Oleh Ngainun Naim
Judul tulisan ini mungkin kesannya kurang enak. Mohon maaf jika ada yang
kurang berkenan. Ide dasarnya berasal dari pengalaman personal saya sebagai
pengguna bus.
Kalau tidak salah ingat saya mulai sering naik bis pada tahun 1991. Saat
itu saya sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jombang. Jaraknya dari rumah
saya sekitar 80 kilometer. Setiap liburan saya pulang dan menggunakan jasa bus.
Kuliah di IAIN Surabaya menjadikan saya kembali berakrab ria dengan bus.
Kondisi ini terus berulang pada tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga sekarang
ini. Karena itu, saya harus berterima kasih kepada berbagai bus yang telah
mengantarkan saya ke berbagai tujuan.
Naik bis yang nyaman tentu menjadi harapan. Tetapi sebagai penumpang saya
relatif tidak punya banyak pilihan. Pokoknya bis datang ya naik. Kecuali bus
penuh sesak. Saya paling males jika harus berdesak-desakan, apalagi harus
berdiri, kecuali TERPAKSA. Dan anehnya, terpaksanya cukup sering….
Sebagai pengguna bus ekonomi, fenomena yang tidak bisa dihindari adalah kehadiran
pengamen. Saya membangun prinsip pribadi bahwa setiap ada yang mengamen, harus
saya beri, sekecil apa pun. Tujuannya banyak, salah satunya sebagai sarana
mencari keberkahan rejeki yang saya cari dan miliki. Melalui berbagi ke
pengamen, saya berharap ada kebaikan yang saya terima.
Tetapi sebagai manusia, saya kerap juga dibuat jengkel oleh teman-teman
pengamen. Ada beberapa sebab kejengkelan ini. Pertama, si pengamen tidak sopan.
Kata-kata dan sikap yang tidak sopan kerap membuat saya berpikir untuk memberi.
Pada akhirnya saya memang memberi, tetapi kejengkelan juga tidak pergi dari
hati.
Kedua, si pengamen mabuk. Ini pernah saya temui di sebuah perjalanan.
Sipengamen menyanyi ’sempoyongan’. Kelihatan sekali kondisinya belum sepenuhnya
normal. Syair yang dilantunkan sama sekali tidak enak. Bahkan sering ngawur.
Belum lagi saat dia keliling meminta sumbangan, bau minuman keras begitu
menusuk hidung. Benar-benar tidak nyaman.
Ketiga, pengamennya keroyokan. Maksudnya begini. Dalam satu waktu ada
beberapa kelompok atau individu pengamen yang mengamen berurutan tanpa jeda.
Satu selesai di sambung yang lainnya. Saya pernah menemukan lima kelompok
pengamen yg sambung menyambung tanpa putus. Menjengkelkan, tapi tetap saya
sumbang.
Saya sesungguhnya suka musik walaupun suara saya tidak memenuhi persyaratan
untuk didengar. Lebih baik tidak menyanyi, kata teman saya. Karena itu kalau
ada pengamen yang suaranya bagus, penampilan rapi, tidak terus-menerus
dibombardir kelompok pengamen, saya pun bisa menikmati dan menyukai. Menyumbang
pun tanpa beban. Tapi jika menjengkelkan, baru lihat mukanya saja sudah males.
Tapi saya sadar bahwa naik bis itu harus berdamai dengam keadaan, termasuk
berjumpa dengan kelompok pengamen. Jadi, cara terbaiknya adalah (berusaha)
menikmati apa pun dan bagaimana pun kondisinya. Dengan begitu semoga hidup
terasa indah. Amin.
Trenggalek, 14 Januari 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.