Selasa, 06 Januari 2015

Spiritualitas Kerja



Oleh Ngainun Naim
Aku bersama Cak Wot

Jarum jam sudah menunjukkan angka 12.20. Mobil yang mengantarkan kami berempat—saya, Muhibur Rohman, Saiful Mustofa, dan Habib—pulang dari Yogyakarta baru saja menembus Kota Wonogiri, Jawa Tengah. Pikiranku mulai mencari-cari tempat makan siang yang layak. Wajar saja karena saat itu memang waktunya makan siang. Jujur aku tidak memiliki referensi rumah makan di sepanjang perjalanan Wonogiri menuju Ponorogo. Saat sedang berpikir itulah tiba-tiba Aku teringat Cak Wot. Nama lengkapnya Sunarwoto. Beliau adalah senior yang banyak berjasa mengajariku menulis. Aku pernah membaca statusnya di FB kalau beliau sekarang membuka rumah makan di Ponorogo.
Segera saja Aku mencari nomor telponnya. Alhamdulillah, nomornya ada di memori. Memang, sekitar setahun yang lalu beliau menelpon Aku untuk kepentingan penerbitan buku. Jadi, nomornya masih ada di dalam HP.
Aku SMS Cak Wot. Selang beberapa saat beliau menjawab. "Lombok Abang, Jl Brigjen Katamso No 7 atau utara perempatan pasar pon, dekat masjid jamik masjid tua di Ponorogo". Ya, itu adalah alamat rumah makan yang beliau dirikan setahun lalu. Beliau mempersilahkan Aku mencoba bisnis kulinernya.
Tentu saja, Aku mengiyakan. Sepanjang perjalanan kami terus saling SMS. Sekitar sejam lebih sedikit Aku sampai Lombok Abang. Warungnya penuh sesak oleh pengunjung. Warung itu sesungguhnya tidak seberapa besar, tetapi pengunjungnya cukup ramai. Aku bersyukur bisnis Cak Wot lancar. Kulihat ada meja kosong di pojok. Pas untuk kami berempat. Setelah duduk kami pun menulis menu yang dipesan.
Tidak berselang lama, Cak Wot keluar. Bahagia tak terkira rasanya. Bos Lombok Abang, Bos Warung Cak Wot di Matahari Kediri, Cak Wot di Batu, Sengkaling, Matos dan Madiun ini tetap bersahaja. Beliau tetap ramah dan tidak banyak yang berubah, walaupun kini sudah sukses. Setelah berpelukan karena puluhan tahun tidak bertemu, mantan Wartawan Republika dan kini Wartawan Media Indonesia itu mengajak kami berbincang tentang banyak hal.
Karena lama sekali tidak bertemu, kami pun bercerita tentang pengalaman di masa lalu di mana kami bertemu dan berinteraksi. Tahun 1995-an adalah tahun yang penuh dengan represi rezim Orde Baru. Segala sesuatu berada dalam kontrol negara. Saya merasakan betapa saat itu ruang ekspresi begitu dibatasi.
Pada ruang sosial semacam itulah Cak Wot hadir. Ia merupakan wartawan muda (kala itu) dari sebuah media yang sedang berjaya, yaitu Republika. Idealismenya sangat kokoh. Sejauh yang Aku tahu, ia menolak suap atau gratifikasi. Saya tahu bagaimana ia bekerja dan mempertahankan idealismenya. Baginya, rejeki harus diperoleh dengan keringat sendiri, walaupun konsekuensinya kehidupan keluarganya ”kurang makmur’. Tetapi demi idealisme, Cak Wot gigih memegang prinsip hidup.
Hadirnya Cak Wot dan Mas Teguh Budi Utomo (Wartawan Surya) memberikan keuntungan besar buatku. Bukan hanya keuntungan persahabatan, tetapi juga keuntungan pembelajaran.
Melalui kedua wartawan itu, Aku sering menimba ilmu. Saat itu Aku sedang belajar menulis artikel untuk media massa. Sebagai orang yang baru belajar, membuat artikel itu sulitnya minta ampun. Berkali-kali Aku mengalami kegagalan. Tetapi syukurlah, kedua wartawan tersebut sering memberikan motivasi kepadaku. Dalam perbincangan santai di warung kopi misalnya, mereka berdua menyuntikkan semangat kepenulisan.
Artikel yang ktulis sering Aku konsultasikan. Tentu saja, kritik demi kritik mereka berikan. Bahkan tidak jarang kritiknya sangat tajam. Rasanya tidak ada bagian artikelku yang tidak dikritik, mulai judul, lead, isi, argumentasi, kesimpulan, bahasa, dan seterusnya. Tetapi justru dari situlah Aku mendapatkan banyak pembelajaran menulis.
Hasil budi baik mereka berdua benar-benar Aku rasakan sekarang ini. Jika kini Aku memiliki tradisi menulis maka nama Cak Wot dan Mas Teguh Budi Utomo ada di dalamnya. Kontribusi mereka sungguh besar. Aku tidak akan melupakan jasa besar kedua tokoh tersebut.
Zaman sudah berubah. Kami pun berpisah. Cak Wot berpindah-pindah tugas, mulai Surabaya, Madiun, Jakarta dan kini kembali ke Madiun. Sementara Mas Teguh kembali ke kampung halamannya di Tuban. Sementara Aku menekuni hobi menulis, mengajar dan menikmati perjalanan pulang pergi Trenggalek Tulungagung setiap hari. Pada saat tertentu, Aku merindukan bertemu dengan tokoh-tokoh yang berjasa dalam hidupku. Aku telah bertemu Cak Wot. Tetapi dengan Mas Teguh Aku belum bertemu sama sekali. Aku berharap bisa bertemu dan mengucapkan terima kasih atas semua jasanya.
Cak Wot sekarang tampaknya telah mengalami transformasi luar biasa. Bahkan—sebagai diakuinya—dia sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya. Transformasi tersebut mencakup aspek material dan spiritual.
Aspek material terwujud pada bagaimana ia kini melebarkan sayap rezekinya. Dulu ia hanya menekuni kerja sebagai wartawan. Profesi itu tetap dijalani sampai sekarang, tetapi ia juga berbisnis. Dan bisnisnya tidak main-main, mulai rumah makan, travel, hingga bimbingan umroh dan haji. Semua usaha itu membuatnya mengalami transformasi hidup yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kini Aku yakin Cak Wot jauh lebih sejahtera dibandingkan 20 tahun lalu saat kami bertemu.
Sementara transformasi spiritual diwujudkan sebagai basis aktivitasnya sehari-hari. Ia menekankan dimensi spiritual itu tidak hanya pada diri sendiri melainkan juga pada semua karyawannya. Ia menekankan ibadah kepada semu karyawannya. 'Ibadah adalah kunci berkah', paparnya.
Ibadah itu juga terwujud pada bagaimana memberikan pelayanan prima kepada pelanggannya di semua jenis usaha. Ia tidak ingin orang kecewa sebab kekecewaan bisa membuat doa buruk dari yang dikecewakan. Karena ia berpikir menjalani usahanya dalam jangka panjang.
Ada pemikiran Cak Wot yang membuat Aku merenung cukup lama, yakni rezeki itu dimulai dari sedekah. Cak Wot bercerita bahwa sedekah adalah salah satu kunci suksesnya. Ia selalu berusaha menyisihkan hartanya untuk sedekah agar hidupnya kian berkah.
Aku mendapatkan banyak hal dari perbincangan selama 2 jam di Rumah Makan Lombok Abang Ponorogo tersebut. Aku merasa tertohok betapa ilmu yang dipraktikkan itu bisa memberikan berkah nyata dalam hidup. Semoga beliau sukses selalu. Terima kasih Cak Wot suguhan ilmu dan menunya. Mak Nyus.
Parakan Trenggalek, 4-1-2015

Ngainun Naim

2 komentar:

  1. Beribadah tidak hanya sendiri. Bahagia tidak hanya sendiri. Tapi juga mengajak para karyawan. Alhamdulillaah... Seneng saya membacanya, Kangmas :)

    BalasHapus
  2. Betul Kang Azzet. Terima kasih banyak berkenan berkunjung dan memberikan komentar. Salam.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.