Jumat, 17 Mei 2019

Shalatmu Potret Hidupmu


Ngainun Naim


Saya sedang membaca sebuah buku karya seorang sahabat, Muhammad Bajri. Judul buku tersebut adalah Transformasi Ibadah Ritual dalam Kehidupan Sosial (Jakarta: Quanta, 2018). Baru masuk di bagian kata pengantar yang ditulis oleh Muflih H. Hart, saya terhenti. Kata pengantar yang ditulis sungguh menyentak kesadaran saya. Uraiannya membuat saya harus merenungkan ulang tentang keberislaman saya.
Salah bagian yang menyentak adalah paparannya tentang shalat. Kata Muflih, kualitas shalat—juga kualitas rukun Islam lainnya—merupakan cermin kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Shalat menjadi parameter apakah kualitas hidup seseorang. Orang yang mengabaikan kewajiban shalat, kata Muflih, sesungguhnya juga tidak peduli dengan prinsip-prinsip lain dalam hidup. Orang yang shalatnya khusyuk maka demikian juga dengan kehidupannya. Orang yang lalai dengan shalatnya, kehidupannya juga ia lalaikan. Shalat yang asal-asalan adalah cermin kehidupan yang juga asal-asalan.
Gerakan shalat juga mencerminkan perilaku hidup sehari-hari. Jika hidupnya sehari-hari selalu terburu-buru, tidak sabaran, mudah marah maka shalatnya biasanya juga cepat, ngebut, dan selalu terburu-buru. Bagi yang memposisikan shalat sebagai bagian penting dalam hidup maka orang tersebut juga mementingkan kehidupannya. Orang yang menganggap shalat tidak penting maka anggapan yang sama juga terjadi dalam kehidupannya.
Setelah membaca tulisan Muflih H. Hart, pikiran saya melayang kepada banyak hal dalam kehidupan. Salah satunya dalam berlalu lintas. Nyaris setiap hari saya menyusuri jalanan sepanjang 30 kilo di pagi hari dan 30 kilo di sore hari. Pulang pergi dari rumah di Kabupaten Trenggalek menuju kampus IAIN Tulungagung. Ada begitu banyak lampu lintas yang harus saya lewati sepanjang perjalanan.
Pagi hari saat berangkat ke kantor adalah saat jam sibuk. Jam di mana nyaris semua orang berjuang menuju ke tempat bekerja atau menempuh pendidikan. Jadi jalanan rasanya dipenuhi oleh orang-orang yang terburu-buru. Saya kok nyaris tidak melihat orang yang berkendara secara santai.
Keterburuan ini semakin menemukan pembenarannya saat berhenti di lampu merah. Saya berkali-kali—atau bahkan setiap hari—mengalami bagaimana ketidaksabaran benar-benar mewujud dalam perilaku. Jika lampu sudah mulai hijau, belum sampai tiga detik sudah penuh dengan bunyi klakson. Padahal saya yakin mereka yang ada di lokasi tahu bahwa lampu sudah hijau. Tetapi tetap saja klakson nyaring terdengar.
Fenomena ini, menurut saya, menunjukkan ketidaksabaran. Maunya cepat. Tidak mau terjebak kembali di lampu merah karena akan menambah panjang dan lama waktu ke tempat tujuan. Kembali kepada tulisan Muflih H. Hart, apa yang saya ceritakan menarik dianalisis dengan tulisan beliau. Jangan-jangan mereka yang serba terburu-buru itu shalatnya juga terburu-buru. Mereka tidak sabar dan emosional. Gampang sekali marah. Sedikit saja ada pemicu, emosi meledak.
Pada berbagai bidang kehidupan yang lainnya, fenomena sejenis juga terjadi. Keterburu-buruan melanda pada hampir semua bidang kehidupan. Korupsi yang kini semakin merajalela juga menunjukkan hal yang sejenis. Padahal, banyak di antara para koruptor itu orang berpendidikan dan memiliki latar belakang agama yang memadai. Jika memakai teori Muflih H. Hart, perilaku mereka mencerminkan shalat mereka.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya yang monumental, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2 (2005: 126) menjelaskan bahwa siapa saja yang memiliki hubungan baik dengan Allah dan memelihara agamanya maka relasi dengan manusia akan baik pula. Hal ini disebabkan karena ajaran agama memerintahkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Sebaliknya, siapa saja yang tidak memelihara agamanya, bahkan hubungannya buruk dengan Allah, berbohong atas nama-Nya, atau menyembunyikan apa yang diperintahkan-Nya untuk disampaikan pastilah hubungannya dengan manusia lebih buruk lagi.
Penjelasan ini sesungguhnya menegaskan adanya relasi antara ibadah yang kita lakukan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Shalat merupakan ibadah ritual yang tidak berdiri sendiri. Shalat yang substansial adalah shalat yang bisa memberikan inspirasi dan transformasi positif kepada orang yang melakukannya. Gerakan-gerakan shalat seharusnya menghadirkan nilai-nilai substansial transformatif dalam kehidupan sosial.


Tulungagung, 17 Desember 2018

3 komentar:

  1. Ngaji ati..
    Cocok buat referensi pak..
    Alhamdulillah mengena sekali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanya tulisan sederhana. Terima kasih berkenan membaca dan berkomentar. Semoga bermanfaat.

      Hapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.