Oleh Ngainun
Naim
Usianya saya yakin
sudah di atas 60 tahun. Rambutnya sudah memutih semua. Tetapi terlihat fisiknya
masih tegap. Cara jalannya kelihatan kalau dia orang optimis. Senyum senantiasa
menghiasi bibirnya.
Saya tidak tahu
namanya. Juga tidak tahu di mana rumahnya. Secara personal, saya juga tidak
mengenal beliau. Yang saya tahu, dia mangkal di sebuah perempatan dekat kantor
tempat saya bekerja.
Sudah tidak
terhitung berapa kali saya melihat beliau. Nyaris setiap lewat perempatan itu,
beliaunya ada di sana. Kadang sedang duduk di becaknya. Kadang sedang jalan.
Kadang juga sedang berbincang dengan beberapa orang yang lainnya. Kalaupun
tidak ada, mungkin saja beliau mengantar penumpang atau sedang istirahat.
Tukang becak itu
berbeda dengan tukang becak yang lainnya. Saya tidak bermaksud membuat
generalisasi terhadap tukang becak. Hanya saja, saya menemukan beberapa hal
lain yang membuat saya memiliki perhatian terhadap beliau.
Pertama, sikap
beliau yang terlihat optimis. Wajahnya dihiasi senyum, langkahnya tegap, dan
terlihat bersih. Pakaian yang beliau kenakan memang sederhana, tetapi terlihat
bersih dan cukup rapi.
Kedua, sepanjang
yang saya tahu, beliau tidak merokok. Entah berapa puluh atau ratus kali saya
melihat beliau, dan saya tidak pernah sekalipun melihat beliau merokok. Saya
menduga, beliau memang bukan seorang perokok.
Ketiga, jiwa
sosial yang tinggi. Mungkin saya melihatnya dari sudut pandang yang tidak utuh.
Tetapi beberapa kali lewat, saya melihat bahwa beliau memang memiliki jiwa
sosial yang tinggi kepada sesama. Misalnya, beberapa kali saya lihat beliau
membantu orang untuk menyeberang jalan. Juga beberapa kali mengingatkan
pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu. Dan beberapa perilaku lain yang
menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.
Betapa indahnya
hidup ini jika semakin banyak orang yang memiliki jiwa sosial semacam itu. Jiwa
sosial yang sederhana sekali pun merupakan hal penting yang selayaknya
ditumbuhkembangkan. Saya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti dari
tukang becak tersebut. Saya ingin menirunya, tentu sesuai dengan konteks hidup
saya sendiri. Minimal ya melalui tulisan semacam ini.
Tulungagung, 9 Januari 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.