Oleh
Ngainun
Naim
Sekarang sudah tahun 2014. Saya sendiri tahu dan menyadarinya. Tetapi
sesungguhnya saya belum bisa adaptasi dengan kesadaran penuh bahwa sekarang ini
sudah ganti tahun. Bahkan soal bulan pun yang juga sudah ganti ternyata juga
belum saya sadari sepenuhnya.
Rasanya kok aneh. Tetapi itulah manusia. Saya menjadi sadar bahwa saya
memiliki banyak kekhilafan. Ingatan saya tidak kuat. Juga, kesadaran saya belum
mampu sepenuhnya adaptasi dengan perubahan. Mungkin butuh waktu untuk adaptasi
sepenuhnya.
Kenapa kok saya tiba-tiba menulis tentang persoalan ini? Sederhana. Sejak 1
Januari 2014 hingga sekarang saya sudah membuat sembilan buah catatan harian,
dan catatan ini adalah yang kesepuluh. Catatan-catatan tersebut kemudian saya
tampilkan di jejaring sosial, yaitu facebook, blog, dan twitter. Dari tulisan-tulisan
yang telah selesai, setelah saya cermati ternyata ada beberapa kesalahan
tentang identitas waktu.
Tulisan-tulisan yang saya buat di bagian akhir biasanya saya beri penanda
waktu pembuatannya. Ternyata, dari sembilan tulisan yang saya buat, beberapa
mengalami kesalahan waktu. Ada yang salah tahun, di mana seharusnya 2014
ternyata tertulis 2013. Kesalahan ada yang di bulan yang seharusnya Januari
ternyata tertulis Desember.
Begitulah, ternyata saya mengalami kesulitan dalam adaptasi waktu. Adanya
kesalahan penanda waktu menunjukkan bahwa waktu sesungguhnya bukan persoalan
sederhana, setidaknya buat saya.
Saya kemudian teringat bahwa dalam kajian filsafat dan tasawuf, waktu
menjadi bidang bahasan yang cukup rumit dan mendalam. Salah seorang ilmuwan
yang membahas tentang konsep waktu ini adalah Gerhard Bowering. Melalui
bukunya, Bowering mengkaji secara cukup luas tentang perdebatan waktu.
Tulisan ini tidak akan membahas pemikiran Bowering yang ilmiah dan rumit.
Saya hanya akan mengambil satu bagian kecil saja dari tulisan Bowering, Seri Pengantar Tasawuf: Sufisme Persia dan
Gagasan tentang Waktu, terj. Gafna Raizha Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003), yang menarik untuk dikutip. Ia menulis:
”Waktu menggelincirkan dan mengikis kesadaran kita terus-menerus. Waktu
memaksa kita merasa bahwa masa kini adalah nyata, sedangkan masa lalu dan masa
depan tidaklah nyata. Masa silam telah tidak ada dan masa depan belumlah
datang. Maka sekali lagi, di sini dan sekarang ini, kita mengamati sesuatu di
balik yang lain dan mengalami sebuah peristiwa demi peristiwa. Kita harus
menerima pergolakan waktu dari masa silam ke masa depan yang mengalir melalui
’masa sekarang’ yang elusif. Meskipun mampu mempengaruhi masa depan, kita tidak
dapat mengubah masa silam. Kita tidak pernah memiliki kekuatan untuk menangkap
keberhadirannya dalam sekejap ataupun memiliki keahlian untuk memerangkap
durasinya dengan merengkuh keabadian”.
Bagi saya, kalimat yang ada di halaman 4 dan 5 dari buku Bowering tersebut
mewakili perspektif tentang waktu yang selama ini dialami manusia. Waktu, jika
dipikir secara cermat, bersifat abadi. Hanya karena kreativitas manusia saja
maka waktu diubah menjadi tanda berdasar detik, menit, jam, hari, bulan, tahun,
dan seterusnya. Pergantian inilah yang kadang tidak mudah untuk diadaptasi.
Jadi, inti tulisan saya ini adalah saya salah menulis bulan dan tahun. Itu
saja. Tetapi biar agak ilmiah, saya buatkah berbagai alasan he he he.
Trenggalek, 9-10 Januari 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.