Rabu, 13 Agustus 2014

Ustadz dan Penjual Sabun



Oleh Ngainun Naim

Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah bacaan yang sudah tidak terlacak lagi. Jujur harus saya tulis kalau saya lupa dari buku apa saya membacanya. Lupa semuanyalah, baik judul, penulis, atau penerbitnya. Entahlah, saya tidak ingat sama sekali. Apa yang saya ingat hanyalah inti ceritanya saja. Karena itu, isi cerita di tulisan ini pun murni hanya berdasarkan ingatan yang saya kembangkan sesuai kepentingan alur cerita.
Saya terdorong untuk membagi cerita ini ke teman-teman sekalian dalam bentuk tulisan karena cerita ini tiba-tiba muncul dalam ingatan saat saya mengisi ceramah di Lembaga Pemasyarakatan Tulungagung pada selasa sore, 12 Agustus 2014. Ceritanya, hari selasa itu saya mendapatkan jadwal sebagai penceramah di Lembaga Pemasyarakatan Tulungagung. Kampus tempat saya mengabdi, yaitu IAIN Tulungagung, telah menjalin kerjasama dalam bentuk pembinaan bidang sosial keagamaan dan hukum. Walaupun sudah beberapa tahun, tetapi baru kali ini saya bisa mengisinya. Dulu juga sudah pernah ditawari, tetapi selalu saja ada penyebab untuk tidak bisa mengisinya. Tahun ini saya bertekad untuk bisa mengisinya sekaligus mengambil banyak pelajaran hidup di dalamnya. Alhamdulillah, keinginan tersebut bisa terwujud.
Topik yang saya sampaikan adalah ”Halal Bihalal”. Tentu saja, saya menyelipkan berbagai hikmah, cerita, dan humor supaya ceramah saya tidak kering. Saya sadar sepenuhnya ceramah saya tidak seperti para mubaligh yang enak dalam menuturkan pokok-pokok pikirannya. Beberapa teman bilang bahwa kalau saya ceramah tak ubahnya mengisi kuliah. Kering dan tidak mengalir. Tidak apa-apa karena memang bisanya seperti itu.
Oh ya, berkaitan dengan judul tulisan di atas, inti ceritanya adalah seorang ustadz yang terlibat diskusi dengan seorang penjual sabun. Penjual sabun merupakan orang sekuler, anti terhadap agama, dan selalu mencari sisi negatif agama. ”Agama itu tidak ada gunanya Pak Ustadz. Sudah ribuan tahun agama hadir di dunia ini, tetapi yang namanya kejahatan bukannya semakin berkurang tetapi justru semakin berkembang. Pelaku kejahatan bukan hanya orang awam, tetapi juga orang berpendidikan tinggi. Bahkan ada juga ahli agama yang melakukannya. Kalau kondisinya seperti itu berarti agama tidak ada gunanya”, sergah penjual sabun berapi-api. Ia terus membombardir ustadz dengan pernyataan yang memojokkan agama.
Ustadz diam saja. Ia tidak berkomentar sepatah kata pun. Ia mendengarkan dengan cermat dan menghargai celotehan si penjual sabun dengan sabar. Tampaknya sang ustadz memahami secara baik kondisi psikologi si penjual sabun.
Karena terus saja berkicau akhirnya si penjual sabun kelelahan sendiri. ”Sudah mas?”, tanya ustadz dengan santun. Terengah-engah penjual sabun menganggukkan kepala. Ustadz tersenyum simpul. Dipandanginya teman yang duduk di depannya dengan penuh kelembutan. Kebetulan saat mereka berbincang suasana sedang hujan. Di luar ada beberapa anak bermain di tengah hujan. Tubuhnya basah kuyub dan berlumuran lumpur. Mereka begitu riang tanpa peduli suasana sekitar.
Sang ustadz kemudian berkata, ”Sabun itu tidak ada gunanya. Sudah ratusan tahun sejak ditemukan sampai sekarang ternyata semakin banyak saja orang kotor, dekil, dan berlumuran lumpur. Lihat anak-anak itu. Terus apa fungsinya sabun?”, tanya sang ustadz.
Si penjual sabun segera menjawab, ”Anak-anak itu sengaja bermain hujan-hujanan dan lumpur sehingga tubuhnya kotor. Coba kalau mereka mandi dan menggunakan sabun, pasti bersih”, sergahnya.
Ustadz tersenyum simpul. Pelan ia berkata, ”Anda betul. Anak-anak itu, dan juga orang-orang kotor lainnya disebabkan mereka belum mandi dan menggunakan sabun. Sama dengan ketidakpercayaan Anda terhadap agama. Orang yang tidak percaya dan tidak mengamalkan ajaran agama secara baik itu seperti anak-anak di luar itu dan seperti orang-orang yang kotor lainnya. Jika mereka mau mengamalkan agama dengan benar, kotoran di jiwa mereka akan luntur. Mereka akan menjadi bersih seperti orang yang baru mandi memakai sabun”.
Si penjual sabun terdiam. Mulutnya melongo. Tak disangka ia mendapatkan pukulan yang sedemikian telak.

Trenggalek—Tulungagung, 13 Agustus 2014

4 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.