Oleh Ngainun Naim
Jarum jam sudah menunjukkan angka 12.20. Mobil yang
mengantarkan kami berempat—saya, Muhibur Rohman, Saiful Mustofa, dan Habib—pulang
dari Yogyakarta baru saja menembus Kota Wonogiri, Jawa Tengah. Pikiranku mulai
mencari-cari tempat makan siang yang layak. Wajar saja karena saat itu memang
waktunya makan siang. Jujur aku tidak memiliki referensi rumah makan di
sepanjang perjalanan Wonogiri menuju Ponorogo. Saat sedang berpikir itulah tiba-tiba
Aku teringat Cak Wot. Nama lengkapnya Sunarwoto. Beliau adalah senior yang
banyak berjasa mengajariku menulis. Aku pernah membaca statusnya di FB kalau
beliau sekarang membuka rumah makan di Ponorogo.
Segera saja Aku mencari nomor telponnya. Alhamdulillah,
nomornya ada di memori. Memang, sekitar setahun yang lalu beliau menelpon Aku untuk
kepentingan penerbitan buku. Jadi, nomornya masih ada di dalam HP.
Aku SMS Cak Wot. Selang beberapa saat beliau menjawab.
"Lombok Abang, Jl Brigjen Katamso No 7 atau utara perempatan pasar pon,
dekat masjid jamik masjid tua di Ponorogo". Ya, itu adalah alamat rumah
makan yang beliau dirikan setahun lalu. Beliau mempersilahkan Aku mencoba
bisnis kulinernya.
Tentu saja, Aku mengiyakan. Sepanjang perjalanan kami
terus saling SMS. Sekitar sejam lebih sedikit Aku sampai Lombok Abang. Warungnya
penuh sesak oleh pengunjung. Warung itu sesungguhnya tidak seberapa besar, tetapi
pengunjungnya cukup ramai. Aku bersyukur bisnis Cak Wot lancar. Kulihat ada
meja kosong di pojok. Pas untuk kami berempat. Setelah duduk kami pun menulis
menu yang dipesan.
Tidak berselang lama, Cak Wot keluar. Bahagia tak terkira
rasanya. Bos Lombok Abang, Bos Warung Cak Wot di Matahari Kediri, Cak Wot di
Batu, Sengkaling, Matos dan Madiun ini tetap bersahaja. Beliau tetap ramah dan
tidak banyak yang berubah, walaupun kini sudah sukses. Setelah berpelukan
karena puluhan tahun tidak bertemu, mantan Wartawan Republika dan kini Wartawan
Media Indonesia itu mengajak kami berbincang tentang banyak hal.
Karena lama sekali tidak bertemu, kami pun bercerita
tentang pengalaman di masa lalu di mana kami bertemu dan berinteraksi. Tahun
1995-an adalah tahun yang penuh dengan represi rezim Orde Baru. Segala sesuatu
berada dalam kontrol negara. Saya merasakan betapa saat itu ruang ekspresi
begitu dibatasi.
Pada ruang sosial semacam itulah Cak Wot hadir. Ia merupakan
wartawan muda (kala itu) dari sebuah media yang sedang berjaya, yaitu
Republika. Idealismenya sangat kokoh. Sejauh yang Aku tahu, ia menolak suap
atau gratifikasi. Saya tahu bagaimana ia bekerja dan mempertahankan
idealismenya. Baginya, rejeki harus diperoleh dengan keringat sendiri, walaupun
konsekuensinya kehidupan keluarganya ”kurang makmur’. Tetapi demi idealisme,
Cak Wot gigih memegang prinsip hidup.
Hadirnya Cak Wot dan Mas Teguh Budi Utomo (Wartawan
Surya) memberikan keuntungan besar buatku. Bukan hanya keuntungan persahabatan,
tetapi juga keuntungan pembelajaran.
Melalui kedua wartawan itu, Aku sering menimba ilmu. Saat
itu Aku sedang belajar menulis artikel untuk media massa. Sebagai orang yang
baru belajar, membuat artikel itu sulitnya minta ampun. Berkali-kali Aku
mengalami kegagalan. Tetapi syukurlah, kedua wartawan tersebut sering
memberikan motivasi kepadaku. Dalam perbincangan santai di warung kopi
misalnya, mereka berdua menyuntikkan semangat kepenulisan.
Artikel yang ktulis sering Aku konsultasikan. Tentu saja,
kritik demi kritik mereka berikan. Bahkan tidak jarang kritiknya sangat tajam.
Rasanya tidak ada bagian artikelku yang tidak dikritik, mulai judul, lead, isi,
argumentasi, kesimpulan, bahasa, dan seterusnya. Tetapi justru dari situlah Aku
mendapatkan banyak pembelajaran menulis.
Hasil budi baik mereka berdua benar-benar Aku rasakan
sekarang ini. Jika kini Aku memiliki tradisi menulis maka nama Cak Wot dan Mas
Teguh Budi Utomo ada di dalamnya. Kontribusi mereka sungguh besar. Aku tidak
akan melupakan jasa besar kedua tokoh tersebut.
Zaman sudah berubah. Kami pun berpisah. Cak Wot
berpindah-pindah tugas, mulai Surabaya, Madiun, Jakarta dan kini kembali ke
Madiun. Sementara Mas Teguh kembali ke kampung halamannya di Tuban. Sementara
Aku menekuni hobi menulis, mengajar dan menikmati perjalanan pulang pergi
Trenggalek Tulungagung setiap hari. Pada saat tertentu, Aku merindukan bertemu
dengan tokoh-tokoh yang berjasa dalam hidupku. Aku telah bertemu Cak Wot.
Tetapi dengan Mas Teguh Aku belum bertemu sama sekali. Aku berharap bisa
bertemu dan mengucapkan terima kasih atas semua jasanya.
Cak Wot sekarang tampaknya telah mengalami transformasi
luar biasa. Bahkan—sebagai diakuinya—dia sendiri tidak pernah membayangkan
sebelumnya. Transformasi tersebut mencakup aspek material dan spiritual.
Aspek material terwujud pada bagaimana ia kini melebarkan
sayap rezekinya. Dulu ia hanya menekuni kerja sebagai wartawan. Profesi itu
tetap dijalani sampai sekarang, tetapi ia juga berbisnis. Dan bisnisnya tidak
main-main, mulai rumah makan, travel, hingga bimbingan umroh dan haji. Semua
usaha itu membuatnya mengalami transformasi hidup yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Kini Aku yakin Cak Wot jauh lebih sejahtera dibandingkan 20 tahun
lalu saat kami bertemu.
Sementara transformasi spiritual diwujudkan sebagai basis
aktivitasnya sehari-hari. Ia menekankan dimensi spiritual itu tidak hanya pada
diri sendiri melainkan juga pada semua karyawannya. Ia menekankan ibadah kepada
semu karyawannya. 'Ibadah adalah kunci berkah', paparnya.
Ibadah itu juga terwujud pada bagaimana memberikan
pelayanan prima kepada pelanggannya di semua jenis usaha. Ia tidak ingin orang
kecewa sebab kekecewaan bisa membuat doa buruk dari yang dikecewakan. Karena ia
berpikir menjalani usahanya dalam jangka panjang.
Ada pemikiran Cak Wot yang membuat Aku merenung cukup
lama, yakni rezeki itu dimulai dari sedekah. Cak Wot bercerita bahwa sedekah
adalah salah satu kunci suksesnya. Ia selalu berusaha menyisihkan hartanya
untuk sedekah agar hidupnya kian berkah.
Aku mendapatkan banyak hal dari perbincangan selama 2 jam
di Rumah Makan Lombok Abang Ponorogo tersebut. Aku merasa tertohok betapa ilmu
yang dipraktikkan itu bisa memberikan berkah nyata dalam hidup. Semoga beliau
sukses selalu. Terima kasih Cak Wot suguhan ilmu dan menunya. Mak Nyus.
Parakan Trenggalek, 4-1-2015
Ngainun Naim
Beribadah tidak hanya sendiri. Bahagia tidak hanya sendiri. Tapi juga mengajak para karyawan. Alhamdulillaah... Seneng saya membacanya, Kangmas :)
BalasHapusBetul Kang Azzet. Terima kasih banyak berkenan berkunjung dan memberikan komentar. Salam.
BalasHapus