Sejarah hidup bisa direncanakan oleh kita sebagai manusia. Bahkan harus direncanakan jika ingin mencapai
target-target tertentu. Namun kemampuan manusia adalah ikhtiar. Hasilnya ada ada
di tangan Allah.
Keinginan sebuah keluarga adalah anggota-anggotanya tinggal
berdekatan agar komunikasi tetap terjaga, relasi antar keturunan tetap erat,
dan relasi kekeluargaan tidak renggang. Namun takdir hidup tidak selalu sesuai
dengan harapan. Di sini tangan Allah bekerja.
Pengalaman hidup keluarga saya dari garis Bapak
menunjukkan hal yang semacam ini. Salah seorang adik Bapak, namanya Bulek
Mariyah dan keluarga, ikut program transmigrasi pada awal tahun 1980-an. Beliau
sekeluarga ditempatkan di sebuah daerah yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Jarak yang sedemikian jauh membuat komunikasi tidak
berlangsung dengan lancar. Di tahun 1980-an, komunikasi yang paling mungkin ya
melalui surat. Tentu, hanya sebagian kecil yang bisa terkomunikasikan dalam
secarik kertas. Ini berkaitan dengan kemampuan menuangkan ide menjadi tulisan
yang tidak mudah. Tidak semua orang bisa menulis surat dengan baik. Persoalan
lain, sampainya surat itu membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa bertemu kembali
dengan mereka. Pilihannya adalah mengunjungi mereka atau mereka yang mudik.
Sama-sama tidak mudah tetapi rasanya tidak ada pilihan lagi.
Suatu pagi datang seseorang ke rumah. Ternyata beliau
adalah suami Bulek Mariyah, yaitu Pak Sadzali. Saya tidak ikut berbincang
karena masih kecil. Hanya saya diberitahu Ibuk kalau kehidupan di daerah
transmigrasi zaman itu masih banyak tantangannya. Belum seindah dalam bayangan
dan cerita.
Kunjungan demi kunjungan dari keluarga Bulek di Sulawesi
Selatan ke Tulungagung, termasuk yang dilakukan oleh anak-anaknya, menjadi
penanda kehidupan ekonomi yang semakin baik. Jika ekonomi belum baik tentu
sulit untuk membiayai perjalanan yang sedemikian jauh. Biayanya cukup menguras
kantong. Dulu mereka berkunjung dengan menggunakan kapal laut. Sekarang ini
sudah memakai pesawat terbang.
Saya sendiri sangat bersyukur pernah dua kali mengunjungi
keluarga yang tinggal di Konawe Sulawesi Tenggara ini. Kunjungan pertama pada
tahun 2004. Kunjungan kedua pada tahun 2022. Kunjungan tersebut, bagi saya,
adalah kesempatan dan keberkahan yang begitu membahagiakan. Saat keluarga
Konawe berkunjung ke Tulungagung, saya juga belum tentu bisa menemui mereka.
Kadang mereka datang dengan waktu singkat. Bisa juga karena satu dan lain hal
yang menjadi penyebabnya.
Hari Selasa tanggal 5 Maret 2024 tetiba Ibuk mengunggah
sebuah foto. Foto tentang pasangan suami istri yang menjadi tamu di rumah. Mereka
adalah Soin dan Sol, anak dan menantu Bulek Mariyah.
Rohmah tetiba berkomentar di grup WA. ”Sopo kui Buk?”.
Dijawab oleh Uun, ”Soin dan Sol”.
”Omahe ngendi?”, tanya Rohmah.
Tak jawab, ” Dek abene kae jarene Desa Wowasolo Kecamatan Wonggeduku Kabupaten
Konawe Propinsi Suwalwesi Tenggara Indonesia”.
Begitulah, komunikasi kemudian berlanjut tentang kosa
kata Dek abene. Ini kosa kata khas. Pemiliknya adalah Mbah Muji, Ibuk
kandungnya Bapak. Mbah Muji menggunakan kosa kata itu dalam makna ”dahulu”.
Entahlah, dari mana kosa kata itu berasal dan ke mana
perginya karena sekarang sudah tidak ada lagi. Kini, kosa kata itu adalah gugusan
memori untuk mengenang masa lalu.
Tulungagung, 5 April 2024