MENYIMAK
PARA CERPENIS TRENGGALEK BERTUTUR
Judul Buku: Senja Temaram di Pantai
Blado
Penulis: Kamali Ali, dkk.
Penerbit:
Quantum Litera Center Trenggalek
Edisi:
Desember 2012
Tebal:
xii+242 halaman
Ciri khas setiap manusia adalah senang bercerita. Lewat bercerita, tercipta
kepuasan eksistensial. Bercerita sesungguhnya juga memberikan indikasi kalau
setiap manusia itu membutuhkan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan terhadap
penghargaan inilah yang menjadikan manusia itu lebih suka berbicara daripada
mendengar. Perdebatan atau pertengkaran terjadi saat dua orang merasa diri
mereka masing-masing sebagai penting sehingga tidak mau mendengarkan lawan
bicaranya.
Kemauan dan kemampuan mendengarkan itu membutuhkan latihan. Memang mudah
diucapkan atau ditulis, tetapi saat dipraktikkan ternyata cukup sulit. Para
pejuang demokrasi saja ternyata sering juga ngotot
dengan pendapatnya dan tidak menghargai suara yang berbeda. Begitu juga
mereka yang mengajarkan tentang kejujuran ternyata tidak sedikit yang
berperilaku tidak jujur. Ada jarak yang menganga antara idealitas dengan
realitas.
Bercerita—seperti juga berbagai aktivitas hidup manusia yang lainnya—akan bermakna
dan bermartabat tatkala dilakukan secara kreatif, produktif, dan kontekstual.
Kreatif bermakna selalu berusaha menciptakan hal-hal baru yang menarik.
Produktif bermakna tidak hanya sekadar bercerita, tetapi bercerita yang mampu
memiliki implikasi luas sehingga menumbuhkan kesadaran, wawasan, pengetahuan
yang dapat mentransformasikan diri pencerita dan orang yang mendengarkan (atau
membaca) cerita. Dan kontekstual dalam makna cerita tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi.
Bakat dan Wadah
Bercerita secara bermakna dan bermartabat dapat dilakukan—di
antaranya—melalui cerita secara tertulis. Kita lebih mengenalnya sebagai cerpen
atau cerita pendek. Sastra Indonesia kaya dengan cerpen dalam berbagai genre.
Bercerita secara tertulis memiliki sketsa dan hamparan makna yang jauh lebih
abadi dengan cakupan pembaca yang lebih luas.
Tetapi bukan rahasia lagi jika bercerita secara tertulis itu tidak mudah.
Saya tidak ingin terjebak pada perdebatan mengenai menulis itu mudah atau
sulit. Perdebatan semacam ini—sebagaimana tulisan para Kompasianer—tidak akan
ada ujungnya. Masing-masing pendapat akan dibela mati-matian seolah yang lain
pasti salah. Menurut saya, menulis bukan persoalan mudah atau sulit, tetapi
harus dilihat dulu siapa yang menjadi objeknya. Banyak yang mengatakan menulis
itu mudah dan banyak juga yang mengatakan sebaliknya. Mereka yang mengatakan
menulis itu mudah juga tidak selalu mudah dalam menulis. Ada saat-saat tertentu
di mana mereka menghadapi juga kesulitan dalam menulis. Sebaliknya, ada juga
yang mampu menulis dengan gampang, padahal biasanya dia kesulitan menulis.
Terlepas dari perdebatan tentang mudah atau sulit, menulis itu membutuhkan ruang persemaian agar bisa
menumbuhsuburkan aktivitas menulis. Sesungguhnya banyak sekali penulis-penulis
muda berbakat di seantero negeri. Tetapi sayangnya, bakat-bakat istimewa itu
kemudian lenyap tak berbekas karena berbagai hal. Tidak tahu apa yang harus
dilakukan, tidak ada pembimbing, tidak ada bimbingan orang tua, dan berbagai
faktor lainnya yang menjadikan para pemilik bakat itu tidak mampu meradiasikan potensi dirinya.
Pada titik inilah, ikhtiar kreatif Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek
layak untuk diapresiasi. Berbagai usaha untuk menggali, menumbuhkembangkan, dan
memberdayakan potensi literasi dilakukan oleh para pegiat QLC. Salah satunya
melalui penerbitan secara mandiri cerpen-cerpen dalam bentuk buku.
Kaya Warna
Buku yang saya ulas ini merupakan bukti konkrit karya para cerpenis
Trenggalek Jawa Timur. Ada 28 orang cerpenis yang karyanya termuat di buku ini.
Kehadiran buku ini menjadi bukti nyata bahwa ada begitu banyak potensi yang
dimiliki oleh warga Trenggalek. Membaca kumpulan cerpen ini akan mengantarkan
kita kepada sebuah kesimpulan bahwa jika ada media dan ada kesempatan, banyak
potensi yang ditemukan.
Cerpenis yang karyanya dimuat dalam buku ini sangat bervariasi. Dari sisi
usia, ada cerpenis sangat belia, Hilmy ’Abbad. Usianya baru delapan tahun.
Melalui karyanya yang berjudul “Indahnya Lautku”, Hilmy bertutur dalam bahasa
khas anak-anak yang penuh keluguan, namun sarat dengan orisinalitas. Kemampuan
bertutur Hilmy ’Abbad menunjukkan bahwa jika potensi yang dimilikinya terus
dirawat dan dikelola, ke depan ia memiliki potensi besar untuk menjadi
sastrawan yang berkualitas. Apalagi ia dibina oleh Bundanya yang juga menulis
dalam buku ini, Iin Rahmawati ’Abbad melalui cerpennya, ”Di Temaram Senja
Kutemukan Cahaya”.
Jika Anda menelisik khazanah sastra Indonesia, khususnya sastra Jawa, maka
nama St. Sri Emyani tentu sudah tidak asing lagi. Ia sudah malang melintang
dalam dunia sastra. Ratusan cerpennya telah dimuat di berbagai media. Ciri khas
karyanya yang kocak, sarat dengan kritik dalam bumbu humor, dan gaya bertutur
yang renyah menjadikan cerpen Pak Yani—begitu saya memanggilnya—terasa nikmat
untuk dibaca. Cerpennya yang berjudul ”Burungnya Bos Warceng” akan membuat Anda
tertawa terpingkal-pingkal usai membaca. Pak Yani dengan kemampuannya yang
mumpuni dalam bercerita mampu membius pembaca melalui olah bahasa,
mengaduk-aduk logika, dan ’menjebak’ pembacanya untuk terus mengikuti alur
cerita sejak awal sampai akhir.
Nama lain yang penting untuk disebut adalah Sri Lestari. Cerpenis asal
Trenggalek ini sudah malang melintang dalam dunia menulis. Karyanya sudah
pernah dimuat di Femina, Suara Pembaruan,
Nova, Seputar Indonesia, Kompas Anak, dan lain-lain. Selain itu, karya
skenarionya juga ditayangkan berbagai televisi nasional, seperti RCTI, SCTV,
dan Trans TV. Ia juga telah menulis banyak buku, di antaranya Sketsa Bidadari, Tarian Sunyi, dan
beberapa judul buku lainnya. Karena itu, tidak berlebihan jika cerpennya yang
dimuat di buku ini, ”Bu Sastro dan Sepetak Kebun Kenangan” terlihat sangat
matang dan menarik. Jam terbangnya yang tinggi menjadikan karyanya sangat
menawan dan memikat untuk dinikmati.
Namun demikian, mayoritas penulis cerpen adalah generasi muda yang
potensial. Ada yang baru sekolah di SMA dan sedang duduk di bangku kuliah di
berbagai perguruan tinggi. Menilik jejak perjalanan mereka menulis terlihat
bahwa mereka adalah generasi muda penuh potensi yang siap mewarnai jagad sastra
Indonesia.
Setiap cerpen dalam buku ini memang menarik untuk dinikmati. Anda dapat
menemukan keragaman latar belakang, perspektif, dan motif dari setiap cerpen
yang disajikan. Membaca kumpulan cerpen ini tak ubahnya menikmati ’warung makan prasmanan’ dengan menu
yang sangat beragam. Tidak berlebihan jika spirit menulis ini mampu untuk terus
dirawat, Trenggalek ke depan akan mampu menjadi bagian penting dalam dunia
sastra Indonesia.
Namun demikian bukan berarti setiap cerpen itu bebas kritik. Justru ketika sebuah
tulisan tercipta, ia harus siap untuk ditelanjangi.
Hal ini disebabkan karena pembaca adalah juri yang hampir pasti menemukan
sisi-sisi yang dapat untuk dikritik. Demikian juga dengan kumpulan cerpen dalam
buku ini.
Ada beberapa cerpen yang alurnya berbelit-belit. Hal ini menyebabkan para
pembaca akan cepat jenuh untuk membaca sampai tuntas. Demikian juga beberapa
cerpen yang alurnya mudah ditebak sehingga tidak memberikan daya kejut yang memikat.
Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, kumpulan cerpen ini merupakan
bukti nyata bahwa dunia sastra
Trenggalek sedang menggeliat. Semuanya memang baru langkah awal. Sejarah
akan mencatat apakah benih-benih ini akan mampu terus tumbuh dan berkembang
ataukah hanya fenomena sesaat. Jika QLC mampu mengelola dan menjadikan dirinya
sebagai RUANG KOMPROMI dengan
mengakomodasi berbagai warna dalam keragaman potensi yang ada, saya optimis
dunia sastra Trenggalek akan menjadi warna lain yang penuh harapan. Tetapi jika
diwarnai dengan perdebatan tidak substansial dan perebutan ruang kebenaran, ruang klaim, dan perang kepentingan, maka modal besar yang kini dimiliki akan
menciptakan musuh-musuh baru yang menggerogoti eksistensinya.
Buku Perjuangan
Buku ini adalah buku perjuangan. Disebut demikian karena buku ini dibiayai
sepenuhnya oleh teman-teman QLC. Tentu dibutuhkan modal tidak kecil bagi
teman-teman yang memiliki kepedulian tersebut. Apalagi, rencana menerbitkan
buku karya para penulis Trenggalek dari beragam genre juga terus diusahakan. Karena itu, bagi para pembaca sekalian
yang berminat untuk memiliki buku-buku yang diterbitkan oleh QLC Trenggalek,
bisa menghubungi teman-teman QLC di Facebook. ”Hargailah penulis buku dengan membeli karyanya”, tulis teman-teman
QLC di dinding FB mereka. Dan saya menghargai karya mereka dengan
mempromosikannya via Kompasiana he he he.
Salam
Tulungagung, 13 Agustus 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
nice info pak. salut sama konsistensi ngeblognya :D
BalasHapusSayo Nara@ terima kasih atas respon dan tanggapannya. Salam.
BalasHapus