Rabu, 24 April 2013

CATATAN BEDAH BUKU


DARI BUNTUTISME MENUJU PENCERAHAN

Hari minggu yang bertepatan dengan Hari Kartini (21 April 2013) kemarin merupakan hari yang membahagiakan. Saya mengisi dua acara sekaligus; jam 8 mengisi Pelatihan Jurnalistik di STKIP PGRI Trenggalek, dan dua jam kemudian saya meluncur Gedung Pramuka Trenggalek untuk menghadiri bedah buku saya, Character Building.
Bagi saya, bedah buku merupakan bentuk penghargaan yang harus saya apresiasi. Bedah buku ini digelar oleh komunitas”Arisan Sastra” yang rutin digelar sebulan sekali.
Pada bedah buku kali ini, Mas Nurani Soyomukti menjadi pembedahnya. Saya mendapatkan banyak catatan dan masukan dari penulis muda yang produktif ini. Pemikirannya yang kritis dan inspeksionalis menjadikan ia mampu menelisik hingga sisi filosofis dan ontologis dari buku yang saya tulis.
Berkaitan dengan kegiatan bedah buku tersebut, ada beberapa catatan penting yang dapat saya rangkum. Pertama, saya harus mengucapkan terima kasih kepada Mas Nurani Soyomukti karena dia bilang telah membaca secara tuntas isi buku saya. Sebagai seorang penulis, tentu saya merasa berbahagia. Hasil jerih payah dan kerja keras saya ternyata diapresiasi.
 Kedua, sebagaimana tipologi pemikirannya, Mas Nurani banyak memberikan catatan atas buku saya. Memang tidak ada buku yang sempurna. Justru setelah terbit, berbagai kelemahan mudah untuk ditemukan. Karena itu, bedah buku membantu memetakan beberapa hal yang selayaknya ada dalam buku, sekaligus sebagai sarana revisi. Dari diskusi minggu siang itu, Mas Nurani memberikan beberapa usulan, misalnya; belum ada penjelasan mengenai teori-teori sosiologi dan kebudayaan terkait karakter; kontradiksi besar apa yang menyebabkan bangsa ini karakternya terpuruk; historis karakter bangsa Indonesia; perlu penjelasan kondisi objektif bangsa yang memunculkan karakter; dan sebagainya.
Ketiga, diskusi minggu siang itu memberikan banyak pelajaran berharga buat saya. Saya menemukan beberapa istilah yang kemudian menjadi bahan perdebatan seru. Salah satunya adalah ’mbuntutisme’. Menurut Mas Nurani, ’mbuntutisme’ merupakan mentalitas mengikuti orang lain tanpa kreativitas. Ini terlihat pada hampir semua dimensi kehidupan.
Ada banyak pertanyaan, masukan, dan kritik yang muncul. Mas Imam, seorang warga Nglinggis Tugu yang puluhan tahun tinggal di Pontianak dan baru dua tahun pulang ke Trenggalek memberikan banyak perspektif mencerahkan. Ia menyatakan bahwa hal penting yang seharusnya sekarang ditumbuhkembangkan adalah ”etos kerja keras”. Dibandingkan negara-negara lain, ”etos kerja keras” masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh. Masih harus dibangun tradisi kerja keras demi kemajuan.
Mas Imam juga menyoroti miskinnya mentalitas tahan banting generasi muda. Adanya teknologi informasi memang memudahkan komunikasi, tetapi juga membawa efek negatif pada mentalitas tahan banting. Mas Imam memberikan contoh tentang bagaimana dulu sebelum ada HP, jika seorang anak ban sepeda motornya bocor, ia akan berusaha sendiri mengatasi masalahnya. Sekarang, dengan HP, si anak menelepon rumah dan minta bantuan orang tuanya.
Komentar Mas Haris Yahdiman makin melengkapi perspektif diskusi. Mas Haris melihat betapa sekarang ini banyak orang penting tetapi moralnya jelek; banyak orang cerdas tetapi tidak bijaksana; banyak politisi tetapi tidak menjadikan rakyat sebagai pusat orientasi; dan seterusnya. Harapan pendidikan yang dimunculkan Mas Haris Yahdiman adalah bagaimana pendidikan bisa menjadi ”media pencerahan”. Substansinya adalah bagaimana pendidikan mampu menjadi sarana membuat orang menjadi baik.
Saya sangat senang atas produktivitas acara bedah buku kemarin. Mengutip Walter B. Wriston, saya mengatakan bahwa yang kita perlukan adalah selalu berpikir positif. Perspektif inilah yang—menurut saya—harus selalu kita dengungkan agar kita memiliki energi untuk selalu tegar menghadapi persoalan apapun. Salam! [Trenggalek—Tulungagung, 23/4/2013].
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.