Kamis, 18 April 2013

FILANTROPI PEMULUNG


Dalam buku karyanya yang berjudul Nuansa Fiqih Sosial, K.H. M.A. Sahal Mahfudh (2012: 117) menyatakan bahwa kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islam tidak lagi menjadi rujukan baku. Solidaritas Islam sebagai nilai berhadapan dengan sikap masyarakat yang cenderung semakin individualistik.
Pendapat Ketua Umum MUI Pusat dan Rais Syuriah PBNU tersebut memang benar adanya. Memang ada kecenderungan umum menurunnya pengamalan dan penghayatan agama masyarakat. Masyarakat sekarang ini cenderung semakin sekular dan individualistik.
Namun demikian, bukan berarti di masyarakat sudah sekular seluruhnya dan agama kehilangan perannya yang vital. Berbagai perilaku kebaikan dan aktualisasi ajaran agama masih banyak kita temui di masyarakat. Nilai-nilai kebaikan tersebut bisa saja dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat, baik dalam bentuk bantuan tenaga, harta, maupun bentuk bantuan lainnya. Apa yang mereka lakukan, sedikit atau banyak, memberikan pengaruh kepada masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kebaikan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan lebih dikenal dengan istilah filantropi. Filantropi sendiri ditinjau dari sisi bahasa berasal dari bahasa Yunani philein yang berarti ”cinta” dan anthropos yang berarti ”manusia”. Secara pengertian, filantropi merupakan tindakan seseorang yang mencintai sesama sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah filantropi pada umumnya diberikan kepada orang-orang yang memberikan dana atau barang-barang yang dimilikinya untuk amal.
Pelaku filantropi umumnya orang-orang yang memiliki ”kelebihan”, khususnya harta. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bantuan diberikan oleh mereka yang secara harta sesungguhnya tidak berlebihan, bahkan kurang. Kesadaran keagamaan dan spirit berbagi menjadi daya dorong bagi dilakukannya perilaku filantropi.
Jika orang kaya mendistribusikan hartanya untuk kebaikan, mungkin itu bukan sebuah fenomena luar biasa. Memang, tindakan semacam itu merupakan tindakan terpuji yang harus terus-menerus didorong kepada banyak orang kaya agar kesenjangan sosial semakin berkurang. Akan tetapi jika yang melakukannya adalah orang yang secara ekonomi kurang beruntung, tentu merupakan sebuah fenomena yang menarik.
Dalam konteks ini, menarik menyimak kisah sepasang pemulung yang beberapa waktu lalu mendapatkan perhatian luas di masyarakat. Pemulung tersebut bernama Yati dan suaminya, Maman. Pasangan yang tinggal di Jakarta--sekarang pulang kampung ke Pasuruan--ini bersusah payah menabung selama beberapa tahun agar bisa berkorban.
Saat awal mengutarakan niatnya untuk berkorban, banyak orang yang apatis, ketawa, bahkan mengejek. Namun Yati dan suaminya tidak putus asa. Sedikit demi sedikit mereka menabung untuk mewujudkan impiannya. Karena penghasilannya yang kecil, tentu dibutuhkan waktu yang panjang agar terkumpul untuk membeli hewan kurban. Yati dan suaminya menabung selama tiga tahun.
Tahun ini, tabungan keduanya mencukupi untuk membeli dua ekor kambing. Keduanya menyerahkan kambing kurban ke panitia di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Banyak jamaah masjid mewah tersebut meneteskan air mata haru menyaksikan pasangan pemulung tersebut saat menyerahkan kambing kurban.
Perjuangan pasangan pemulung tersebut merupakan fenomena yang mengharukan. Mereka berdua adalah teladan di tengah kegersangan spiritual, semakin menguatnya individualitas, dan melemahnya solidaritas sosial.
Bagi masyarakat luas yang memiliki penghasilan dan kehidupan lebih baik, apa yang dilakukan oleh Yati dan suaminya merupakan sebuah ’tamparan’. Jika orang yang penghidupannya susah saja mampu berusaha keras untuk menabung sehingga mampu berkorban, seharusnya masyarakat yang kehidupannya lebih baik melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik dari apa yang dilakukan Yati dan suaminya.
Apa yang dilakukan oleh Yati dapat juga menjadi simbol perlawanan di tengah arus pragmatisme masyarakat. Pembagian hewan korban dalam beberapa tahun belakangan banyak berhadapan dengan persoalan rumit, terutama saat distribusi. Di beberapa tempat, banyak orang yang berdesakan dan berebutan agar mendapatkan daging korban.
Pelajaran penting yang seharusnya kita petik adalah bahwa berkorban itu tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang cukup secara materi, tetapi juga oleh mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Kemauan berkorban, dan juga bersedakah, sebaiknya memang dilakukan sejak dini. Latihan dan kemauan untuk berbagi tidak bisa tumbuh begitu saja. Orang yang tidak pernah berbagi akan berat untuk melakukannya.
Sebagai penutup artikel ini, menarik untuk menyimak kisah yang ditulis oleh Jusuf Sutanto (2006: 121-122). Alkisah, ada seorang kaya yang amat kikir, tidak pernah mau mendermakan hartanya, dan maunya hanya selalu menerima saja. Ketika ia berjalan di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terperosok ke dalam lubang yang tidak terlalu dalam. Setiap kali ia berusaha naik, selalu jatuh kembali, kecuali ada orang yang menariknya dari atas... sampai akhirnya, satu-satunya jalan adalah berteriak-teriak minta tolong supaya terdengar orang. Beberapa lama kemudian, lewatlah seorang tua yang mendengar teriakan itu dan mendekat. ”Ulurkan tanganmu, saya akan mengangkatmu keluar!” Anehnya, orang yang tercebur itu tidak juga mau memberikan tangannya. Ia malah diam saja dengan dahi mengkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Setelah berkali-kali diminta tapi tidak juga diulurkan tangannya, akhirnya orang tua itu yang mengulurkan tangannya sambil berkata: ”Ini tanganku, peganglah, nanti kamu saya tarik ke atas!” Orang itu segera memegang erat-erat tangan si penolong itu hingga bisa ditarik keluar dari lubang. Orang kikir itu selama hidupnya tidak pernah membantu dan menolong orang lain, sehingga ketika diminta mengulurkan tangan supaya bisa dibantu oleh orang lain, ia ragu-ragu melakukan sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukannya. Hanya karena si penolong adalah seorang sufi yang sudah mengalami asam garam kehidupan, ia bisa memahami apa yang tersurat di dalam benak orang kikir itu, sehingga hanya dengan mengubah positioning dari meminta menjadi memberikan tangannya, maka masalahnya bisa dipecahkan. 
Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa mengulurkan tangan tidak hanya berkaitan dengan kesadaran dan kemauan, tetapi juga mentalitas. Mentalitas memberi memang seharusnya ditumbuhkembangkan sehingga menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.

3 komentar:

  1. Muantab jian top markotop tenan p, naim, .., usul, pie lek blog iki di jadikan
    http://ngainun-naim.info
    Kiro2 kok mantab, aku siap membantu (100% gratis), hehehe
    by. Goendul Kang

    BalasHapus
  2. "mengubah positioning dari meminta menjadi memberikan tangannya." Sebuah pelajaran dari postingan ini pak. Suwun...

    BalasHapus
  3. Bisnis IT@ usul ditampung. Untuk sementara biar begini dulu. Mundak ngrepoti Panjenenganipun he he he.... Jaka Tarub@ Suwun kembali, Mas Imoet.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.