Oleh Ngainun
Naim
Asrama Sunan Ampel Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang
merupakan tempat bersejarah dalam hidup saya. Di asrama ini saya tinggal selama
tiga tahun, mulai tahun 1991-1994. Ada banyak pengalaman hidup, mimpi, harapan,
dan juga kekecewaan. Saya kira itu wajar karena tidak mungkin hidup ini selalu
ideal dan sesuai harapan. Justru hidup yang sesungguhnya adalah perjuangan di
antara kutub idealitas dengan realitas. Walaupun sesungguhnya, ukuran idealitas
itu relatif.
Saya sekolah ke MAN Denanyar Jombang dan kemudian tinggal di Asrama Sunan
Ampel berawal dari ketidaksengajaan. Saat itu sebenarnya saya sudah mendaftar
di sebuah madrasah aliyah di Tulungagung, tempat saya tinggal. Suatu hari,
seorang teman—namanya Zainul Muarif—datang ke rumah. Intinya ia mengajak saya
untuk sekolah ke Denanyar Jombang. Zainul Muarif bilang bahwa jika saya setuju
berarti ada empat orang dari MTsN Tunggangri Kalidawir Tulungagung yang akan
sekolah ke MAN Denanyar Jombang.
Saya pun berkonsultasi ke orang tua. Beliau berdua menyetujuinya. Dengan
penuh harapan, kami berempat naik bus menuju Jombang. Itulah pertama kalinya
kami naik bus menuju sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggal kami. Ada
banyak suka-duka di perjalanan awal ini. Jika mengingatnya sekarang, saya
merasakan betapa uniknya hidup ini.
Saya tidak akan bercerita panjang tentang bagaimana suka-duka di Asrama
Sunan Ampel secara keseluruhan. Satu saja yang ingin saya tulis yaitu tentang
menulis.
Sesungguhnya mimpi menulis telah mulai tumbuh saat saya masih di MTs. Pemantiknya
adalah seorang guru di kelas 2 MTs. Namanya Muhammad Amrullah. Beliau mengajar
bahasa Inggris. Selain cara mengajarnya yang menarik, beliau memiliki
keterampilan yang membuat mimpi saya membubung tinggi, yaitu menulis artikel.
Beberapa kali saya membaca tulisan beliau di majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA)
yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur.
Menulis ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Berkali-kali belajar
ternyata tidak juga mampu menghasilkan tulisan. Rasanya sulit sekali membuat
sebuah tulisan.
Mimpi menulis masih terus terbayang dalam diri saya, walaupun jalan untuk
mewujudkannya terasa gelap dan tidak jelas. Saat mulai sekolah di MAN Denanyar
dan tinggal di Asrama Sunan Ampel, mimpi itu masih tertanam kuat dalam diri
saya. Saya ingat persis di samping Asrama Induk depan masjid, saat itu ada
koran dinding Jawa Pos yang dipajang rutin setiap hari. Saya membacanya dengan
penuh semangat. Saat itu saya menemukan beberapa nama tokoh yang aktif menulis
artikel atau kolom. Kolomnis yang diawal tahun 1990-an sedang berjaya adalah
Emha Ainun Nadjid. Seminggu sekali Cak Nun menulis kolom yang membuat saya
terpesona. Beberapa nama yang saya ingat aktif menulis artikel adalah Kacung
Marijan dan Rudi Pranata.
Aktif membaca koran dan mencoba menulis tampaknya menjadi langkah awal
untuk bisa menulis. Tetapi boleh dikata saat itu saya belum bisa menulis. Saya
hanya ingat bahwa saat itu bersama beberapa pengurus OSIS menerbitkan Majalah
LINTAS. Ada satu tulisan saya di dalamnya. Hanya itu. Setelah itu tidak ada
lagi tulisan saya karena saya telah menyelesaikan studi.
Itulah cuplikan kisah kepenulisan saya. Karena itu, Asrama Sunan Ampel
menjadi titik penting perjalanan kepenulisan dan kehidupan saya. Saya harus
berterima kasih kepada semua kiai, ustadz, dan teman-teman yang memengaruhi
kehidupan saya sampai sekarang. Semoga keberkahan selalu dilimpahkan kepada
kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.