Kehidupan
masyarakat sekarang ini bergeser menjadi lebih individualis. Kebersamaan dan
saling menolong dengan penuh ketulusan yang dulu menjadi ciri khas masyarakat
kita semakin menghilang. Konsentrasi kehidupan masyarakat sekarang ini lebih didominasi pada
bagaimana mencapai mimpi-mimpi materialis.
Pergeseran
kehidupan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor
perubahan sosial yang berlangsung secara masif. Arus modernitas yang menjadi pendorong
utamanya. Implikasi nyata
dari arus modernitas adalah kehidupan yang kian mekanis. Interaksi antara satu
orang dengan orang lainnya lebih didasari oleh kepentingan, bukan ketulusan.
Orang bergaul karena memiliki kesamaan kepentingan karier, politik, bisnis,
ekonomi, dan kepentingan yang bersifat tentatif lainnya. Sementara relasi yang
berbasis ketulusan sebagaimana kehidupan di pedesaan semakin tidak mendapatkan
tempat.
Implikasi lebih
jauh dari kondisi ini adalah adanya aspek yang semakin hilang dari kehidupan
manusia. Secara substansial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain. Pada
kondisi tertentu, kebutuhan ini semakin terasa. Hilangnya kehangatan dalam
kebersamaan akan membuat manusia merasakan keterasingan.
Manusia yang
teralienasi tidak akan dapat menemukan makna hidup. Manusia semacam ini,
menurut Hanna Djumhana Bastaman (2001: 197), akan mengalami semacam frustasi yang disebut frustasi eksistensial. Keluhan utama
yang dirasakan adalah kehidupan yang hampa dan tak bermakna (meaningless) yang merupakan gerbang
utama ke arah penderitaan.
Dalam pandangan
Logoterapi, lanjut Bastaman, hidup tak bermakna bukanlah suatu penyakit,
melainkan semacam kondisi kehidupan manusia yang dapat menjelmakan gangguan neurosis, sikap totaliter, dan gaya hidup konformistis.
Seorang konformis ditandai oleh perbuatan-perbuatannya yang semata-mata
karena orang lain melakukannya. Ia mudah sekali terbawa arus situasi dan
”pantang ketinggalan mode”. Sebaliknya, pribadi totaliter senantiasa berbuat
sesuatu karena orang-orang lain mengharapkannya berbuat seperti itu dan mereka
bersedia menaatinya. Adapun gangguan neurosis yang bersumber dari kondisi hidup
tak bermakna disebut Neurosis noogenik
(Noogenic neurosis). Secara khas gejala-gejalanya adalah serba bosan,
hampa, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, kehilangan arti dan tujuan
hidup, gairah kerja menurun. Keluhan ini mereka alami sekalipun taraf
sosial-ekonomi dan edukasi mereka serba baik, dan tak ada peristiwa traumatis
sebagai pencetusnya. Tak jarang pula penderita neurosis noogenik menggugat
kelahiran mereka ke dunia ini.
Mengejar
cita-cita, bekerja keras, dan bermimpi besar merupakan sebuah keharusan demi mewujudkan
kesuksesan hidup. Sukses hidup tidak ada yang datang dengan tiba-tiba, pasif,
dan pasrah. Kesuksesan merupakan konsekuensi dari usaha keras.
Namun demikian,
banyak orang yang mencurahkan sebagian besar energinya untuk mewujudkan sukses
hidup dengan mengabaikan terhadap aspek lainnya. Padahal, kesuksesan yang
diraih belum tentu mampu membuatnya bahagia dalam makna yang sesungguhnya.
Sangat mungkin begitu kesuksesan diraih, justru kesuksesan itu tidak ada
nikmatnya.
Ada cukup banyak
kasus yang menguatkan hal ini. Kita bisa belajar—salah satunya—dari pengalaman Lee Atwater, pemimpin Partai Republik di Amerika Serikat semasa
pemerintahan George Bush. Atwater pernah bercita-cita untuk meraih dua
ambisinya yang hebat sebelum berumur 40 tahun, yakni menjadi manajer kampanye
presiden yang menang dan menjadi pemimpin Partai Republik. Tahun 1988 ketika
George Bush menjadi presiden, dia berhasil mewujudkan ambisinya yang pertama.
Usianya kala itu masih sangat muda, yaitu 37 tahun. Tidak lama kemudian dia
mencapai ambisinya yang kedua, yaitu menjadi pemimpin Partai Republik, sebuah
jabatan yang amat bergengsi di Amerika Serikat.
Namun sayang,
tidak lama dia menikmati kejayaannya. Pada tanggal 5 Maret 1990 tanda-tanda
pertama penyakitnya mulai muncul. Ia terserang tumor otak. Sejak saat itu
cerita Atwater bukanlah cerita sukses dalam ”safari politik” tetapi ”cerita
perjalan” sang Pemimpin dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain.
Walaupun dokter-dokter dan peralatan medis yang paling baik dan canggih mencoba
mengobati penyakitnya, penyakitnya tak mau enyah.
Sebelum sakit,
Atwater adalah politisi hebat yang bisa melihat setiap kesempatan untuk maju
dan bisa meraihnya dengan menyisihkan lawan-lawan politiknya. Hidupnya penuh
kewaspadaan dan sebagian besar waktunya diabdikan buat karirnya. Keluarga dan
sobat-sobatnya menjadi orang asing baginya.
Sekarang, pada
saat dirinya lemah tak berdaya untuk melakukan tugasnya, bahkan untuk hidup
normal pun tak bisa, dia mulai berpaling kepada keluarga dan sobat-sobatnya.
Juga kepada Tuhan.
Pada saat
berkampanye untuk Bush, dia sering mengatakan bahwa kalau Bush bersikap
lunak-lembut dalam pidato-pidatonya, dia tak akan menang. Kini, saat sakit tak
berdaya, Atwater sadar betapa salah sarannya kepada Bush dulu. Dia kini sadar
betapa pentingnya sikap lembut kepada sesama. Dia bahkan mengatakan, ”Dalam
hidup ini tak ada sesuatu yang lebih penting daripada manusiaw. Tak ada yang
lebih manis daripada sentuhan manusiawi.”
Apa yang dilakukan
Atwater bukanlah ”hiasan bibir” semata sebab dia pernah mengalami hidup ”di
ranjang mawar”, mempunyai posisi puncak, kekayaan, ketenaran. Akan tetapi, ini
semua dibayarnya dengan mahal. Keluarga dan sobat-sobatnya menjadi tersisih.
Dia menyadari kekeliruannya dan mengatakan bahwa manusia adalah yang terpenting
dalam hidup ini pada saat segalanya telah terlambat: ketika dia sedang menunggu
malaikat yang hendak menjemputnya. Lee Atwater meninggal tanggal 29 Maret 1991
(Wishnubroto Widarso, 1997: 11-12).
Kisah hidup Lee
Atwater memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada kita. Keberadaan orang
lain memiliki peranan penting terhadap kehidupan kita. Orang lain yang memiliki
ketulusan melengkapi keberadaan kita sebagai makhluk sosial. Pengakuan,
apresiasi, penghormatan, dan penghargaan terhadap eksistensi kita membuat
posisi sebagai manusia terasa lebih lengkap.
Manusia sejak
semula ada dalam suatu kebersamaan. Ia senantiasa berhubungan dengan
manusia-manusia lain dalam wadah keluarga, persahabatan, lingkungan kerja,
rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan
sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat pengaruh dari
lingkungannya. Tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak
kepada lingkungan sekitarnya.
Berhubungan dengan
sesama manusia senantiasa penuh dinamika. Tidak selalu semuanya berjalan baik
dan harmonis. Tidak jarang terjadi perbedaan. Munculnya konflik dan kekerasan
yang belakangan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan
bagaimana perbedaan tidak dijadikan sebagai potensi untuk membangun kekayaan
khazanah hidup. Padahal, perbedaan merupakan bagian dari hukum Tuhan yang tidak
mungkin untuk dihindari. Oleh karena itu, perbedaan harus dijadikan sebagai
sarana untuk memperkaya kehidupan.
Berkaitan dengan
hal ini, penting merenungkan pendapat filsuf Deepak Chopra. Beliau menyatakan,
”Kalau kamu melayani sesama, kamu mendapatkan balasan yang lebih banyak. Kalau
kamu memberikan hal yang baik, maka hal yang baik akan mengalir kepadamu”.
Peduli
sesama harus dilakukan tanpa pamrih. Tanpa pamrih berarti tidak mengharapkan
balasan atas pemberian atau bentuk apapun yang kita lakukan kepada orang lain.
Jadi, saat melakukan aktivitas sebagai bentuk kepedulian, tidak ada keengganan
atau ucapan menggerutu. Semuanya dilakukan dengan cuma-cuma, tanpa pamrih, hati
terbuka, dan tanpa menghitung-hitung. Kepedulian sejati itu tidak bersyarat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.