Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim
Butuh waktu tiga hari
untuk menuntaskan membaca true story yang
ditulis dengan apik dan mempesona ini. Kesempatan membaca yang paling memungkinkan
kulakukan di malam hari setelah semua penghuni rumah terlelap. Tetapi itu
biasanya tidak bisa bertahan lama. Karena capek, biasanya aku cepat dibantai
kantuk yang mendera. Tanpa sadar, buku yang kupegang tiba-tiba jatuh. Pada
kondisi semacam ini, aku harus berhenti, karena kalau kupaksakan juga percuma. Tidak
akan ada yang masuk di otak. Maka buku bagus ini aku tuntaskan di banyak
tempat; pagi sebelum berangkat kerja, di sela-sela mengajar, sore sebelum
pulang dari kantor, dan sebagian di atas bis yang setia mengantarku
pergi-pulang dari rumah ke kantor.
Memasuki halaman demi
halaman buku ini, aku seperti disihir. Aku sungguh terpesona dengan caranya
bertutur, pilihan bahasanya yang bagus, dan kecermatannya yang menghentak
kesadaran pembaca. Aku jadi teringat sebuah kata-kata menarik tentang menulis
yang sayangnya aku lupa siapa yang mengatakannya. Kira-kira begini bunyinya,
”Jika Anda membaca sebuah buku yang menarik, mudah dipahami, dan membuai
pembaca, pastilah buku itu ditulis dengan penuh perjuangan, kerja keras, dan
tidak kenal menyerah dari penulisnya”. Dan aku yakin, itulah yang dilakukan
Mursidi saat menulis buku ini. Ia penulis yang telah melakukan kerja keras
sehingga buku ini ”menyihirku” sebagai pembacanya.
Pada bagian
”Pendahuluan: Dari Penjual Koran Jalanan Menjadi Penulis”, aku menemukan banyak
sekali pelajaran dan hikmah. Pada paragraf pertama, aku sudah menemukan sebuah
kata pembuka yang menghentak. Kalimat penuh energi itu berbunyi, ”Tanpa
dihimpit oleh cobaan, aku mungkin tidak akan pernah menjadi penulis”. Bagiku,
kalimat ini menjadi kunci dari seluruh isi buku ini. Cobaan demi cobaan yang
menjadikan Mursidi seperti batu karang dalam dunia menulis. Ia mampu bertahan
sebagai penulis sampai sekarang karena sudah kenyang asam garam dunia menulis. Di
saat teman-teman seangkatannya sudah mundur teratur karena punya pekerjaan atau
penghasilan yang lebih menjanjikan, Mursidi masih setia menulis dan
berkompetisi di media massa. Ia kini sebagai wartawan Majalah Hidayah, tetapi menulis berbagai genre masih setia dilakoninya. Tulisan
yang tidak jelas nasibnya di meja redaksi media massa sudah menjadi hal yang
tidak ia pedulikan. Baginya, tugas penulis adalah menulis. Sementara nasib
tulisan itu terserah kepada redaksi dan takdir Tuhan.
Jalan hidup Mursidi
yang sarat cobaan ini menemukan pembenarannya kalau kita telisik pada bagian
berikutnya. Pada bab ”Kandas Kuliah, Terjerumus di Ujung Gang”, ia menulis
dengan nada pilu;
”Aku menjalani hidup seperti memanggul beban sejarah yang cukup berat
terkait riwayat sekolahku yang kelabu. Dalam dunia pendidikan, aku mungkin
dapat dikatakan menjalani hidup seperti Sysipus yang kena kutukan sejarah.
Meskipun aku tidak pernah tinggal kelas, tapi aku tak pernah berhasil memasuki
sekolah impianku”.
Riwayat sekolah
Mursidi, sebagaimana dituturkan secara apik dalam buku ini, memang membuat hati
trenyuh. Nyaris ia tidak merasakan
bangku sekolah sebagaimana diharapkan. Lulus MI, gagal masuk SMPN 1 sebagaimana
impiannya. Lulus SMP, ia mengidamkan bisa memasuki SMAN 2, tapi ”nasib kembali
menggusurku ke tepian jurang”, tulisnya dengan nada memelas. Karena tidak lolos
seleksi, ia pun kembali menjadi murid SMU swasta. Setelah tamat SMU, ia kembali
gagal kuliah. Ia menganggur selama dua tahun. Ikut UMPTN dua kali juga tidak
pernah lolos. Saat nekat kuliah di sebuah PTS, itu hanya bertahan selama satu
semester karena himpitan ekonomi yang mendera memaksanya keluar. Begitu juga
saat ia kuliah lagi di IAIN, juga nyaris tidak lulus, walaupun pada akhirnya
sejarah memberinya kesempatan untuk menjadi seorang sarjana. Saat di IAIN, ia
sudah begitu asyik dengan dunia menulis. Memang, dunia menulis yang penuh
perjuangan kadang sangat menggoda. Harapan, kompetisi, perjuangan, dan pekik
kemenangan saat sebuah tulisan dimuat menjadikan penulisnya melupakan hal-hal
lain di luar menulis, termasuk urusan kuliah [Bersambung].
Parakan Trenggalek,
pagi hari tanggal 14/3/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.