Alkisah, ada tiga anak muda bersaudara yang yatim piatu.
Mereka hidup di rumah sederhana peninggalan orang tua mereka. Pada suatu malam si bungsu rewel dengan terus menangis sehingga mengganggu
kedua kakaknya yang sedang istirahat. Si sulung marah dan membentak adiknya
supaya diam. Tetapi kakak kedua mencoba memahami dan mencari sebab mengapa si
bungsu rewel. Ternyata adiknya demam. Ia memberi tahu kakaknya yang segera
bangkit dari ranjang. Setelah meletakkan tangan di kening adiknya, sikapnya
melunak. Adiknya dipeluk dengan penuh perasaan sambil bersenandung lembut
sehingga tertidur, meskipun esok harinya masih harus berobat ke dokter.
Kisah sederhana ini memberikan hikmah kepada kita bahwa memahami
hakikat peristiwa sangat penting untuk bisa menyelesaikan masalah dengan baik,
bukan malahan menimbulkan masalah baru yang lebih ruwet. Memahami persoalan dengan benar tidak bisa dengan
menggunakan kekuatan (power), tetapi harus menghayati dengan penuh perasaan.
Banyaknya persoalan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan
kita sebagian besar disebabkan karena tidak dicari akar persoalannya, tetapi
direaksi dengan kekuatan. Cara semacam ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi
memunculkan dampak berupa meluasnya persoalan. Kalau cara semacam ini yang
dikedepankan, kehidupan yang rukun dan harmonis akan sulit terwujud.
Kehidupan rukun dan harmonis dapat terbangun dengan baik
manakala masing-masing pihak yang berbeda melakukan usaha bersama untuk saling
memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap
yang lain. Perbedaan merupakan sunnatullah.
Tidak ada hal yang sama persis di dunia ini. Semuanya pasti ada
perbedaannya. Anak yang kembar sekalipun memiliki perbedaan, apalagi kehidupan
sosial-kemasyarakatan. Jika satu pihak—apalagi masing-masing pihak—memegang
dengan kukuh sikap memandang rendah terhadap yang lain maka konflik akan mudah
tersulut. Menghadapi keanekaragaman
semacam ini, dibutuhkan wawasan luas, kearifan, kedalaman spiritual, dan
kekuatan moral. Dengan modal tersebut, masyarakat dapat mengambil pelajaran
dari berbagai kejadian untuk kemudian merekonstruksinya menjadi sesuatu yang
bernilai positif.
Salah satu sarana penting membangun kesadaran semacam ini
adalah dialog. Dialog, ditinjau
dari asal-usul kata, berasal dari kata Yunani dia
yang berarti antara, di antara, bersama, dan legein yang berarti
berbicara, bercakap-cakap, bertukar pemikiran, dan gagasan. Secara harfiah, dialogos
atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, dan gagasan bersama.
Dalam pelaksanaannya, dialog tidak dilakukan dalam kerangka transaksi
tawar-menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan
konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak yang lain
memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari
keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Secara mendasar, dialog adalah “percakapan dengan
maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama
untuk mencapai kesejahteraan bersama”. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat
saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan, pendapat, dan saling berusaha mempertimbangkan,
memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk diperhatikan dalam dialog
adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi
dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan
terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam
tentang aspek yang menjadi bahan dialog.
Tujuan dialog adalah untuk membangun pemahaman dan saling
pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus dipahami secara baik
oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam dialog demi mencari
kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari mengajukan
pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama yang mesti
ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan itulah yang
sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban yang belum
tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki keterbukaan, tidak
seperti pernyataan retoris.
Landasan dialog yang seharusnya adalah kesadaran bahwa
kedua belah pihak yang terlibat dalam dialog belum lengkap, belum penuh, dan
belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Kenyataan
sedemikian kaya sehingga tidak mungkin tertangkap seluruh segi dan
unsur-unsurnya. Karena hanya mengerti kenyataan dari satu dan beberapa segi dan
hanya unsur-unsur tertentu saja, maka orang perlu mengadakan dialog. Dialog
merupakan kegiatan budaya. Manusia yang belum tinggi budayanya untuk mencapai
maksud tujuannya menggunakan paksaan, kekerasan, perkelahian, dan peperangan.
Sedang manusia berbudaya menggunakan pembicaraan, diskusi, tukar pikiran, dan
argumen serta alasan-alasan untuk meyakinkan, mengubah pikiran atau cara
bertindak orang atau kelompok lain. Dialog merupakan ciri masyarakat yang maju
dan demokratis. Tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan
hidup bersama. Tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para
anggotanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dialog yang dilakukan dengan baik dan diikuti oleh
orang-orang yang memenuhi syarat dapat membawa hasil yang maksimal. Pada
tingkat pribadi, dialog dapat meningkatkan sikap saling memahami dan menerima,
serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan
saling memperkaya. Di tempat kerja, dialog dapat membantu kelancaran
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Dalam masyarakat, dialog dapat
menjadi sarana untuk saling memahami, menerima, dan kerja sama antar berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, tingkat
ekonomi, ideologi, kepercayaan dan agama. Dalam keseluruhan hidup bangsa, dialog
dapat memecahkan masalah nasional, merencanakan dan melaksanakan pembangunan
bangsa, dan mengambil arah hidup bangsa menuju masa depan.
Orang
yang tidak bisa menerima dan menghargai keunikan orang dan tidak mampu lebur
dalam proses dialog dengan orang lain adalah orang yang gagal memahami diri dan
sesamanya. Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus.
Dalam dialog seseorang akan memberi dan menerima. Untuk bisa melakukan dialog
secara dewasa dan produktif tentu saja diperlukan kesabaran, pengalaman,
kepercayaan diri, dan kematangan
pribadi. Hal semacam inilah yang seharusnya kita kembangkan secara
terus-menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.