Oleh Ngainun Naim
Jika Anda berminat
menjadi penulis, kisah hidup Mursidi adalah referensi penting yang dapat
dijadikan sebagai rujukan. Aspek pertama
yang mesti dipahami adalah menulis itu membutuhkan kerja keras, bukan
mengandalkan bakat. Mursidi bertutur, ”Aku tidak dilahirkan orangtuaku untuk
menjadi penulis. Keluargaku adalah klan pedagang. Darah penulis sama sekali
tidak mengalir dalam urat nadiku. Jika kemudian aku menjadi penulis, itu
semata-mata karena aku tidak ingin meneruskan usaha dagang ayahku”.
Keberanian Mursidi
keluar dari klan pedagang dan memilih jalan hidup sebagai penulis sesungguhnya
merupakan bentuk keteguhan hati untuk meniti jalan hidup yang sesuai dengan
minat. Bukan hal mudah bagi Mursidi untuk meyakinkan dirinya sendiri dan
orangtuanya bahwa menjadi penulis itu merupakan sebuah pilihan yang tepat. Ada
banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Tetapi ia bergeming. Pada
titik inilah, Mursidi mengikuti apa yang dikatakan Collin Powell bahwa tidak
ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu terjadi karena persiapan, kerja
keras, dan kegagalan.
Aspek kedua yang diulas Mursidi adalah
menyadari dan meneguhkan spirit kompetisi. Dunia menulis di media massa bukan
dunia tanpa pesaing. Dunia menulis itu keras dan tidak kenal kawan. Pemahaman
terhadap aspek inilah yang membuat seorang penulis bisa bertahan dan mampu
memenangkan kompetisi. Coba Anda simak penuturan Mursidi sebagaimana dimuat di
halaman 189 bukunya:
Aku tahu sepenuhnya bahwa menulis—terlebih menulis resensi buku—di media
massa, ibarat memperebutkan ceruk yang harus dimenangkan dengan gemilang.
Karena sudah pasti yang mengirimkan tulisan di koran tidak hanya aku seorang.
Ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang mengirim tulisan dan masuk ke meja
redaksi. Tak pelak, jika aku ikut mengirim tulisan, hal itu berarti aku telah
menceburkan diri ke sebuah gelanggang kompetisi untuk memperbutkan ceruk
tersebut, dan tidak ada pilihan lain kecuali harus menang.
Aspek ketiga adalah menyajikan tulisan
terbaik kita. Pada bab yang berjudul ”Koki Harus Menyajikan Makanan Terbaik”,
Mursidi membagikan pengalamannya mengenai bagaimana membuat sebuah tulisan yang
dapat memikat hati redaksi. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, ternyata
setiap redaksi memiliki selera yang berbeda. Peresensi yang baik harus bisa
memahami terhadap aspek ini. Tetapi, lebih dari itu, Mursidi kembali menegaskan
bahwa penulis yang baik harus memiliki jiwa yang tangguh, tidak mudah putus
asa.
Memoar N. Mursidi,
walaupun dalam konteks berbeda, mengingatkanku pada buku Muhidin M. Dahlan yang
berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak
Cinta. Keduanya sama-sama menggilai buku, pejuang dalam dunia menulis,
tertekan dalam himpitan ekonomi, dan tidak pernah patah arang. Sikap mental
yang tangguh inilah yang menjadi kunci penting dalam kesuksesan menulis.
Sesungguhnya ada
banyak hal lain yang dapat diulas dari buku N. Mursidi ini. Saya sudah membuat
tulisan yang cukup panjang untuk mengulas buku karya N. Mursidi ini. Terima
kasih banyak kepada Mas N. Mursidi, Kholilul Rohman Ahmad, dan teman-teman lain
yang telah memberikan apresiasi kepada tulisan saya ini. Semoga tulisan
sederhana ini memberikan manfaat. Salam!
Parakan Trenggalek, Sabtu, 16/3/2013.
Terima kasih kembali doktor naim
BalasHapus