Selasa, 16 April 2013

MENULIS ITU PERJUANGAN (BAGIAN KELIMA)


Oleh Ngainun Naim

Jika Anda berminat menjadi penulis, kisah hidup Mursidi adalah referensi penting yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Aspek pertama yang mesti dipahami adalah menulis itu membutuhkan kerja keras, bukan mengandalkan bakat. Mursidi bertutur, ”Aku tidak dilahirkan orangtuaku untuk menjadi penulis. Keluargaku adalah klan pedagang. Darah penulis sama sekali tidak mengalir dalam urat nadiku. Jika kemudian aku menjadi penulis, itu semata-mata karena aku tidak ingin meneruskan usaha dagang ayahku”.
Keberanian Mursidi keluar dari klan pedagang dan memilih jalan hidup sebagai penulis sesungguhnya merupakan bentuk keteguhan hati untuk meniti jalan hidup yang sesuai dengan minat. Bukan hal mudah bagi Mursidi untuk meyakinkan dirinya sendiri dan orangtuanya bahwa menjadi penulis itu merupakan sebuah pilihan yang tepat. Ada banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Tetapi ia bergeming. Pada titik inilah, Mursidi mengikuti apa yang dikatakan Collin Powell bahwa tidak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu terjadi karena persiapan, kerja keras, dan kegagalan.
Aspek kedua yang diulas Mursidi adalah menyadari dan meneguhkan spirit kompetisi. Dunia menulis di media massa bukan dunia tanpa pesaing. Dunia menulis itu keras dan tidak kenal kawan. Pemahaman terhadap aspek inilah yang membuat seorang penulis bisa bertahan dan mampu memenangkan kompetisi. Coba Anda simak penuturan Mursidi sebagaimana dimuat di halaman 189 bukunya:

Aku tahu sepenuhnya bahwa menulis—terlebih menulis resensi buku—di media massa, ibarat memperebutkan ceruk yang harus dimenangkan dengan gemilang. Karena sudah pasti yang mengirimkan tulisan di koran tidak hanya aku seorang. Ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang mengirim tulisan dan masuk ke meja redaksi. Tak pelak, jika aku ikut mengirim tulisan, hal itu berarti aku telah menceburkan diri ke sebuah gelanggang kompetisi untuk memperbutkan ceruk tersebut, dan tidak ada pilihan lain kecuali harus menang.

Aspek ketiga adalah menyajikan tulisan terbaik kita. Pada bab yang berjudul ”Koki Harus Menyajikan Makanan Terbaik”, Mursidi membagikan pengalamannya mengenai bagaimana membuat sebuah tulisan yang dapat memikat hati redaksi. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, ternyata setiap redaksi memiliki selera yang berbeda. Peresensi yang baik harus bisa memahami terhadap aspek ini. Tetapi, lebih dari itu, Mursidi kembali menegaskan bahwa penulis yang baik harus memiliki jiwa yang tangguh, tidak mudah putus asa.
Memoar N. Mursidi, walaupun dalam konteks berbeda, mengingatkanku pada buku Muhidin M. Dahlan yang berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Keduanya sama-sama menggilai buku, pejuang dalam dunia menulis, tertekan dalam himpitan ekonomi, dan tidak pernah patah arang. Sikap mental yang tangguh inilah yang menjadi kunci penting dalam kesuksesan menulis.
Sesungguhnya ada banyak hal lain yang dapat diulas dari buku N. Mursidi ini. Saya sudah membuat tulisan yang cukup panjang untuk mengulas buku karya N. Mursidi ini. Terima kasih banyak kepada Mas N. Mursidi, Kholilul Rohman Ahmad, dan teman-teman lain yang telah memberikan apresiasi kepada tulisan saya ini. Semoga tulisan sederhana ini memberikan manfaat. Salam!
Parakan Trenggalek, Sabtu, 16/3/2013.

1 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.