Ngainun Naim
Saya sedang membaca sebuah buku karya seorang sahabat,
Muhammad Bajri. Judul buku tersebut adalah Transformasi Ibadah Ritual dalam
Kehidupan Sosial (Jakarta: Quanta, 2018). Baru masuk di bagian kata
pengantar yang ditulis oleh Muflih H. Hart, saya terhenti. Kata pengantar yang
ditulis sungguh menyentak kesadaran saya. Uraiannya membuat saya harus merenungkan
ulang tentang keberislaman saya.
Salah bagian yang menyentak adalah paparannya tentang
shalat. Kata Muflih, kualitas shalat—juga kualitas rukun Islam
lainnya—merupakan cermin kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Shalat menjadi
parameter apakah kualitas hidup seseorang. Orang yang mengabaikan kewajiban
shalat, kata Muflih, sesungguhnya juga tidak peduli dengan prinsip-prinsip lain
dalam hidup. Orang yang shalatnya khusyuk maka demikian juga dengan
kehidupannya. Orang yang lalai dengan shalatnya, kehidupannya juga ia lalaikan.
Shalat yang asal-asalan adalah cermin kehidupan yang juga asal-asalan.
Gerakan shalat juga mencerminkan perilaku hidup
sehari-hari. Jika hidupnya sehari-hari selalu terburu-buru, tidak sabaran,
mudah marah maka shalatnya biasanya juga cepat, ngebut, dan selalu
terburu-buru. Bagi yang memposisikan shalat sebagai bagian penting dalam hidup
maka orang tersebut juga mementingkan kehidupannya. Orang yang menganggap
shalat tidak penting maka anggapan yang sama juga terjadi dalam kehidupannya.
Setelah membaca tulisan Muflih H. Hart, pikiran saya
melayang kepada banyak hal dalam kehidupan. Salah satunya dalam berlalu lintas.
Nyaris setiap hari saya menyusuri jalanan sepanjang 30 kilo di pagi hari dan 30
kilo di sore hari. Pulang pergi dari rumah di Kabupaten Trenggalek menuju
kampus IAIN Tulungagung. Ada begitu banyak lampu lintas yang harus saya lewati
sepanjang perjalanan.
Pagi hari saat berangkat ke kantor adalah saat jam sibuk.
Jam di mana nyaris semua orang berjuang menuju ke tempat bekerja atau menempuh
pendidikan. Jadi jalanan rasanya dipenuhi oleh orang-orang yang terburu-buru.
Saya kok nyaris tidak melihat orang yang berkendara secara santai.
Keterburuan ini semakin menemukan pembenarannya saat
berhenti di lampu merah. Saya berkali-kali—atau bahkan setiap hari—mengalami
bagaimana ketidaksabaran benar-benar mewujud dalam perilaku. Jika lampu sudah
mulai hijau, belum sampai tiga detik sudah penuh dengan bunyi klakson. Padahal
saya yakin mereka yang ada di lokasi tahu bahwa lampu sudah hijau. Tetapi tetap
saja klakson nyaring terdengar.
Fenomena ini, menurut saya, menunjukkan ketidaksabaran.
Maunya cepat. Tidak mau terjebak kembali di lampu merah karena akan menambah
panjang dan lama waktu ke tempat tujuan. Kembali kepada tulisan Muflih H. Hart,
apa yang saya ceritakan menarik dianalisis dengan tulisan beliau. Jangan-jangan
mereka yang serba terburu-buru itu shalatnya juga terburu-buru. Mereka tidak
sabar dan emosional. Gampang sekali marah. Sedikit saja ada pemicu, emosi
meledak.
Pada berbagai bidang kehidupan yang lainnya, fenomena
sejenis juga terjadi. Keterburu-buruan melanda pada hampir semua bidang
kehidupan. Korupsi yang kini semakin merajalela juga menunjukkan hal yang
sejenis. Padahal, banyak di antara para koruptor itu orang berpendidikan dan
memiliki latar belakang agama yang memadai. Jika memakai teori Muflih H. Hart,
perilaku mereka mencerminkan shalat mereka.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dalam bukunya yang monumental, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2 (2005: 126) menjelaskan bahwa siapa saja yang
memiliki hubungan baik dengan Allah dan memelihara agamanya maka relasi dengan
manusia akan baik pula. Hal ini disebabkan karena ajaran agama memerintahkan
untuk menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Sebaliknya, siapa saja
yang tidak memelihara agamanya, bahkan hubungannya buruk dengan Allah,
berbohong atas nama-Nya, atau menyembunyikan apa yang diperintahkan-Nya untuk
disampaikan pastilah hubungannya dengan manusia lebih buruk lagi.
Penjelasan ini sesungguhnya menegaskan adanya relasi antara
ibadah yang kita lakukan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Shalat merupakan
ibadah ritual yang tidak berdiri sendiri. Shalat yang substansial adalah shalat
yang bisa memberikan inspirasi dan transformasi positif kepada orang yang
melakukannya. Gerakan-gerakan shalat seharusnya menghadirkan nilai-nilai
substansial transformatif dalam kehidupan sosial.
Tulungagung, 17 Desember 2018
Ngaji ati..
BalasHapusCocok buat referensi pak..
Alhamdulillah mengena sekali
Hanya tulisan sederhana. Terima kasih berkenan membaca dan berkomentar. Semoga bermanfaat.
HapusSangat menarik bapak
BalasHapus