Oleh Ngainun Naim
Kemuliaan itu selalu menjadi pesona. Ia akan dicari, dikagumi, dihormati,
tetapi sulit ditiru. Tetapi bagi yang merasa ’ke-aku-annya’ terganggu, pesona
kemuliaan itu akan dikritik, bahkan mungkin saja ditolak. Walaupun sangat
mungkin di dalam hatinya ia mengakui hal itu, tetapi ia tidak mau atau tidak
mampu menjalankannya. Egonya tidak mau mengakui terhadap sesuatu yang ia tidak
mampu menjalankannya. Jadinya, mengkritik sesungguhnya merupakan sarana untuk
menutupi ketidakmampuannya untuk meniru kemuliaan itu.
Sederhana itu juga mulia. Hidup sederhana, misalnya. Orang yang hidup
sederhana akan terlihat memiliki daya tarik dibandingkan mereka yang bergaya
hidup wah. Tetapi hidup sederhana memang lebih mudah diucapkan daripada
dijalankan. Banyak orang yang menganjurkan untuk hidup sederhana, tetapi ia
sendiri tidak menjalankannya. Karena itu, saya harus meminta maaf jika tulisan
saya berbicara tentang sederhana, tetapi menurut Anda saya bergaya hidup tidak
sederhana. Sejauh ini, saya merasa masih dalam kategori sederhana. Setidaknya
itu perasaan saya. Jika ada yang menilai saya sudah bergaya hidup mewah, mohon
saya dimaafkan dan diingatkan.
Mengapa saya menulis tema ini? Tentu ada banyak alasannya. Salah satunya
adalah sebagai sarana koreksi diri. Saya ingin hidup saya diliputi dengan
sifat-sifat mulia. Salah satunya adalah sifat sederhana. Tetapi saya sadar
sepenuhnya, godaannya sangat berat. Persoalannya sebenarnya bukan pada tahu
atau tidak tahu, tetapi pada bagaimana sifat-sifat mulia selalu hadir dalam
segenap sisi hidup. Inilah yang sangat sulit. Melalui tulisan, saya
mengingatkan diri saya agar selalu lekat dengan sifat-sifat mulia, termasuk
tetap menjadi manusia dengan segala kesederhanaan yang ada.
Di tengah arus pragmatisme dan hedonisme, ada kerinduan yang besar di
kalangan masyarakat terhadap kesederhana. Fenomena Gubernur DKI Jokowi yang
banyak menjadi perhatian publik saya kira disebabkan—salah satunya—karena
kesederhanaan beliau. Hal yang sama juga terjadi pada Walikota Surabaya, Risma.
Berita, tulisan, artikel, dan opini mengenai mereka berdua sebagian besar
berkaitan dengan kesederhanaannya. Jadi, sederhana itu mempesona. Karena itu,
hidup sederhana seyogyanya dikampanyekan dalam perilaku, bukan sekadar retorika.
Tulungagung, 13
Januari 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.