JEJAK
HIDUP ANTON TABAH
Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim
Kedua, dunia menulis. Anton Tabah, sebagaimana paparan di awal
tulisan ini, adalah seorang kolomnis yang sangat produktif. Ia tidak hanya
produktif menulis artikel, tetapi juga memberikan seminar, mengisi berbagai
acara, dan juga menulis buku. Menurut pengakuannya, ia telah menulis ribuan
artikel, ratusan makalah, dan puluhan judul buku. Tercatat hingga sekarang ia
menulis 37 judul buku. Ini tentu prestasi yang tidak sederhana. Menulis,
sebagaimana umum diketahui, bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Anton Tabah adalah
seorang yang berprofesi polisi. Hanya sedikit polisi yang menekuni dunia
menulis. Justru pada posisi inilah Anton Tabah menjadi ”makhluk istimewa”.
Ada
banyak suka duka yang dialami oleh Anton Tabah berkaitan dengan kegiatannya
menulis. Hobi menulisnya telah tumbuh semenjak ia mahasiswa. Hobi menulis ini
yang membuat nama Anton Tabah menjadi cukup terkenal. Keterkenalan namanya
membuat ia mengalami berbagai kemudahan saat berhadapan dengan masalah. Menulis
pula yang membuatnya mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan saat ia pulang dari
Jakarta, ia mampir ke Polres Pemalang. Saat itu ia ingin menawarkan bukunya
yang pertama, Menatap dengan Mata Hati yang
diterbitkan oleh Gramedia. Kapolres Pemalang saat itu, Letkol Bahrumsyah sampai
menangis haru menyambut kedatangannya karena di luar dugaannya, Anton Tabah
berkenan mengunjunginya. Selama ini, ia hanya mengenal nama Anton Tabah melalui
media (h. 130).
Namun
aktivitas menulis juga membawa dampak negatif bagi kehidupan Anton. Dalam
tradisi militer, menulis harus mendapatkan izin atasan. Namun karena
kepentingan aktualitas dan lamanya proses koreksi atasan, lama-lama Anton tidak
lagi melalui prosedur semacam itu. Suatu saat, artikelnya yang membahas tentang
Anti Teror itu di Polri, bukan di TNI. Kemudian ia menulis lagi bahwa TNI Polri
tidak boleh disatukan karena tugas dan fungsinya berbeda. Artikel-artikel Anton
ini membuat marah besar Menhanam/Pangab Jendral Benny Murdani. Sebagai
konsekuensinya, Anton harus ”dibuang” di Timor Timur. Ia pun menjalani tugas ini
dengan baik selama tiga tahun.
Ketiga, peran orang tua. Orang tua Anton yang ia panggil Ramak
dan Simbok memiliki tradisi spiritual yang kuat. Dalam keterbatasan hidup,
keduanya selalu ”tirakat” demi masa depan anak-anaknya. Puasa, dzikir, dan
shalat malam menjadi bagian dari kehidupan keduanya. Dalam keterbatasan
kehidupan ini, kedekatan kepada Allah telah memberikan energi hidup yang luar
biasa. Keduanya selalu mendoakan, mendampingi, memberi nasehat, dan juga
dorongan besar demi kesuksesan hidup seorang Anton Tabah. Dan Anton berusaha
keras untuk mengikuti jejak orang tuanya.
Keempat, sisi lain kehidupan. Kesuksesan dalam karier tidak
berarti sukses dalam seluruh dimensi kehidupan. Hal semacam ini juga dialami
oleh Anton Tabah. Di tengah kariernya, ia mengalami kemelut rumah tangga.
Karena berbagai sebab, termasuk atas nasehat Ramaknya, ia menceraikan istrinya.
Kondisi ini tentu tidak mudah karena saat itu ia tengah menjabat sebagai
Kapolres Klaten, yang kemudian berpindah ke Yogyakarta.
Kelima, kesederhanaan. Perjalanan kehidupan Anton Tabah memang
sarat dinamika. Ia berangkat dari keterbatasan ekonomi dan akhirnya sukses
menjadi seorang Jenderal. Namun ia tidak lupa diri. Pada bagian akhir buku ini
diulas bagaimana dan mengapa ia menjalani kehidupan secara sederhana. Misalnya,
ia masih tidak malu makan di Warteg, bergaul secara akrab dengan masyarakat,
dan berbagai teladan kesederhanaan lainnya.
Membaca
buku ini memang sarat dengan inspirasi. Orang bisa saja tidak simpatik dengan
Anton Tabah, tetapi sebagaimana dikatakan pepatah, dalam setiap sisi kehidupan
selalu tersedia hikmah yang bisa diambil bagi yang mau dan menyadarinya.
Demikian juga dengan kisah kehidupan Anton Tabah, seorang polisi yang pernah
mendapat julukan the rising star karena
kecemerlangan karier dan pemikirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.