DARI BUNTUTISME MENUJU PENCERAHAN
Hari minggu yang
bertepatan dengan Hari Kartini (21 April 2013) kemarin merupakan hari yang
membahagiakan. Saya mengisi dua acara sekaligus; jam 8 mengisi Pelatihan
Jurnalistik di STKIP PGRI Trenggalek, dan dua jam kemudian saya meluncur Gedung
Pramuka Trenggalek untuk menghadiri bedah buku saya, Character Building.
Bagi saya, bedah
buku merupakan bentuk penghargaan yang harus saya apresiasi. Bedah buku ini
digelar oleh komunitas”Arisan Sastra” yang rutin digelar sebulan sekali.
Pada bedah buku
kali ini, Mas Nurani Soyomukti menjadi pembedahnya. Saya mendapatkan banyak
catatan dan masukan dari penulis muda yang produktif ini. Pemikirannya yang
kritis dan inspeksionalis menjadikan ia mampu menelisik hingga sisi filosofis
dan ontologis dari buku yang saya tulis.
Berkaitan dengan
kegiatan bedah buku tersebut, ada beberapa catatan penting yang dapat saya
rangkum. Pertama, saya harus
mengucapkan terima kasih kepada Mas Nurani Soyomukti karena dia bilang telah
membaca secara tuntas isi buku saya. Sebagai seorang penulis, tentu saya merasa
berbahagia. Hasil jerih payah dan kerja keras saya ternyata diapresiasi.
Kedua, sebagaimana tipologi pemikirannya, Mas Nurani banyak memberikan catatan
atas buku saya. Memang tidak ada buku yang sempurna. Justru setelah terbit,
berbagai kelemahan mudah untuk ditemukan. Karena itu, bedah buku membantu
memetakan beberapa hal yang selayaknya ada dalam buku, sekaligus sebagai sarana
revisi. Dari diskusi minggu siang itu, Mas Nurani memberikan beberapa usulan,
misalnya; belum ada penjelasan mengenai teori-teori sosiologi dan kebudayaan
terkait karakter; kontradiksi besar apa yang menyebabkan bangsa ini karakternya
terpuruk; historis karakter bangsa Indonesia; perlu penjelasan kondisi objektif
bangsa yang memunculkan karakter; dan sebagainya.
Ketiga, diskusi minggu siang
itu memberikan banyak pelajaran berharga buat saya. Saya menemukan beberapa
istilah yang kemudian menjadi bahan perdebatan seru. Salah satunya adalah
’mbuntutisme’. Menurut Mas Nurani, ’mbuntutisme’ merupakan mentalitas mengikuti
orang lain tanpa kreativitas. Ini terlihat pada hampir semua dimensi kehidupan.
Ada banyak
pertanyaan, masukan, dan kritik yang muncul. Mas Imam, seorang warga Nglinggis
Tugu yang puluhan tahun tinggal di Pontianak dan baru dua tahun pulang ke
Trenggalek memberikan banyak perspektif mencerahkan. Ia menyatakan bahwa hal
penting yang seharusnya sekarang ditumbuhkembangkan adalah ”etos kerja keras”.
Dibandingkan negara-negara lain, ”etos kerja keras” masyarakat Indonesia masih
tertinggal jauh. Masih harus dibangun tradisi kerja keras demi kemajuan.
Mas Imam juga
menyoroti miskinnya mentalitas tahan banting generasi muda. Adanya teknologi
informasi memang memudahkan komunikasi, tetapi juga membawa efek negatif pada
mentalitas tahan banting. Mas Imam memberikan contoh tentang bagaimana dulu
sebelum ada HP, jika seorang anak ban sepeda motornya bocor, ia akan berusaha
sendiri mengatasi masalahnya. Sekarang, dengan HP, si anak menelepon rumah dan
minta bantuan orang tuanya.
Komentar Mas
Haris Yahdiman makin melengkapi perspektif diskusi. Mas Haris melihat betapa
sekarang ini banyak orang penting tetapi moralnya jelek; banyak orang cerdas
tetapi tidak bijaksana; banyak politisi tetapi tidak menjadikan rakyat sebagai
pusat orientasi; dan seterusnya. Harapan pendidikan yang dimunculkan Mas Haris
Yahdiman adalah bagaimana pendidikan bisa menjadi ”media pencerahan”.
Substansinya adalah bagaimana pendidikan mampu menjadi sarana membuat orang
menjadi baik.
Saya sangat
senang atas produktivitas acara bedah buku kemarin. Mengutip Walter B. Wriston,
saya mengatakan bahwa yang kita perlukan adalah selalu berpikir positif.
Perspektif inilah yang—menurut saya—harus selalu kita dengungkan agar kita
memiliki energi untuk selalu tegar menghadapi persoalan apapun. Salam! [Trenggalek—Tulungagung, 23/4/2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.