Selasa, 16 April 2013

MENULIS ITU PERJUANGAN (BAGIAN KEEMPAT)


Oleh Ngainun Naim

Aku seperti kecanduan untuk terus menulis bagian demi bagian dalam tulisan ini. Rasanya ada banyak hal yang harus aku tulis. Waktu-waktu sempit yang memungkinkan aku manfaatkan untuk menulis.
Terkait dengan proses menulis, aku kira kisah Mursidi sebagaimana tertuang dalam bukunya merupakan sebuah pembelajaran yang sangat berharga. Di saat sekarang ini banyak orang semakin pragmatis dan bermental instan, buku Mursidi menunjukkan secara kasat mata bahwa untuk mencapai sukses, dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Mursidi sadar sepenuhnya bahwa latihan dan kerja keras menjadi kunci penting untuk mewujudkan mimpinya menjadi penulis. Tetapi ketahanan mental seseorang tidak selalu stabil. Ketika kerja keras dan latihan sudah dilakukan tapi hasil tidak juga kelihatan, pada saat semacam itulah kebimbangan biasanya mulai goyah. Hal semacam itu juga dialami Mursidi saat menekuni menulis cerpen.
Berbulan-bulan cerpen hasil karyanya yang dibuat dengan penuh perjuangan tidak ada kabarnya. Ia mulai goyah. Pada saat semacam inilah, kehadiran seorang teman sangat penting artinya. Dengan nada pilu Mursidi di halaman 96 bukunya menulis, ”Aku yang sempat putus asa karena karya-karya cerita pendek yang kutulis dengan susah payah itu tak berhasil menembus koran, merasakan bahwa dukungan dari teman dekat dapat menjadi obat untuk tidak putus asa”.
Budi, teman satu kosnya adalah sumber energi penting yang membuat Mursidi kembali tersulut spiritnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keakraban mereka berdua, tetapi aku pernah mengalami hal yang hampir sama dengan Mursidi. Gagal berkali-kali menulis dan tanpa kabar memang menyakitkan. Mursidi mengalami hal itu. Ia tidak berhenti menulis, tetapi memilih jeda. Dalam masa ini, mesin ketik yang ia gunakan untuk menulis ia bawa ke sebuah tempat yang terkenal dengan jargonnya yang menyejukkan, ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Ya, mesin ketika yang telah menemani malam-malamnya yang sunyi saat menulis ia gadaikan.
Energi menulis itu dapat kembali hadir karena obrolan, dukungan, dan juga tantangan dari kawan terdekat, walaupun sangat mungkin ia bukanlah penulis. Pada kasus Mursidi, salah seorang teman yang memberinya spirit untuk terus menekuni menulis adalah kawan seperjuangannya di kos, Budi. Beberapa saat setelah Mursidi jeda menulis dan mengambil kembali mesin ketiknya dari pegadaian, Budi dengan provokatif menyemangati kembali Mursidi. ”Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Nyuk! Maka, aku berharap kamu mantap dengan pilihanmu untuk menjadi penulis!”, kata Budi.
Sejak itu, kembali Mursidi menulis. Kali ini bukan cerpen, tetapi resensi buku. Dan resensi pertamanya berhasil nampang di edisi minggu harian Kedaulatan Rakyat. Aku kira semua orang akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa manakala mengetahui tulisannya dimuat media untuk pertama kalinya. Coba Anda simak bagaimana kondisi Mursidi ketika mengalami hal ini. ”Seketika itu, aku merasakan kejatuhan durian runtuh. Minggu pagi itu, waktu berjualan koran, aku merasa seperti menjual tulisanku sendiri. Setiap orang yang naik bus, kutawari Koran Kedaulatan Rakyat dengan harapan karyaku akan dibaca oleh banyak orang”.
Ini bukan narsis, tetapi alami. Aku kira siapapun akan mengalami hal sama. Seorang teman kuliah saat di IAIN Sunan Ampel Surabaya merasakan kegembiraan yang meluap saat artikelnya dimuat Harian Surya. Padahal saat itu ia masih semester satu. Maka, koran yang ada artikel karyanya itu ia fotokopi dan dengan bangga ia bagikan ke semua teman sekelasnya. Aku yang menjadi teman sekelasnya iri. Ingin sekali aku menyainginya, tetapi tidak tahu bagaimana membuat artikel yang baik. Butuh waktu tiga tahun berselang saat aku mengalami momentum yang sama. Artikel pertamaku dimuat di Harian Surya juga saat aku di semester enam.
Bagiku, menulis artikel, dan juga menulis jenis tulisan lainnya, adalah anugerah. Menurutku yang paling sulit adalah menjaga ”ruh” menulis secara terus-menerus. Pada kasus temanku yang aku ceritakan tersebut, rupanya artikelnya di Surya saat semester satu itu menjadi artikelnya yang pertama sekaligus terakhir. Setelah pemuatan artikelnya itu, aku tidak pernah lagi melihat artikelnya muncul di koran. Tragis!  [Bersambung].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.