Selasa, 19 Agustus 2014

Kegelisahan Prof. Mulyadhi



Oleh Ngainun Naim

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara merupakan salah seorang intelektual Muslim Indonesia yang saya kagumi. Karya-karyanya sebagian besar saya miliki. Kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya terlihat secara jelas di buku-buku yang beliau tulis.
Salah satu buku karya beliau yang sangat saya sukai berjudul 'Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam'. Buku ini memuat tentang berbagai hal tentang tradisi ilmiah yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Paparan di buku ini sangat mendalam dan penuh informasi.
Beberapa hari lalu saya membaca kuliah online beliau di fb. Beliau menyatakan kegelisahannya menyaksikan dinamika perkembangan Islam Indonesia beberapa tahun terakhir. Islam seolah identik dengan hal-hal yang kurang positif, seperti intoleran, tidak humanis, lekat dengan kekerasan, dan seterusnya. Sementara wajah Islam yang humanis, toleran, dan seterusnya seolah hilang oleh keriuhan Islam konservatif.
Saya kira Prof. Mulyadhi benar. Realitas itulah yang menguasai ruang-ruang publik, semacam media. Suara Islam yang lebih lembut jarang mewarnai. Pada titik inilah kegelisahan beliau menemukan relevansinya. Ke depan sangat mungkin Islam konservatif semakin menguat karena gerakan masif yang mereka lakukan.
Islam yang lembut bukan berarti tidak ada. Justru Islam jenis ini yang sesungguhnya lebih dominan dan hidup di masyarakat. Sekarang yang diperlukan adalah bagaimana Islam berwajah ramah ini mengembangkan aksinya secara lebih optimal.
Di tengah kegelisahan Prof. Mulyadhi, pagi ini saya menemukan optimisme saat membaca status fb Dr. Budhi Munawar-Rachman. Hasil diskusi dengan Prof. Robert W. Hefner menemukan kesimpulan bahwa sekarang ini tengah terjadi perkembangan terbaik demokrasi di Indonesia. Tradisi mashlahah telah diwujudkan dalam menafsirkan Islam dan realitas global. Hasilnya adalah sebuah bentuk demokrasi dari sebuah masyarakat Muslim Indonesia, yang betul-betul terbaik dari contoh mana pun dari negara Muslim di dunia.
Optimisme Bob Hefner memang layak kita apresiasi. Justru karena dinilai sebagai 'yang betul-betul terbaik' bukan berarti tidak ada kritik. Selalu diperlukan evaluasi dan perbaikan secara terus-menerus. Kegelisahan Prof. Mulyadhi saya kira menjadi tantangan bagi demokrasi Indonesia.

Trenggalek-Tulungagung, 19 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.