Ngainun
Naim
Para Rektor, Ketua LP2M,
dan Dosen Pembimbing Lapangan KKN Kebangsaan diterima dengan ramah di oleh
Walikota Tidore Kepulauan, Capt. H. Ali Ibrahim, M.H. dan Ibu. Kami semua
dipersilahkan masuk ke rumah dinas, bersalaman, lalu dipersilahkan menikmati
makan siang yang sudah tersedia. Ada berbagai menu lezat yang siap untuk
disantap.
Menjelang pukul 12.00
WIT, seluruh peserta laki-laki menuju 4 bus sudah disediakan oleh Pemkot Tidore
Kepulauan untuk menuju Masjid Kesultanan Tidore. Jarak menuju masjid sesungguhnya
hanya beberapa ratus meter saja dari Rumah Dinas Walikota, namun karena belum
tahu, maka kita ikut saja naik bus. Ya, hari itu memang hari Jumat, 19 Juli
2019.
Saya sungguh berkesan
dengan Masjid Kesultanan. Sangat menarik. Saya menemukan empat keunikan di
sana.
Pertama,
wudhu.
Untuk wudhu, kami harus mengambil air dengan gayung di sebuah kolam yang airnya
sangat jernih. Bagi saya, ini sungguh unik dan baru pertama kali saya lihat. Di
tempat lain saya pernah menemukan hal yang hampir sama, tetapi bentuk kolamnya
tidak melingkar, tetapi segi empat.
Usai wudhu saya masuk
masjid. Arsitekturnya sungguh unik. Di samping ruang imam, ada tiga ruang. Posisinya
sejajar dengan shaf pertama. Ruang tengah kosong tanpa kain penutup, sementara
dua ruang lainnya dilengkapi dengan tirai. Di atasnya ada bendera kecil dengan
tulisan shahadat.
Kedua,
saya
menjalankan shalat sunnah. Sesaat kemudian, adzan didengungkan. Kembali saya
menemukan keunikan. Muadzinnya tidak hanya satu orang tetapi empat. Mereka melafalkan
adzan bersama. Saya menduga empat muadzin itu melambangkan Khulafaur Rasyidin. Prof.
Dr. Arrofi—Ketua LP2M UIN Susqa Pekanbaru Riau yang diskusi dengan saya usai
shalat jumat—berpendapat bahwa empat muadzin itu melambangkan 4 imam madzhab. Saya
tidak tahu mana yang benar. Mungkin juga pendapat kami benar semua, salah
semua, atau benar salah satunya. Persoalannya, belum ada pihak yang bisa kami
konfirmasi terkait hal tersebut.
Keunikan ketiga saya temukan saat khatib mulai
membaca khotbah. Ternyata khatib masuk ke ruang bertirai di samping imam. Saat membaca
khotbah, tirai tetap tertutup. Jadi saya tidak bisa melihat wajah khatib sampai
khotbah selesai.
Keempat,
semua
jamaah wajib memakai kopiah. Namun karena tidak semua teman dari rombongan KKN
Kebangsaan membawa kopiah maka akhirnya topi KKN Kebangsaan dipakai secara
terbalik. Cukup kreatif. Topi pun berubah menjadi kopiah he he he.
Shalat jumat di Masjid
Kesultanan Tidore pada 19 Juli 2019 itu sungguh berkesan. Setiap daerah memang
memiliki keunikan. Beruntung saya memiliki kesempatan datang ke Tidore dan
menjalankan shalat jumat di Masjid Kesultanan Tidore.
Sepanjang umur saya dari empat itu ada tiga yg belum saya temui yaitu, 2,3,4. Semoga saya bisa berkunjung.
BalasHapusAmin. Semoga suatu saat bisa berkunjung.
HapusKesultanan Tidore yang islami
BalasHapusKekhasan yang tetap terjaga dengan baik Pak.
BalasHapusBetul Bu
HapusPerlu disyukuri karena berkesempatan berkunjung ke sana...
BalasHapusBetul. Tulisan ini juga wujud rasa syukur bisa ke sana
HapusLuar biasa Gus
BalasHapusTerima kasih Mas Doktor
HapusAlhamdulillah, telah pernah sholat di sini.
BalasHapusAmin.
HapusWah enak pak
BalasHapusAlhamdulillah
Hapuswah berasa seperti ikut di sana juga pak hhh
BalasHapusjadi pengen kesana juga
He he he semoga ada kesempatan ke sana
HapusHmm, sangat mengingatkan saya ketika 1 bulan di sana Pak, pagi/siang/sore selalu lewat depan masjid itu ketika berangkat/pulang dari kantor Kelurahan Soasio.
BalasHapusSaya klarifikasi untuk point keunikan yg kedua Pak, 4 muadzin itu menggambarkan khalifah 4 (berdasarkan wawancara dengan Jojau Tidore).
Kemudian mengenai keunikan yg ketiga, rekan saya pernah bertanya pula kepada Jojau. Mengapa ketika khotbah berlangsung, tirai ditutup? Jojau mengungkapkan bahwasanya, hal tersebut mengandung filosofi dan hikmah, apabila kita sedang mendengarkan ceramah/khotbah/orang yg berbicara, janganlah memandang rupa/siapa yang berbicara, tetapi perhatikan apa yang disampaikan.
Dan saya ingin menambahkan satu keunikan lagi mengenai masjid Sultan itu, khusus wanita hanya yg menopause saja yang boleh masuk ke dalamnya utk yg belum menopause tdk diperkenankan.
Jadi, saya dan teman-teman perempuan yang lain dulu pernah singgah hanya di serambinya saja, dan belakang masjid (makam). Semoga segera bisa berkunjung lagi ke sana, aamiin.
Terima kasih masukan dan tambahan informasinya
HapusSebuah pengalaman yang menarik pak
BalasHapusBetul Mas
HapusMantap..shalat di Mesjid Sultan di Tidore merupakan berkah tersendiri bagi yg dpt melaksanakannya di dlm mesjid itu..👍
BalasHapusTerima kasih Prof
HapusSenang sekali, bisa ke sana dan bisa menulis.
BalasHapusIya Pak KS. Catatan perjalanan yang mengesankan.
HapusRasanya saya kehabisan kata-kata. Kuliah Prof malam ini akan menjadi tonggak penanda mulainya keaktifan saya untuk kembali menulis apa saja. Dan harus meluangkan waktu ya, Prof., bukan menunggu ada waktu luang>
BalasHapus