Pada tulisan
ketiga ini, aku ingin mengulas para penulis yang mengalami transformasi karena
aktivitas membaca. Transformasi yang aku maksudkan adalah mengalami perubahan;
pikiran, pandangan, gerakan, dan perubahan signifikan lainnya dalam berbagai
dimensi kehidupan.
Aku harus minta
maaf jika model pembagianku tidak ilmiah, tidak metodologis, atau tidak-tidak
yang lainnya. Kalau aku memasukkan seorang penulis ke dalam kategori
transformatif bukan berarti yang tidak dimasukkan dalam kategori ini tidak
transformatoif. Sama sekali bukan. Ini hanya sebuah pembagian sederhana untuk
membuat catatan ini biar lebih mampu bertahan lama he he he.
Pertama-tama aku
harus menyebut Mbak Truly Rudiono. Melalui tulisan yang berjudul, ”Aku dan
Buku-buku”, ia bercerita bahwa ia sudah akrab membaca sejak usia kecil. Buku
komik Tintin, majalah Bobo, dan
buku-buku karangan Enid Blyton mengisi hari-harinya. Kebiasaan membaca
membuatnya mampu menikmati tugas mengarang dari gurunya. Padahal, sebagian
besar anak—bahkan hingga menjadi mahasiswa atau dosen sekalipun—tugas membaca
seolah momok. Membaca telah mendarah daging pada diri Truly. Coba Anda simak
bagaimana ia memposisikan buku. ”Aku
selalu tahu, dengan buku-buku di tangan, semua akan berjalan dengan lebih baik.
Kalimat ini
tentu tidak bermakna bahwa memegang buku secara otomatis segalanya akan lebih
baik. Aku memahaminya secara fungsional, yakni buku memberikan transformasi ke
diri Truly dalam berbagai bentuknya, termasuk mengatasi banyak kesulitan dalam
hidup. Dan itu ia buktikan saat kuliah. Menurut pengakuannya, buku adalah salah
satu tempat yang memungkinkan baginya untuk menambah uang saku. Caranya adalah
dengan menerima aneka macam pesenan tugas.
Kehidupan terus
berjalan, tetapi buku selalu mewarnai. Aspek menarik dari buku dalam kehidupan
Truly adalah perannya yang mampu menjembatani komunikasi antara dua orang yang
keras kepala. ”Buku adalah jembatan
antara aku yang keras kepala dan egois dengan anakku yang juga keras kepala.
Hanya demi buku kami bisa duduk anteng tanpa saling ribut dalam waktu yang
lama”.
Aku senyum tipis
membaca pengakuan jujur Truly. Aku lalu mengoreksi diriku. Mungkin tidak
sekeras Truly, tetapi aku sering juga kurang cepat merespon istri yang mengajak
bicara atau bertanya saat aku membaca atau mengetik. Ya, ini lucunya. Aku baru
sadar ketika dengan halus dia mengkritik apa yang telah aku lakukan. Memang
idealnya harus menyeimbangkan dua hal. Tetapi menghentikan membaca sebelum titik
itu juga kurang enak.
Aspek yang
menurutku paling menarik dari bukti transformasi diri Truly Rudiono adalah saat
ia banting setir meninggalkan kemapanan yang membuatnya jenuh untuk kemudian
mengejar impian bekerja di perpustakaan. Menurut pengakuannya, buku yang
mengubah hidupnya pada tahun 2011 tersebut berjudul Magnet Uang. Sayang, tidak ada data lengkap tentang buku ini,
selain hanya judulnya saja. Bekerja di perpustakaan membuat ia sangat senang.
Uang bukan lagi menjadi pertimbangan utama. Bahkan, dengan kalimat yang tegas
ia menulis, ”Bekerja dengan hati dan
rasa ikhlas membuat jumlah nominal yang lebih kecil justru mampu memenuhi
kebutuhanku, bahkan lebih”.
Penggemar buku
tidak hanya membaca buku, tetapi juga dipengaruhi buku. Bahkan karier yang
harus dijalani demi hidup juga sangat mungkin dipengaruhi oleh buku bacaan.
Generasi seusia
saya yang di akhir tahun 1980-an masih duduk di bangku SMP atau SMA pasti mengenal
novel apik besutan Hilman Hariwijaya, Lupus.
Novel ini sangat dikenal di masanya. Bahkan kemudian difilmkan dan
disinetronkan.
Pengaruh besar Lupus sebagai remaja kreatif yang
menekuni dunia kewartawanan juga mempengaruhi Ichwan Prasetyo. Melalui tulisan
yang berjudul ”Sekelumit Buku dan Saya, Saya dan Buku”, Ichwan bertutur panjang
lebar mengenai buku yang telah mengisi hidupnya. Dan salah satu favoritnya
adalah Lupus. Jika kini ia menjadi
wartawan, itu juga diakui secara jujur karena—saya kira salah satu—faktor novel
Lupus.
Buku dengan
kemasan sederhana dan cukup murah ini, bagiku memiliki makna penting untuk
meneguhkan diriku agar selalu menyempatkan diri untuk membaca. Sebab,
sebagaimana dikatakan Akhmad Romadhon di halaman 122 buku ini, ”membaca tetap harus dilakukan karena dari
kesempatan berinteraksi dengan bukulah ada energi untuk hidup dan bekerja.
Membaca musti dilakukan bukan karena apa-apa tapi karena kita satu-satunya
makhluk yang merekam pengetahuan dengan membaca”.
Demikian catatan dalam tiga seri ini. Terima kasih telah berkenan membaca. Semoga sedikit yang bisa aku tulis
ini memberikan kontribusi penting dalam transformasi diriku dan
juga—semoga—Anda sekalian. Amin. Salam! Trenggalek-Tulungagung,
Senin, 25/3/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.