Satu hal yang
aku syukuri dari adanya FB dan blog adalah berkembangnya informasi penting yang tidak
mungkin didapatkan dari media lain. Informasi tentang buku, misalnya. Selama
ini informasi tentang buku bisa
diperoleh melalui rubrik resensi buku atau dengan rajin mengunjungi toko buku.
Informasi semacam ini, selain memiliki kelebihan, juga ada kelemahan. Kelemahan
pertama, buku yang dihadirkan di
rubrik resensi sangat terbatas. Umumnya satu judul buku setiap minggunya.
Itupun belum tentu buku yang sesuai dengan minat kita. Kedua, toko
buku yang representatif tidak ada di setiap kota. Di kota tempat tinggalku, ada
beberapa toko buku, tetapi bukan buku bacaan yang dominan, melainkan buku
tulis. Toko buku representatif kebanyakan ada di kota besar. Sekarang di Kediri,
sebuah kota yang jauhnya sekitar 60 KM dari tempatku tinggal sekarang ini,
sudah cukup lumayan karena beberapa toko buku mewarnai dinamika “Kota Tahu”
ini. Persoalannya, selain dana, mengunjungi toko buku tidak bisa dilakukan
setiap saat. Kesibukan, keuangan, dan kesempatan menjadi beberapa hal yang
harus diperhitungkan.
Pada kondisi
semacam inilah, aku merasakan betul betapa FB dan blog menjadi seolah ”toko buku” alternatif. Yang aku maksudkan adalah tidak setiap buku bisa
beredar di toko buku. Buku-buku penting yang dicetak terbatas juga tidak bisa
nangkring di toko buku. Order buku semacam ini biasanya bisa dilakukan melalui
pemesanan langsung. Cara semacam ini semakin banyak dalam beberapa waktu
terakhir.
Aku sendiri beberapa
kali pesan buku ke beberapa orang yang mempromosikan karyanya via FB. Salah
satunya sebuah buku yang berjudul ”Aku & Buku”. Buku yang diterbitkan oleh Komunitas
Sastra Pawon Solo ini berisi kumpulan kisah beberapa orang tentang bagaimana
mereka akrab dan bergaul mesra dengan buku. Jadi, intinya adalah buku tentang buku sebagaimana judul
tulisan ini.
Pertama kali
aku melihat buku ini di FB. Di wall Sastra Pawon yang aku ikuti, aku melihat
bahwa buku ini dibagikan secara gratis di setiap acara sastra di Surakarta.
Karena tertarik, aku inbox ke wall Pawon. Tidak lama
berselang ada SMS dari seseorang yang mengaku Mas Yudhi Herwibowo. Menurut Mas Yudhi, buku ini ternyata sudah habis sehingga tidak ada lagi edisi gratis. Memang kecenderungan orang itu ingin
mendapatkan hal serba gratis. Padahal, kata seorang teman, ”Hargailah teman
Anda yang menjadi penulis dengan membeli bukunya, bukan memintanya”. Banyak teman tidak paham bahwa penulis itu
hanya mendapatkan jatah sekitar 10 eksemplar dari penerbit setiap kali sebuah
buku terbit. Aku menghargai permintaan teman yang mengharap berkah gratisan he he
he, tapi mohon maaf, penulis itu bukan penerbit buku sehingga saat buku habis,
penulis justru harus membeli buku karya tulisnya sendiri. Ini yang aku kira
perlu teman-teman mengerti.
Karena aku
tahu bahwa menulis itu berat dan harus dihargai, maka aku SMS ke Mas Yudhi bahwa
aku ingin memiliki buku tersebut. Setelah diberitahu harga dan biaya kirimnya,
sore harinya aku transfer. Tidak lama berselang, buku menarik itu datang ke
kampus.
Buku yang
gambar sampulnya bocah cantik berpakaian tradisional ini aku baca dengan
keingintahuan yang besar. Dan betul, buku ini berkisah tentang bagaimana para
tokoh muda menekuni membaca, walaupun mereka tidak semuanya pelajar yang
mengenyam bangku pendidikan memadai.
Tulisan
pertama karya Endy Saputro yang berjudul ”Membuku”. Pada bagian awal Endy
bertutur dengan penuh semangat mengenai bagaimana membaca tidak hanya mengobati
lapar akan ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan asupan gizi yang
sesungguhnya. Endy bertutur tentang bagaimana ia harus bersiasat hidup sebagai
seorang mahasiswa baru. Uang SPP memang telah lunas, tetapi untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, masih harus berjuang keras. Salah satu alternatif
yang ia lakukan adalah dengan mengunjungi perpustakaan. Ia terkejut dan tidak
menyangka bahwa di tempat itu ia menemukan banyak makanan lezat nan melimpah
ruah. Dengan penuh semangat, Endy bertutur:
Pagi, sore, dan malam kuganjal perut dengan bacaan. Bahkan ketika akhir
minggu, melahap sajian tersebut sampai menjelang fajar menyingsing dan terus
tenggelam kembali. Saking rakusnya aku, si pustakawan mengizinkanku membawa
pulang buku-buku sampai tak terbatas. Biasa satu kardus kubawa ke kost saat
akhir minggu.
Membaca, bagi
Endy, memiliki dampak besar yang luar biasa. Endy bukan pembaca buku biasa. Ia
pembaca buku yang kritis dan metodologis. Selesai membaca sebuah buku, ia tidak
lupa terhadap yang dibacanya, bahkan justru mampu membuat peta pikiran atas
buku-buku yang dibacanya.
Membaca ternyata
telah memberikan manfaat lain bagi Endy, yaitu memberinya rejeki. Luasnya
pengetahuan dan bacaan yang dimiliki membuat ia menjadi langganan
teman-temannya untuk konsultasi. Bahkan pihak perpustakaan pun akhirnya
memintanya membelikan buku-buku baru yang ada. Dari sinilah, narasi pengetahuan
Endy terus tumbuh dan berkembang. Kini, ia menemukan manfaat lain dari
akumulasi pengetahuannya yang luas, yaitu menulis. Tulisan-tulisan Endy Saputra menghiasi berbagai jurnal, majalah, dan media
lainnya. Semua itu tidak lepas dari kegemarannya bergaul dengan buku. Maka, di sisi inilah
judul tulisan Endy menjadi menarik, yaitu ”Membuku”. Maksud kata ini saya kira
bisa Anda tebak sendiri. Salam.[Bersambung].
Trenggalek, 22/3/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.