Oleh Ngainun Naim
Aku seperti kecanduan
untuk terus menulis bagian demi bagian dalam tulisan ini. Rasanya ada banyak
hal yang harus aku tulis. Waktu-waktu sempit yang memungkinkan aku manfaatkan
untuk menulis.
Terkait dengan proses
menulis, aku kira kisah Mursidi sebagaimana tertuang dalam bukunya merupakan
sebuah pembelajaran yang sangat berharga. Di saat sekarang ini banyak orang
semakin pragmatis dan bermental instan, buku Mursidi menunjukkan secara kasat
mata bahwa untuk mencapai sukses, dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan.
Mursidi sadar sepenuhnya bahwa latihan dan kerja keras menjadi kunci penting
untuk mewujudkan mimpinya menjadi penulis. Tetapi ketahanan mental seseorang
tidak selalu stabil. Ketika kerja keras dan latihan sudah dilakukan tapi hasil
tidak juga kelihatan, pada saat semacam itulah kebimbangan biasanya mulai
goyah. Hal semacam itu juga dialami Mursidi saat menekuni menulis cerpen.
Berbulan-bulan cerpen
hasil karyanya yang dibuat dengan penuh perjuangan tidak ada kabarnya. Ia mulai
goyah. Pada saat semacam inilah, kehadiran seorang teman sangat penting
artinya. Dengan nada pilu Mursidi di halaman 96 bukunya menulis, ”Aku yang
sempat putus asa karena karya-karya cerita pendek yang kutulis dengan susah
payah itu tak berhasil menembus koran, merasakan bahwa dukungan dari teman
dekat dapat menjadi obat untuk tidak putus asa”.
Budi, teman satu
kosnya adalah sumber energi penting yang membuat Mursidi kembali tersulut
spiritnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keakraban mereka berdua,
tetapi aku pernah mengalami hal yang hampir sama dengan Mursidi. Gagal
berkali-kali menulis dan tanpa kabar memang menyakitkan. Mursidi mengalami hal
itu. Ia tidak berhenti menulis, tetapi memilih jeda. Dalam masa ini, mesin
ketik yang ia gunakan untuk menulis ia bawa ke sebuah tempat yang terkenal
dengan jargonnya yang menyejukkan, ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Ya, mesin
ketika yang telah menemani malam-malamnya yang sunyi saat menulis ia gadaikan.
Energi menulis itu
dapat kembali hadir karena obrolan, dukungan, dan juga tantangan dari kawan
terdekat, walaupun sangat mungkin ia bukanlah penulis. Pada kasus Mursidi,
salah seorang teman yang memberinya spirit untuk terus menekuni menulis adalah
kawan seperjuangannya di kos, Budi. Beberapa saat setelah Mursidi jeda menulis
dan mengambil kembali mesin ketiknya dari pegadaian, Budi dengan provokatif
menyemangati kembali Mursidi. ”Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Nyuk!
Maka, aku berharap kamu mantap dengan pilihanmu untuk menjadi penulis!”, kata
Budi.
Sejak itu, kembali
Mursidi menulis. Kali ini bukan cerpen, tetapi resensi buku. Dan resensi
pertamanya berhasil nampang di edisi minggu harian Kedaulatan Rakyat. Aku kira semua orang akan merasakan kebahagiaan
yang luar biasa manakala mengetahui tulisannya dimuat media untuk pertama
kalinya. Coba Anda simak bagaimana kondisi Mursidi ketika mengalami hal ini.
”Seketika itu, aku merasakan kejatuhan durian runtuh. Minggu pagi itu, waktu
berjualan koran, aku merasa seperti menjual tulisanku sendiri. Setiap orang
yang naik bus, kutawari Koran Kedaulatan
Rakyat dengan harapan karyaku akan dibaca oleh banyak orang”.
Ini bukan narsis,
tetapi alami. Aku kira siapapun akan mengalami hal sama. Seorang teman kuliah
saat di IAIN Sunan Ampel Surabaya merasakan kegembiraan yang meluap saat
artikelnya dimuat Harian Surya. Padahal
saat itu ia masih semester satu. Maka, koran yang ada artikel karyanya itu ia
fotokopi dan dengan bangga ia bagikan ke semua teman sekelasnya. Aku yang
menjadi teman sekelasnya iri. Ingin sekali aku menyainginya, tetapi tidak tahu
bagaimana membuat artikel yang baik. Butuh waktu tiga tahun berselang saat aku
mengalami momentum yang sama. Artikel pertamaku dimuat di Harian Surya juga saat aku di semester enam.
Bagiku, menulis
artikel, dan juga menulis jenis tulisan lainnya, adalah anugerah. Menurutku
yang paling sulit adalah menjaga ”ruh” menulis secara terus-menerus. Pada kasus
temanku yang aku ceritakan tersebut, rupanya artikelnya di Surya saat semester satu itu menjadi artikelnya yang pertama
sekaligus terakhir. Setelah pemuatan artikelnya itu, aku tidak pernah lagi
melihat artikelnya muncul di koran. Tragis! [Bersambung].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.