Minggu, 02 Juni 2019

Ramadhan dan Interpretasi Waktu


Oleh Ngainun Naim
Bersama Dr. Ismail Yahya. Gambar tidak ada hubungannya dengan isi tulisan.


Inilah bulan yang selalu ditunggu oleh umat Islam seluruh dunia. Bulan yang di dalamnya penuh dengan keberkahan. Spirit ibadah dan berbagai aktualisasi keberislaman terpancar kuat di berbagai bidang kehidupan.
Ramadhan sendiri sesungguhnya tidak berubah. Cara pandang dan interpretasi kita saja yang terus berkembang. Maka, membahas Ramadhan dalam konteks dulu dan sekarang sesungguhnya membincang sesuatu yang dinamis.
Setiap ruang dan waktu memiliki karakteristik khas berkaitan dengan Ramadhan. Ada yang unik, dirindukan, dan belum tentu terulang di masa yang akan datang. Wajar jika Ramadhan selalu meninggalkan kenangan mendalam yang tidak terlupakan.
Bagi saya, interpretasi waktu berkaitan dengan Ramadhan ini bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Ramadhan dalam kenangan masa kecil. Inilah Ramadhan yang menurut saya paling indah dalam hidup. Bulan yang begitu dinantikan. Kehadirannya disambut dengan sangat antusias.
Dulu, di desa saya, menjelang Ramadhan selalu ditandai dengan banyak ritual khas. Satu yang saya ingat adalah bunyi beduk bertalu-talu sepanjang hari sebelum memasuki bulan suci. Kami yang masih anak-anak menikmati momentum ini dengan penuh kebahagiaan. Beberapa dari kami berkontribusi memukul bedug saat kakak-kakak sudah kelelahan. Tentu saja, gebukannya tidak sekuat kakak-kakak.
Kini, saya sudah tidak menemukan lagi tradisi itu. Entahlah, ke mana perginya. Pada saat semacam ini, kerinduan dalam menyambut Ramadhan acap muncul kembali, meskipun jelas waktu tidak bisa berputar kembali.
Kedua, Ramadhan ketika di pesantren. Ya, inilah Ramadhan dalam spirit ibadah-belajar yang tidak akan terlupakan sepanjang usia. Siang malam berisi aktivitas yang padat merayap. Jam 03.00 harus bangun untuk shalat malam dan sahur. Terlambat sedikit berarti kehilangan kesempatan sahur secara memuaskan karena ratusan santri lain sudah merayap di dekat dapur pondok. Usai sahur dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah. Lalu mengaji kitab kuning sampai pukul 06.00.
Agenda selanjutnya adalah bersiap menuju sekolah. Sekolah berjalan sampai jam 12.00 siang. Istirahat sebentar, jam 14.00 sampai 15.30 ada pengajian kitab kuning. Shalat ashar, lalu mengaji sampai pukul 17.00. Usai shalat magrib mengaji lagi sekitar 30 menit. Begitu juga usai shalat tarawih.
Membaca jejeran aktivitas ini rasanya sudah capek. Panjang dan berderet. Tetapi kami yang menjalaninya saat itu asyik-asyik saja. Meskipun tidak jarang kami terkantuk-kantuk—bahkan tertidur—di sela-sela aktivitas yang padat merayap itu, semuanya berjalan dengan indah dan penuh kenangan.
Ketiga, Ramadhan ketika menjadi mahasiswa sampai menjelang menikah. Inilah Ramadhan yang betul-betul mandiri. Penuh perjuangan. Banyak hal yang juga sama-sama tidak terlupakan. Substansi periode ini adalah bagaimana menata dan menjalani hidup agar bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Keempat, Ramadhan era berkeluarga. Ini berjalan sejak saya menikah pada tahun 2003 sampai sekarang. Ya, berarti sudah 15 tahun. Selama ini, saya menghabiskan Ramadhan dengan bekerja dan menikmati waktu kebersamaan pada sore hari di rumah. Meskipun tidak selalu sore hari bisa pulang, tetapi rumah adalah tempat melabuhkan segenap kerinduan terhadap kebersamaan.
Bagaimana saya mengisi Ramadhan sekarang ini? Sungguh ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Sejujurnya saya merindukan suasana Ramadhan yang penuh kegiatan seperti saat saya masih mondok dulu. Bisa mencurahkan segenap waktu untuk terus beribadah dan belajar. Tetapi itu jelas mustahil. Sekarang saya harus membangun kesadaran tentang waktu. Ya, saya mesti menyadari bahwa keadaan yang semacam itu tidak mungkin terulang kembali.
Kesadaran ini penting untuk memaknai konsep waktu berkaitan dengan Ramadhan. Substansi Ramadhan itu tetap, hanya konteks ruang dan waktunya yang terus berubah. Tidak mungkin berharap mendapatkan Ramadhan yang sama di setiap masa. Segalanya berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Jika kita mau membaca buku-buku yang berisi riset antropologi berkaitan dengan Ramadhan akan kita dapatkan informasi yang sangat beragam tentang bagaimana umat Islam menjalani Ramadhan. Ada ajaran agama, ada ekspresi kultural, dan ada berbagai dimensi kehidupan. Semuanya menuju kepada konteks keberislaman dalam maknanya yang luas.
Aspek yang sesungguhnya jauh lebih substansial adalah bagaimana membangun kesadaran tentang puasa dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Puasa Ramadhan dengan segenap hikmahnya telah menjadi bagian dari dakwah di berbagai bidang kehidupan. Di televisi, kampung, kampus, dan berbagai instansi sarat dengan nuansa Ramadhan yang religius. Setiap tahun terlihat terjadi peningkatan dalam semarak keberislaman. Tentu fenomena ini harus disyukuri dan diapresiasi.
Namun demikian semestinya juga dipertanyakan secara kritis tentang realitas yang paradoks. Rajin puasa tetapi tetap tidak bisa mengelola nafsu belanja, misalnya. Berpuasa tetapi saat berbuka tidak terkendali. Dan berbagai fenomena lain yang sejenis.
Selain itu yang jauh lebih penting adalah apa efek puasa terhadap kehidupan setelah puasa. Saya kira ini jauh lebih penting karena berkaitan dengan pertanyaan yang sifatnya eksistensial. Puasa bukan sekadar menahan diri di siang hari, tetapi juga bagaimana mengelola diri dalam maknanya yang luas setelah puasa usai. Itulah saya konteks ruang dan waktu yang terus tumbuh dan berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.