Rabu, 24 April 2013

BUKU TENTANG BUKU [BAGIAN KETIGA]


Pada tulisan ketiga ini, aku ingin mengulas para penulis yang mengalami transformasi karena aktivitas membaca. Transformasi yang aku maksudkan adalah mengalami perubahan; pikiran, pandangan, gerakan, dan perubahan signifikan lainnya dalam berbagai dimensi kehidupan.
Aku harus minta maaf jika model pembagianku tidak ilmiah, tidak metodologis, atau tidak-tidak yang lainnya. Kalau aku memasukkan seorang penulis ke dalam kategori transformatif bukan berarti yang tidak dimasukkan dalam kategori ini tidak transformatoif. Sama sekali bukan. Ini hanya sebuah pembagian sederhana untuk membuat catatan ini biar lebih mampu bertahan lama he he he.
Pertama-tama aku harus menyebut Mbak Truly Rudiono. Melalui tulisan yang berjudul, ”Aku dan Buku-buku”, ia bercerita bahwa ia sudah akrab membaca sejak usia kecil. Buku komik Tintin, majalah Bobo, dan buku-buku karangan Enid Blyton mengisi hari-harinya. Kebiasaan membaca membuatnya mampu menikmati tugas mengarang dari gurunya. Padahal, sebagian besar anak—bahkan hingga menjadi mahasiswa atau dosen sekalipun—tugas membaca seolah momok. Membaca telah mendarah daging pada diri Truly. Coba Anda simak bagaimana ia memposisikan buku. ”Aku selalu tahu, dengan buku-buku di tangan, semua akan berjalan dengan lebih baik.
Kalimat ini tentu tidak bermakna bahwa memegang buku secara otomatis segalanya akan lebih baik. Aku memahaminya secara fungsional, yakni buku memberikan transformasi ke diri Truly dalam berbagai bentuknya, termasuk mengatasi banyak kesulitan dalam hidup. Dan itu ia buktikan saat kuliah. Menurut pengakuannya, buku adalah salah satu tempat yang memungkinkan baginya untuk menambah uang saku. Caranya adalah dengan menerima aneka macam pesenan tugas.
Kehidupan terus berjalan, tetapi buku selalu mewarnai. Aspek menarik dari buku dalam kehidupan Truly adalah perannya yang mampu menjembatani komunikasi antara dua orang yang keras kepala. ”Buku adalah jembatan antara aku yang keras kepala dan egois dengan anakku yang juga keras kepala. Hanya demi buku kami bisa duduk anteng tanpa saling ribut dalam waktu yang lama”.
Aku senyum tipis membaca pengakuan jujur Truly. Aku lalu mengoreksi diriku. Mungkin tidak sekeras Truly, tetapi aku sering juga kurang cepat merespon istri yang mengajak bicara atau bertanya saat aku membaca atau mengetik. Ya, ini lucunya. Aku baru sadar ketika dengan halus dia mengkritik apa yang telah aku lakukan. Memang idealnya harus menyeimbangkan dua hal. Tetapi menghentikan membaca sebelum titik itu juga kurang enak.
Aspek yang menurutku paling menarik dari bukti transformasi diri Truly Rudiono adalah saat ia banting setir meninggalkan kemapanan yang membuatnya jenuh untuk kemudian mengejar impian bekerja di perpustakaan. Menurut pengakuannya, buku yang mengubah hidupnya pada tahun 2011 tersebut berjudul Magnet Uang. Sayang, tidak ada data lengkap tentang buku ini, selain hanya judulnya saja. Bekerja di perpustakaan membuat ia sangat senang. Uang bukan lagi menjadi pertimbangan utama. Bahkan, dengan kalimat yang tegas ia menulis, ”Bekerja dengan hati dan rasa ikhlas membuat jumlah nominal yang lebih kecil justru mampu memenuhi kebutuhanku, bahkan lebih”.
Penggemar buku tidak hanya membaca buku, tetapi juga dipengaruhi buku. Bahkan karier yang harus dijalani demi hidup juga sangat mungkin dipengaruhi oleh buku bacaan.
Generasi seusia saya yang di akhir tahun 1980-an masih duduk di bangku SMP atau SMA pasti mengenal novel apik besutan Hilman Hariwijaya, Lupus. Novel ini sangat dikenal di masanya. Bahkan kemudian difilmkan dan disinetronkan.
Pengaruh besar Lupus sebagai remaja kreatif yang menekuni dunia kewartawanan juga mempengaruhi Ichwan Prasetyo. Melalui tulisan yang berjudul ”Sekelumit Buku dan Saya, Saya dan Buku”, Ichwan bertutur panjang lebar mengenai buku yang telah mengisi hidupnya. Dan salah satu favoritnya adalah Lupus. Jika kini ia menjadi wartawan, itu juga diakui secara jujur karena—saya kira salah satu—faktor novel Lupus.
Buku dengan kemasan sederhana dan cukup murah ini, bagiku memiliki makna penting untuk meneguhkan diriku agar selalu menyempatkan diri untuk membaca. Sebab, sebagaimana dikatakan Akhmad Romadhon di halaman 122 buku ini, ”membaca tetap harus dilakukan karena dari kesempatan berinteraksi dengan bukulah ada energi untuk hidup dan bekerja. Membaca musti dilakukan bukan karena apa-apa tapi karena kita satu-satunya makhluk yang merekam pengetahuan dengan membaca”. 
Demikian catatan dalam tiga seri ini. Terima kasih telah berkenan membaca. Semoga sedikit yang bisa aku tulis ini memberikan kontribusi penting dalam transformasi diriku dan juga—semoga—Anda sekalian. Amin. Salam! Trenggalek-Tulungagung, Senin, 25/3/2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.