Dalam buku
karyanya yang berjudul Nuansa Fiqih
Sosial, K.H. M.A. Sahal Mahfudh (2012: 117) menyatakan bahwa kualitas
keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah akibat perubahan nilai yang
berkembang. Nilai-nilai spiritual Islam tidak lagi menjadi rujukan
baku. Solidaritas Islam sebagai nilai berhadapan dengan sikap masyarakat yang
cenderung semakin individualistik.
Pendapat Ketua Umum MUI Pusat dan Rais Syuriah PBNU tersebut memang benar
adanya. Memang ada kecenderungan umum menurunnya pengamalan dan penghayatan
agama masyarakat. Masyarakat sekarang ini cenderung semakin sekular dan
individualistik.
Namun demikian, bukan berarti di masyarakat sudah sekular seluruhnya dan
agama kehilangan perannya yang vital. Berbagai perilaku kebaikan dan
aktualisasi ajaran agama masih banyak kita temui di masyarakat. Nilai-nilai kebaikan
tersebut bisa saja dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat, baik dalam
bentuk bantuan tenaga, harta, maupun bentuk bantuan lainnya. Apa yang mereka
lakukan, sedikit atau banyak, memberikan pengaruh kepada masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Kebaikan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan lebih
dikenal dengan istilah filantropi. Filantropi sendiri ditinjau dari sisi bahasa
berasal dari bahasa Yunani philein yang
berarti ”cinta” dan anthropos yang
berarti ”manusia”. Secara pengertian, filantropi merupakan tindakan seseorang
yang mencintai sesama sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk
menolong orang lain. Istilah filantropi pada umumnya diberikan kepada
orang-orang yang memberikan dana atau barang-barang yang dimilikinya untuk
amal.
Pelaku filantropi umumnya orang-orang yang memiliki ”kelebihan”, khususnya
harta. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bantuan diberikan oleh mereka
yang secara harta sesungguhnya tidak berlebihan, bahkan kurang. Kesadaran
keagamaan dan spirit berbagi menjadi daya dorong bagi dilakukannya perilaku
filantropi.
Jika orang kaya mendistribusikan hartanya untuk kebaikan, mungkin itu bukan
sebuah fenomena luar biasa. Memang, tindakan semacam itu merupakan tindakan
terpuji yang harus terus-menerus didorong kepada banyak orang kaya agar
kesenjangan sosial semakin berkurang. Akan tetapi jika yang melakukannya adalah
orang yang secara ekonomi kurang beruntung, tentu merupakan sebuah fenomena
yang menarik.
Dalam konteks ini, menarik menyimak kisah sepasang pemulung yang beberapa waktu lalu mendapatkan perhatian luas di masyarakat. Pemulung tersebut bernama Yati dan
suaminya, Maman. Pasangan yang tinggal di Jakarta--sekarang pulang kampung ke Pasuruan--ini bersusah payah menabung
selama beberapa tahun agar bisa berkorban.
Saat awal mengutarakan niatnya untuk berkorban, banyak orang yang apatis,
ketawa, bahkan mengejek. Namun Yati dan suaminya tidak putus asa. Sedikit demi
sedikit mereka menabung untuk mewujudkan impiannya. Karena penghasilannya yang
kecil, tentu dibutuhkan waktu yang panjang agar terkumpul untuk membeli hewan
kurban. Yati dan suaminya menabung selama tiga tahun.
Tahun ini, tabungan keduanya mencukupi untuk membeli dua ekor kambing.
Keduanya menyerahkan kambing kurban ke panitia di Masjid Al-Ittihad, Tebet,
Jakarta Selatan. Banyak jamaah masjid mewah tersebut meneteskan air mata haru
menyaksikan pasangan pemulung tersebut saat menyerahkan kambing kurban.
Perjuangan pasangan pemulung tersebut merupakan fenomena yang mengharukan. Mereka
berdua adalah teladan di tengah kegersangan spiritual, semakin menguatnya
individualitas, dan melemahnya solidaritas sosial.
Bagi masyarakat luas yang memiliki penghasilan dan kehidupan lebih baik,
apa yang dilakukan oleh Yati dan suaminya merupakan sebuah ’tamparan’. Jika
orang yang penghidupannya susah saja mampu berusaha keras untuk menabung
sehingga mampu berkorban, seharusnya masyarakat yang kehidupannya lebih baik
melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik dari apa yang dilakukan Yati dan
suaminya.
Apa yang dilakukan oleh Yati dapat juga menjadi simbol perlawanan di tengah
arus pragmatisme masyarakat. Pembagian hewan korban dalam beberapa tahun
belakangan banyak berhadapan dengan persoalan rumit, terutama saat distribusi.
Di beberapa tempat, banyak orang yang berdesakan dan berebutan agar mendapatkan
daging korban.
Pelajaran penting yang seharusnya kita petik adalah bahwa berkorban itu
tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang cukup secara materi, tetapi juga
oleh mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Kemauan berkorban, dan juga
bersedakah, sebaiknya memang dilakukan sejak dini. Latihan dan kemauan untuk
berbagi tidak bisa tumbuh begitu saja. Orang yang tidak pernah berbagi akan
berat untuk melakukannya.
Sebagai penutup artikel ini, menarik untuk menyimak kisah yang ditulis oleh
Jusuf Sutanto (2006: 121-122). Alkisah, ada
seorang kaya yang amat kikir, tidak pernah mau mendermakan hartanya, dan maunya
hanya selalu menerima saja. Ketika ia berjalan di pinggir sebuah hutan,
tiba-tiba terperosok ke dalam lubang yang tidak terlalu dalam. Setiap kali ia
berusaha naik, selalu jatuh kembali, kecuali ada orang yang menariknya dari
atas... sampai akhirnya, satu-satunya jalan adalah berteriak-teriak minta
tolong supaya terdengar orang. Beberapa lama kemudian, lewatlah seorang tua yang
mendengar teriakan itu dan mendekat. ”Ulurkan tanganmu, saya akan mengangkatmu
keluar!” Anehnya, orang yang tercebur itu tidak juga mau memberikan tangannya.
Ia malah diam saja dengan dahi mengkerut seolah sedang memikirkan sesuatu.
Setelah berkali-kali diminta tapi tidak juga diulurkan tangannya, akhirnya
orang tua itu yang mengulurkan tangannya sambil berkata: ”Ini tanganku,
peganglah, nanti kamu saya tarik ke atas!” Orang itu segera memegang erat-erat
tangan si penolong itu hingga bisa ditarik keluar dari lubang. Orang kikir itu
selama hidupnya tidak pernah membantu dan menolong orang lain, sehingga ketika
diminta mengulurkan tangan supaya bisa dibantu oleh orang lain, ia ragu-ragu
melakukan sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukannya. Hanya karena si
penolong adalah seorang sufi yang sudah mengalami asam garam kehidupan, ia bisa
memahami apa yang tersurat di dalam benak orang kikir itu, sehingga hanya
dengan mengubah positioning dari
meminta menjadi memberikan tangannya, maka masalahnya bisa dipecahkan.
Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga
bagi kita bahwa mengulurkan tangan tidak hanya berkaitan dengan kesadaran dan
kemauan, tetapi juga mentalitas. Mentalitas memberi memang seharusnya
ditumbuhkembangkan sehingga menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.
Muantab jian top markotop tenan p, naim, .., usul, pie lek blog iki di jadikan
BalasHapushttp://ngainun-naim.info
Kiro2 kok mantab, aku siap membantu (100% gratis), hehehe
by. Goendul Kang
"mengubah positioning dari meminta menjadi memberikan tangannya." Sebuah pelajaran dari postingan ini pak. Suwun...
BalasHapusBisnis IT@ usul ditampung. Untuk sementara biar begini dulu. Mundak ngrepoti Panjenenganipun he he he.... Jaka Tarub@ Suwun kembali, Mas Imoet.
BalasHapus