Oleh
Ngainun Naim
Bersama Dr. Ismail Yahya. Gambar tidak ada hubungannya dengan isi tulisan. |
Inilah bulan yang selalu ditunggu oleh umat Islam seluruh
dunia. Bulan yang di dalamnya penuh dengan keberkahan. Spirit ibadah dan
berbagai aktualisasi keberislaman terpancar kuat di berbagai bidang kehidupan.
Ramadhan sendiri sesungguhnya tidak berubah. Cara pandang
dan interpretasi kita saja yang terus berkembang. Maka, membahas Ramadhan dalam
konteks dulu dan sekarang sesungguhnya membincang sesuatu yang dinamis.
Setiap ruang dan waktu memiliki karakteristik khas
berkaitan dengan Ramadhan. Ada yang unik, dirindukan, dan belum tentu terulang
di masa yang akan datang. Wajar jika Ramadhan selalu meninggalkan kenangan
mendalam yang tidak terlupakan.
Bagi saya, interpretasi waktu berkaitan dengan Ramadhan ini
bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Ramadhan dalam kenangan
masa kecil. Inilah Ramadhan yang menurut saya paling indah dalam hidup. Bulan
yang begitu dinantikan. Kehadirannya disambut dengan sangat antusias.
Dulu, di desa saya, menjelang Ramadhan selalu ditandai
dengan banyak ritual khas. Satu yang saya ingat adalah bunyi beduk bertalu-talu
sepanjang hari sebelum memasuki bulan suci. Kami yang masih anak-anak menikmati
momentum ini dengan penuh kebahagiaan. Beberapa dari kami berkontribusi memukul
bedug saat kakak-kakak sudah kelelahan. Tentu saja, gebukannya tidak sekuat
kakak-kakak.
Kini, saya sudah tidak menemukan lagi tradisi itu.
Entahlah, ke mana perginya. Pada saat semacam ini, kerinduan dalam menyambut
Ramadhan acap muncul kembali, meskipun jelas waktu tidak bisa berputar kembali.
Kedua, Ramadhan
ketika di pesantren. Ya, inilah Ramadhan dalam spirit ibadah-belajar yang tidak
akan terlupakan sepanjang usia. Siang malam berisi aktivitas yang padat
merayap. Jam 03.00 harus bangun untuk shalat malam dan sahur. Terlambat sedikit
berarti kehilangan kesempatan sahur secara memuaskan karena ratusan santri lain
sudah merayap di dekat dapur pondok. Usai sahur dilanjutkan dengan shalat subuh
berjamaah. Lalu mengaji kitab kuning sampai pukul 06.00.
Agenda selanjutnya adalah bersiap menuju sekolah. Sekolah
berjalan sampai jam 12.00 siang. Istirahat sebentar, jam 14.00 sampai 15.30 ada
pengajian kitab kuning. Shalat ashar, lalu mengaji sampai pukul 17.00. Usai
shalat magrib mengaji lagi sekitar 30 menit. Begitu juga usai shalat tarawih.
Membaca jejeran aktivitas ini rasanya sudah capek. Panjang
dan berderet. Tetapi kami yang menjalaninya saat itu asyik-asyik saja. Meskipun
tidak jarang kami terkantuk-kantuk—bahkan tertidur—di sela-sela aktivitas yang
padat merayap itu, semuanya berjalan dengan indah dan penuh kenangan.
Ketiga, Ramadhan ketika menjadi mahasiswa sampai menjelang menikah.
Inilah Ramadhan yang betul-betul mandiri. Penuh perjuangan. Banyak hal yang
juga sama-sama tidak terlupakan. Substansi periode ini adalah bagaimana menata
dan menjalani hidup agar bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Keempat, Ramadhan era berkeluarga. Ini berjalan sejak saya menikah
pada tahun 2003 sampai sekarang. Ya, berarti sudah 15 tahun. Selama ini, saya
menghabiskan Ramadhan dengan bekerja dan menikmati waktu kebersamaan pada sore
hari di rumah. Meskipun tidak selalu sore hari bisa pulang, tetapi rumah adalah
tempat melabuhkan segenap kerinduan terhadap kebersamaan.
Bagaimana saya mengisi Ramadhan sekarang ini? Sungguh ini
sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Sejujurnya saya merindukan
suasana Ramadhan yang penuh kegiatan seperti saat saya masih mondok dulu. Bisa
mencurahkan segenap waktu untuk terus beribadah dan belajar. Tetapi itu jelas
mustahil. Sekarang saya harus membangun kesadaran tentang waktu. Ya, saya mesti
menyadari bahwa keadaan yang semacam itu tidak mungkin terulang kembali.
Kesadaran ini penting untuk memaknai konsep waktu berkaitan
dengan Ramadhan. Substansi Ramadhan itu tetap, hanya konteks ruang dan waktunya
yang terus berubah. Tidak mungkin berharap mendapatkan Ramadhan yang sama di
setiap masa. Segalanya berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Jika kita mau membaca buku-buku yang berisi riset
antropologi berkaitan dengan Ramadhan akan kita dapatkan informasi yang sangat
beragam tentang bagaimana umat Islam menjalani Ramadhan. Ada ajaran agama, ada
ekspresi kultural, dan ada berbagai dimensi kehidupan. Semuanya menuju kepada
konteks keberislaman dalam maknanya yang luas.
Aspek yang sesungguhnya jauh lebih substansial adalah
bagaimana membangun kesadaran tentang puasa dan implikasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Puasa Ramadhan dengan segenap hikmahnya telah menjadi bagian dari
dakwah di berbagai bidang kehidupan. Di televisi, kampung, kampus, dan berbagai
instansi sarat dengan nuansa Ramadhan yang religius. Setiap tahun terlihat
terjadi peningkatan dalam semarak keberislaman. Tentu fenomena ini harus disyukuri
dan diapresiasi.
Namun demikian semestinya juga dipertanyakan secara kritis
tentang realitas yang paradoks. Rajin puasa tetapi tetap tidak bisa mengelola
nafsu belanja, misalnya. Berpuasa tetapi saat berbuka tidak terkendali. Dan
berbagai fenomena lain yang sejenis.
Selain itu yang jauh lebih penting adalah apa efek puasa
terhadap kehidupan setelah puasa. Saya kira ini jauh lebih penting karena
berkaitan dengan pertanyaan yang sifatnya eksistensial. Puasa bukan sekadar
menahan diri di siang hari, tetapi juga bagaimana mengelola diri dalam maknanya
yang luas setelah puasa usai. Itulah saya konteks ruang dan waktu yang terus
tumbuh dan berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.