat, dialog dapat
menjadi sarana untuk saling memahami, menerima, dan kerja sama antar berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, tingkat
ekonomi, ideologi, kepercayaan dan agama. Dalam keseluruhan hidup bangsa,
dialog dapat memecahkan masalah nasional, merencanakan dan melaksanakan
pembangunan bangsa, dan mengambil arah hidup bangsa menuju masa depan.
Salam!
Tulungagung, 22 Agustus 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.