Kamis, 25 April 2013

DIALOG, KUNCI PENTING MEMBANGUN KERUKUNAN


Alkisah, ada tiga anak muda bersaudara yang yatim piatu. Mereka hidup di rumah sederhana peninggalan orang tua mereka. Pada suatu malam si bungsu rewel dengan terus menangis sehingga mengganggu kedua kakaknya yang sedang istirahat. Si sulung marah dan membentak adiknya supaya diam. Tetapi kakak kedua mencoba memahami dan mencari sebab mengapa si bungsu rewel. Ternyata adiknya demam. Ia memberi tahu kakaknya yang segera bangkit dari ranjang. Setelah meletakkan tangan di kening adiknya, sikapnya melunak. Adiknya dipeluk dengan penuh perasaan sambil bersenandung lembut sehingga tertidur, meskipun esok harinya masih harus berobat ke dokter.
Kisah sederhana ini memberikan hikmah kepada kita bahwa memahami hakikat peristiwa sangat penting untuk bisa menyelesaikan masalah dengan baik, bukan malahan menimbulkan masalah baru yang lebih ruwet. Memahami persoalan dengan benar tidak bisa dengan menggunakan kekuatan (power), tetapi harus menghayati dengan penuh perasaan.
Banyaknya persoalan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan kita sebagian besar disebabkan karena tidak dicari akar persoalannya, tetapi direaksi dengan kekuatan. Cara semacam ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi memunculkan dampak berupa meluasnya persoalan. Kalau cara semacam ini yang dikedepankan, kehidupan yang rukun dan harmonis akan sulit terwujud.
Kehidupan rukun dan harmonis dapat terbangun dengan baik manakala masing-masing pihak yang berbeda melakukan usaha bersama untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Perbedaan merupakan sunnatullah. Tidak ada hal yang sama persis di dunia ini. Semuanya pasti ada perbedaannya. Anak yang kembar sekalipun memiliki perbedaan, apalagi kehidupan sosial-kemasyarakatan. Jika satu pihak—apalagi masing-masing pihak—memegang dengan kukuh sikap memandang rendah terhadap yang lain maka konflik akan mudah tersulut.  Menghadapi keanekaragaman semacam ini, dibutuhkan wawasan luas, kearifan, kedalaman spiritual, dan kekuatan moral. Dengan modal tersebut, masyarakat dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian untuk kemudian merekonstruksinya menjadi sesuatu yang bernilai positif.
Salah satu sarana penting membangun kesadaran semacam ini adalah dialog. Dialog, ditinjau dari asal-usul kata, berasal dari kata Yunani dia yang berarti antara, di antara, bersama, dan legein yang berarti berbicara, bercakap-cakap, bertukar pemikiran, dan gagasan. Secara harfiah, dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, dan gagasan bersama.
Dalam pelaksanaannya, dialog tidak dilakukan dalam kerangka transaksi tawar-menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak yang lain memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Secara mendasar, dialog adalah “percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama”. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan, pendapat, dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk diperhatikan dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang aspek yang menjadi bahan dialog.
Tujuan dialog adalah untuk membangun pemahaman dan saling pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus dipahami secara baik oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam dialog demi mencari kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari mengajukan pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama yang mesti ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan itulah yang sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban yang belum tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki keterbukaan, tidak seperti pernyataan retoris.
Landasan dialog yang seharusnya adalah kesadaran bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam dialog belum lengkap, belum penuh, dan belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Kenyataan sedemikian kaya sehingga tidak mungkin tertangkap seluruh segi dan unsur-unsurnya. Karena hanya mengerti kenyataan dari satu dan beberapa segi dan hanya unsur-unsur tertentu saja, maka orang perlu mengadakan dialog. Dialog merupakan kegiatan budaya. Manusia yang belum tinggi budayanya untuk mencapai maksud tujuannya menggunakan paksaan, kekerasan, perkelahian, dan peperangan. Sedang manusia berbudaya menggunakan pembicaraan, diskusi, tukar pikiran, dan argumen serta alasan-alasan untuk meyakinkan, mengubah pikiran atau cara bertindak orang atau kelompok lain. Dialog merupakan ciri masyarakat yang maju dan demokratis. Tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan hidup bersama. Tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para anggotanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.   
Dialog yang dilakukan dengan baik dan diikuti oleh orang-orang yang memenuhi syarat dapat membawa hasil yang maksimal. Pada tingkat pribadi, dialog dapat meningkatkan sikap saling memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan saling memperkaya. Di tempat kerja, dialog dapat membantu kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Dalam masyarakat, dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, menerima, dan kerja sama antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan dan agama. Dalam keseluruhan hidup bangsa, dialog dapat memecahkan masalah nasional, merencanakan dan melaksanakan pembangunan bangsa, dan mengambil arah hidup bangsa menuju masa depan. 
Orang yang tidak bisa menerima dan menghargai keunikan orang dan tidak mampu lebur dalam proses dialog dengan orang lain adalah orang yang gagal memahami diri dan sesamanya. Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus. Dalam dialog seseorang akan memberi dan menerima. Untuk bisa melakukan dialog secara dewasa dan produktif tentu saja diperlukan kesabaran, pengalaman, kepercayaan diri, dan kematangan pribadi. Hal semacam inilah yang seharusnya kita kembangkan secara terus-menerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.