Bagi para penggemarnya,
buku adalah barang nikmat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Ia
bukan hanya gugusan kertas dalam bendel lem yang dirangkai sedemikian apik,
tetapi buku adalah juga energi. Buku menjadi jawaban saat setumpuk persoalan
tak mampu terurai. Buku adalah sahabat yang tidak akan pernah marah. Buku, dari
penuturan para penulis di buku ”Aku dan
Buku” ini, adalah barang berharga yang berkontribusi besar dalam mewarnai
jejak kehidupan.
Munawir Aziz misalnya, lewat
tulisan yang berjudul ”Menziarahi Buku,
Mencerap Ilmu”, mengawali tulisannya dengan kalimat yang sangat menarik.
”Perjumpaan saya dengan buku merupakan kesesatan menuju kebahagiaan”, tulisnya.
Kalimat pembuka ini begitu menghentak. Aku memahaminya sebagai ekspresi
kebahagiaan seorang Munawir yang merasakan kebahagiaan karena kehadiran buku.
Ia merasa tersesat telah bergaul akrab dengan buku, tetapi ketersesatan itu
yang akhirnya justru menjadikannya menemukan kebahagiaan.
Tradisi membaca seyogyanya
sudah dimulai sejak dini. Tradisi yang disemai sejak dini memungkinkan untuk
tumbuh dan berkembang secara baik seiring pertumbuhan dan perkembangan usia.
Tetapi tidak sedikit juga penulis dalam buku ini yang justru menjadi pembaca karena
ketidaksengajaan. Hal semacam inilah yang dialami Munawir Aziz. Ia justru
menjadi pembaca karena ibunya yang pedagang kelontong, selalu menyiapkan koran
bekas, di samping daun pisang, untuk membungkus jualan. Ia mulai berkenalan
dengan koran bekas dan menjadi pembaca setianya.
Aku kira banyak orang yang
menjadi pembaca karena ketidaksengajaan. Pengalaman hidup seperti yang dialami oleh
Munawir Aziz, aku kira juga dialami oleh banyak orang yang lainnya. Hanya
memang, jika telah ada usaha secara sistematis untuk mengenalkan bacaan sejak
dini, hasilnya tentu saja akan lebih maksimal.
Tulisan Li Na, ”Aku dan
Buku: Kalau Jodoh, Takkan Ke mana”, menarik juga diulas dalam catatan ini.
Catatan Li Na mengisahkan pergulatannya dengan buku Dunia Sophie. Dunia Sophie adalah sebuah buku filsafat berbentuk
novel yang cukup terkenal di sekitar tahun 2000. Sebagai buku terjemahan, buku
tersebut telah dicetak ulang hingga beberapa kali.
Daya tarik Dunia Sophie sangat besar, termasuk yang
dialami Li Na. Pertama kali ingin membeli buku karya Jostein Gaarder tersebut,
ia tidak menemukan di toko buku dan juga di pasar buku bekas. Semua usahanya
untuk mendapatkan buku itu gagal. Namun suatu hari ia menerima paket dari
tantenya yang isinya ternyata buku Dunia
Sophie. Tentu saja, ini merupakan ”keajaiban” yang membuatnya sangat
bahagia. Segera saja, buku tersebut menjadi buku favoritnya. Ia membacanya di
mana saja, termasuk di kelas. Padahal, saat itu ia masih SMA. Gurunya yang
mengetahui aktivitas Li Na mengambil buku tersebut. Ia sangat sedih. Kehilangan
ini merupakan kehilangan pertama yang dialaminya. Tetapi kesedihannya terbayar
karena esoknya buku tersebut dikembalikan.
Ketika kuliah, Dunia Sophie dipinjam temannya, dan
temannya tersebut menghilangkan buku tersebut. Kehilangan kedua terhadap buku
ini membuatnya merasa bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan buku yang sarat
nilai sejarah tersebut. Sebulan kemudian, temannya menemukan buku tersebut
setelah memasang pengumuman di kampus.
Kehilangan ketiga yang
paling parah terjadi saat Li Na meninggalkan tanpa sadar di salah satu kafe
yang berada di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Saat ingat, jeda waktu
keberangkatan pesawat sudah mepet. Tapi demi buku, Li Na nekat mengambil buku
itu. Bukunya kembali ia temukan, dan pesawatnya ternyata delay.
Kisah Li Na memberikan gambaran bahwa pada orang-orang
tertentu, ada buku yang menjadi favoritnya. Buku itu selalu ada, lekat, dan
menjadi bagian menentukan dalam kehidupannya. Buku semacam ini telah menjadi
ruh, spirit, dan pelengkap eksistensi diri. Anda mungkin juga mengalami seperti
yang dialami Li Na. Buku apa yang menempati posisi sebagai buku paling favorit?
Parakan Trenggalek, 23/3/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.