Oleh Ngainun Naim
Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara merupakan salah seorang intelektual Muslim Indonesia yang
saya kagumi. Karya-karyanya sebagian besar saya miliki. Kedalaman ilmu dan
keluasan wawasannya terlihat secara jelas di buku-buku yang beliau tulis.
Salah satu
buku karya beliau yang sangat saya sukai berjudul 'Reaktualisasi Tradisi Ilmiah
Islam'. Buku ini memuat tentang berbagai hal tentang tradisi
ilmiah yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Paparan di buku ini sangat
mendalam dan penuh informasi.
Beberapa hari
lalu saya membaca kuliah online beliau di fb. Beliau menyatakan
kegelisahannya menyaksikan dinamika perkembangan Islam Indonesia beberapa tahun
terakhir. Islam seolah identik dengan hal-hal yang kurang positif, seperti
intoleran, tidak humanis, lekat dengan kekerasan, dan seterusnya. Sementara
wajah Islam yang humanis, toleran, dan seterusnya seolah hilang oleh keriuhan
Islam konservatif.
Saya kira Prof. Mulyadhi benar. Realitas itulah yang
menguasai ruang-ruang publik, semacam media. Suara Islam yang lebih lembut
jarang mewarnai. Pada titik inilah kegelisahan beliau menemukan relevansinya.
Ke depan sangat mungkin Islam konservatif semakin menguat karena gerakan masif
yang mereka lakukan.
Islam yang lembut bukan berarti tidak ada. Justru Islam
jenis ini yang sesungguhnya lebih dominan dan hidup di masyarakat. Sekarang
yang diperlukan adalah bagaimana Islam berwajah ramah ini mengembangkan aksinya
secara lebih optimal.
Di tengah kegelisahan Prof. Mulyadhi, pagi ini saya
menemukan optimisme saat membaca status fb Dr. Budhi Munawar-Rachman. Hasil
diskusi dengan Prof. Robert W. Hefner menemukan kesimpulan bahwa sekarang ini
tengah terjadi perkembangan terbaik demokrasi di Indonesia. Tradisi mashlahah
telah diwujudkan dalam menafsirkan Islam dan realitas global. Hasilnya adalah
sebuah bentuk demokrasi dari sebuah masyarakat Muslim Indonesia, yang
betul-betul terbaik dari contoh mana pun dari negara Muslim di dunia.
Optimisme Bob Hefner memang layak kita apresiasi. Justru
karena dinilai sebagai 'yang betul-betul terbaik' bukan berarti tidak ada
kritik. Selalu diperlukan evaluasi dan perbaikan secara terus-menerus.
Kegelisahan Prof. Mulyadhi saya kira menjadi tantangan bagi demokrasi
Indonesia.
Trenggalek-Tulungagung, 19 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.