Jumat, 15 Agustus 2014

Menyembunyikan Ilmu


Oleh Ngainun Naim

Saya suka sekali membaca status atau tulisan dari orang yang isinya menebarkan energi positif. Salah seorang dari mereka yang aktif memberikan semangat melalui tulisan-tulisannya adalah Pak Guru Johan Wahyudi. Pak guru berprestasi dari Sragen Jawa Tengah tersebut selalu ’menggedor’ semangat saya. Penulis lebih dari 60 judul buku, puluhan penelitian, dan ribuan artikel ini sering mengajak untuk melakukan berbagai hal positif. Salah satunya adalah status Pak Johan beberapa waktu lalu yang mengajak untuk terus berbagi,  salah satunya adalah berbagai melalui tulisan.
Berbagi hal-hal baik berupa harta, tenaga, atau ilmu (lewat tulisan) Insyaallah akan memberikan manfaat dan keberkahan kepada kita. Melalui berbagi, kita bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Tidak perlu berpikir berapa besar manfaat yang akan diperoleh sebab yang terpenting adalah kemauan dan aktivitas untuk berbagi itu sendiri.
Sesungguhnya berbagi itu indah diucapkan tetapi sungguh tidak mudah dilakukan. Setidaknya itu yang saya rasakan. Ada begitu banyak anjuran tentang berbagi tetapi tidak sedikit yang berhenti menjadikannya sebatas sebagai pengetahuan saja. Indahnya berbagi hanya sebatas slogan minim amalan.
Saya selalu merasakan getaran psikologis hebat saat membaca kisah orang-orang yang hidupnya tercerahkan karena rajin berbagi. Berbagi memang tidak harus dalam bentuk besar dan monumental. Berbagi dengan hal-hal kecil dan sederhana pun bisa memberikan manfaat besar, bahkan bisa jadi yang melakukannya pun tidak menyadari. Sepanjang dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa pretensi tertentu, Insyaallah akan datang banyak kebaikan yang diberikan oleh Allah.
Ada kisah mengharukan yang dapat kita ambil sebagai hikmah tentang seorang penjual gorengan ketela yang selalu menyisihkan bagian yang kecil (karena tidak sesuai ukuran standar untuk dijual) kepada seorang anak yatim yang setiap sore lewat di depan tempatnya berjualan. Begitu terus ia melakukannya tanpa pernah memiliki pretensi apa pun. Ia melakukannya sebagai hal biasa layaknya melayani pembelinya. Saat si anak yatim tidak lagi datang ia pun juga tidak memedulikannya. Sampai suatu ketika, bertahun-tahun kemudian, datang seorang pemuda necis dengan mobil mewah yang diparkir di dekatnya berjualan. Si pemuda tidak membeli gorengan tetapi mengajaknya berbincang. Kebetulan sedang tidak ada pembeli. Awalnya hanya membincang hal-hal umum, lalu mulai fokus mengajak pada ingatan penjual gorengan terhadap kebiasaannya memberikan gorengan yang tidak terjual kepada seorang anak yatim.
”Berkat kebaikan hati Bapak saya bisa menjalani perubahan hidup yang luar biasa. Saya ingin mengucapkan terima kasih tak terkira kepada Bapak atas semua kebaikan yang telah Bapak berikan”, kata si pemuda necis tersebut.
Suasana berubah menjadi mencekat. Haru. Si pemuda mulai memerah wajahnya. Perlahan bulir-bulir air mengalir di pipinya yang tertutup kacamata.
Berbagi itu sesungguhnya tidak akan mengurangi apa yang kita miliki. Justru sebaliknya, apa yang kita bagi akan kembali kepada kita.
Paragraf di atas sesungguhnya ideal, tetapi saya sendiri belum mampu menjalankan sepenuhnya. Saya masih terus belajar menjadi orang yang bisa berbagi sesuai keyakinan dan kemampuan saya.
Salah satu bentuk berbagi yang saya usahakan untuk saya jaga adalah berbagi melalui tulisan. Saya tidak tahu apakah tulisan saya ada manfaatnya atau tidak. Bagi saya, menulis itu saya niatkan sebagai ibadah. Kalau ada yang membaca dan kemudian mendapatkan manfaat dari tulisam-tulisan saya, tentu itu harus saya syukuri. Kebahagiaan seorang penulis di antaranya terjadi saat karyanya diapresiasi dan menginspirasi pembaca. Jika ini yang terjadi berarti sesuai dengan yang saya harapkan.
Bagaimana kalau tidak ada yang membaca? Tidak apa-apa.  Itu resiko. Saya tidak akan nelangsa, apalagi kemudian memutuskan untuk tidak memulis. Itu terlalu naif.  Saya akan biasa saja. Saya tidak akan putus asa. Saya minta doa teman-teman sekalian agar selalu mendapatkan anugerah dan keberkahan Allah untuk selalu bisa berbagi melalui menulis.
Berbagi melalui tulisan semacam ini semoga menjadi perwujudan dari berbagi ilmu. Ilmu yang kita miliki harus kita bagi. Buat apa memiliki ilmu jika hanya disimpan tanpa memberi manfaat pada sesama?
Ada banyak media yang bisa digunakan. Berbagi ilmu itu bukan monopoli guru atau dosen. Semua orang bisa dan boleh melakukannya sesuai dengan kondisi masing-masing.
Informasi yang kita peroleh hakikatnya juga ilmu. Jika itu memang bersifat umum, janganlah kita monopoli. Monopoli dengan menyimpannya karena kuatir orang lain yang memperoleh rejeki merupakan bentuk kekurangdewasaan. Justru seharusnya dibagi secara luas agar terjadi kompetisi secara sehat.
Berkaitan dengan ini, penting merenungkan petuah Gus Mus yang saya temukan di WA dan diunggah oleh sahabat saya, Dr. Agus Zainul Fitri, M.Pd, dosen IAIN Tulungagung. Gus Mus mengatakan, ”Jangan kerdilkan dirimu dengan takabur. Jangan sempitkan dadamu dengan dengki. Dan jangan keruhkan pikiranmu dengan amarah”. Petuah ini kelihatannya sederhana tetapi sesungguhnya sangat filosofis dam sarat makna. Banyak orang tahu, paham, dan setuju dengan permyataan tersebut tetapi perilakunya justru bertolak belakang.
Itulah hidup. Dinamikanya--jika dicermati--sangat menarik. Justru dari hidup itulah kita belajar tentang bagaimana memaknai, memperkaya, dan meningkatkan mutu hidup kita. Salam.

Parakan Trenggalek, 14 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.