Oleh Ngainun Naim
Riwayat sekolah yang
kurang menggembirakan bukan berarti tidak berprestasi dalam bidang lainnya.
Jika mengikuti paradigma Howard Gardner, Mursidi bisa dikategorikan sebagai
sosok yang memiliki kecerdasan bahasa. Ia mampu menangkap ide, mengolah kata,
menyusun kalimat, dan menyajikan kepada pembaca tulisan yang memikat.
Ulasan-ulasannya, sebagaimana bisa Anda cermati—salah satunya--diblog yang
dikelolanya, menunjukkan bagaimana seorang Mursidi begitu terampil menulis.
Tetapi keterampilan
menulis yang dimilikinya tidak terbentuk secara mendadak. Ia memulainya melalui
jalan terjal, berliku, penuh kelokan, dan banyak membentur hambatan. Tetapi ia
tetap kukuh. Ia terus melaju. Dan untuk itulah, saya menyebut dalam judul
tulisan ini dengan ”Menulis Itu Perjuangan”.
Mursidi, sebagaimana
teman lainnya, Kholilul Rohman Ahmad, adalah penulis produktif yang merajai
dunia menulis. Kholilul Rohman Ahmad, yang diceritakan di buku Mursidi pada
halaman 164-165, sesungguhnya sosok yang sudah cukup lama aku kenal. Aku bahkan
sudah mengenalnya sejak ia masih duduk di bangku Madrasah Aliyah.
Pada tulisan yang
ketiga ini, aku akan banyak bercerita tentang Kholilul Rohman Ahmad,
sebagaimana permintaan N. Mursidi. Ulasan tentang Maman—sapaan akrab Kholilul
Rohman Ahmad--ini aku kira memang harus aku lakukan karena aku cukup mengenal
tokoh mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga tahun 2000-an ini.
Saat itu, sekitar
tahun 1997, aku sedang belajar menulis. Sebagai mahasiswa tingkat akhir S-1
yang baru saja transfer dari IAIN Sunan Ampel Surabaya ke IAIN Sunan Ampel
Cabang Tulungagung, aku sering berkumpul di kantor PMII Cabang Tulungagung. Di
tempat inilah, aku sering melihat seorang siswa berseragam Aliyah. Ia masih
lugu. Bisa aku maklumi, karena ia masih Aliyah, sementara aku sudah hampir lulus
S-1. Belakangan aku ketahui namanya Maman.
Walaupun masih Aliyah,
Maman memiliki minat yang besar dalam menulis. Jujur, aku sangat kagum dengan
semangatnya. Aku sendiri, sama seperti Maman, baru belajar menulis. Di masa
awal belajar menulis, aku pernah membuat sebuah resensi di Majalah MPA Surabaya
yang ternyata resensiku dimuat bersama dengan resensi karya Maman.
Karier kepenulisan
Maman kian berkibar saat ia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aku yang
tetap tinggal di daerah dan tidak memiliki komunitas menulis, jauh tertinggal
dari Maman. Aku tetap menulis, walaupun tidak produktif. Memang sudah ada
tulisanku yang dimuat di Kompas, Jawa
Pos, Surabaya Post, Republika, dan beberapa media lainnya, tetapi tetap
masih kalah produktif dengan Maman.
Saat Maman sedang
sangat produktifnya, aku menerima sebuah surat panjang dari dia. Surat itu
masih aku simpan secara rapi sampai sekarang sebagai kenangan dari seorang
sahabat. Maman menulis panjang lebar tentang dunia menulis yang ia tekuni. Ia
juga mengkritik tajam terhadap apa yang aku lakukan. Pada surat bertanggal 28
November 2000 itu Maman menulis begini;
Dulu ketika masih di Tulungagung, terus terang, aku sangat bangga dapat
berkenalan erat dengan kamu karena tulisannya dimuat di Surabaya Post—tahun 2000
ini aku juga membaca dua tulisan resensimu di Surabaya Post melalui internet,
analisanya tidak berkembang, pancet! Barangkali karena ketika itu aku tak bisa
menembus koran sore itu, sehingga hampir mendewakanmu.
Saat membaca surat
Maman waktu itu, saya agak emosi juga. Tetapi saya sadar sepenuhnya bahwa Maman
memang sudah jauh berkembang. Ia bisa menjadi penulis yang sangat
produktif—bahkan punya nama samaran yang juga banyak—karena menemukan iklim
yang tepat. Sementara aku yang tinggal di sebuah kota kecil dan jauh dari
akses, tetap saja menjadi penulis kecil. Aku tidak pernah menyesalinya dan
kujadikan semua itu sebagai tantangan untuk menulis secara lebih baik lagi.
Di bagian lain
suratnya, Maman memprovokasi mengenai produktivitasnya. Ia bercerita;
Kebetulan akhir-akhir ini banyak juga tulisanku yang dimuat. Selama
September dan Oktober 2000 ada yang di Kompas, detik.com (2 tulisan),
berpolitik.com, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya Post (29/10/2000), MPA,
dan media-media kecil di Yogyakarta dan Semarang yang honornya Cuma 20-30 ribu
per tulisan.
Surat Maman seolah
menjadi tantangan bagiku untuk semakin meningkatkan produktivitas menulis.
Tetapi seperti yang ditulis Mursidi dengan meminjam penjelasan Islah Gusmian,
menulis di media massa itu ibarat judi. Tulisan yang kita kerjakan dengan
totalitas dan menurut ekspektasi kita akan dimuat, ternyata masuk ke kantong
sampah redaksi. Sementara tulisan yang kita buat dengan biasa-biasa saja justru
yang dimuat. Demikian juga dengan nasibku. Saat itu aku mampu menulis lima
belas artikel sebulan. Bulan Agustus tahun 2000, ada sepuluh tulisanku yang
dimuat media massa. Tapi bulan-bulan berikutnya, nasib pasang surut. Kadang
dimuat dua, tiga, dan tidak jarang tidak ada yang dimuat sama sekali.
Namun dari semua
bagian suratnya Maman sepanjang tiga halaman yang bagiku paling menantang
adalah pada bagian penutupnya.
Kata adik-adikmu, sekarang kau sudah jadi dosen (luar biasa) di STAIN TA.
Syukurlah, namun jangan merasa dan mengaku sudah menjadi intelektual. Kau
berhak mengaku intelektual jika nama dan tulisanmu pernah (minimal sekali)
terpampang di Harian Kompas. Catat itu!
Aku tidak pernah
mengaku sebagai intelektual. Aku hanya berusaha untuk terus belajar. Aku
tersenyum kembali saat menulis catatan Maman ini. Tanpa perlu berkoar, semua
tantangan Maman sebenarnya sudah aku jawab. Aku tidak peduli ia ingat dengan
tantangannya atau tidak. Aku juga tidak terlalu risau Maman tahu atau tidak
kalau tulisanku pernah dimuat Kompas. Bagiku, yang penting aku terus menulis
dan bisa memberikan manfaat buat orang lain. Kalau kemudian aku pernah
mendapatkan bantuan dana dari Kompas saat aku mengajukan proposal penelitian
studiku karena aku melampirkan fotokopi artikel-artikelku di Kompas dalam
proposal tersebut, semua itu kusyukuri sepenuh hati. Tetapi di luar itu semua,
Maman adalah seorang sahabat yang telah mendorongku untuk mampu menembus
ketatnya persaingan di Kompas.
Bagiku, Maman adalah
seorang sahabat yang telah menjadi bagian dari perjalananku dalam belajar
menulis. Ia tahu persis bagaimana aku mulai belajar menulis artikel dan resensi
buku, sebagaimana aku juga tahu bagaimana ia belajar menulis. Jika sekarang ia
telah menjalani kehidupan yang tidak lagi berkaitan secara langsung dengan
dunia menulis, aku yakin itu hanya bersifat sementara. Aku yakin suatu saat ia
akan rindu pada dunia menulis. Menulis telah menjadi dunia yang memberinya
warna unik dalam kehidupannya. Bahkan aku pernah menemukan buku kumpulan
puisinya yang diterbitkan Ar-Ruzz Media Yogyakarta. Aku tidak membeli buku
kumpulan puisi karya Maman karena dari seluruh karya sastra, puisi yang paling
tidak kumengerti.
Suatu ketika, aku
menemukan sebuah buku kecil seukuran saku karya Maman. Tanpa pikir panjang,
buku itu langsung kubeli. Aku membeli buku itu, tentu saja, karena aku kenal
baik penulisnya. Kubuka dan kubaca dengan cermat buku yang berjudul How to Write.... 15 Cara Cepat Menyusun
Tugas Akhir. Dan saat membuka buku itu, aku menemukan hal yang menarik,
yaitu setiap babnya diawali dengan kata ”Provokasi”. Jadi, di buku itu ada 15
provokasi yang dilakukan Maman. Usai membaca buku itu, aku ketawa. Dasar Maman,
menulis buku tentang cara cepat menyusun skripsi, padahal dia sendiri bisa
lulus pada saat semester 14 [Bersambung].
Parakan Trenggalek, 14/3/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.