Surat edaran yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait publikasi karya
ilmiah menimbulkan pro dan kontra secara luas. Dalam surat yang ditujukan
kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia tersebut dinyatakan
bahwa yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 adalah
mempublikasikan karya ilmiahnya.
Disebutkan dalam surat edaran yang ditandatangani Djoko
Santoso tersebut bahwa saat ini jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia
masih sangat rendah. Bahkan, hanya sepertujuh dari jumlah karya ilmiah
perguruan tinggi di Malaysia. Oleh karena itu, ketentuan ini bertujuan untuk
meningkatkan jumlah karya ilmiah di Indonesia.
Secara terperinci, bunyi surat tersebut adalah: (1) Untuk
lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal
ilmiah. (2) Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang
terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. (3)
Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk
terbit pada jurnal internasional.
Surat edaran tersebut menarik dicermati dalam konteks
membangun tradisi membaca dan menulis. Sudah bukan rahasia lagi jika membaca
dan menulis belum tumbuh secara baik dalam kultur akademik pendidikan tinggi
kita. Makalah dan tugas akhir penulisan karya ilmiah yang sebenarnya telah
menjadi bagian dari kegiatan akademis banyak yang dikerjakan asal-asalan. Bahkan
tidak jarang dengan comot sana-sini, plagiat, atau meminta bantuan orang lain.
Dalam kerangka semacam ini, surat edaran tersebut
memiliki peran strategis. Diharapkan di kalangan mahasiswa kita akan tumbuh
tradisi menulis dan pada ujungnya, mutu lulusan pun meningkat. Sebab, salah
satu kriteria mutu seorang lulusan adalah mampu menghasilkan karya ilmiah yang
dipublikasikan dan dibaca secara luas.
Tetapi ditinjau dari perspektif teori Pierre Bourdieu,
kebijakan tersebut menyisakan beberapa agenda yang harus diperjuangkan untuk
penyelesaiannya. Dalam kerangka Bourdieu, menulis masih belum menjadi habitus.
Habitus adalah hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak
selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang
kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Dari
perspektif ini, menulis yang menjadi habitus dilakukan sebagai suatu kebiasaan
sehari-hari. Menulis dapat dilakukan dengan mudah dan tidak banyak memiliki
kesulitan.
Realitas dunia akademis selama ini menunjukkan bahwa
menulis masih belum menjadi habitus. Banyak mahasiswa mengeluh jika ada tugas
membuat makalah. Selain itu, ada juga pandangan bahwa menulis itu hanya bisa
dilakukan oleh mereka yang memang memiliki bakat.
Sebenarnya tidak mudah mengurai rumitnya persoalan
menulis di kalangan mahasiswa, baik pada tingkat S1, S2, dan S3. Ada banyak
faktor yang saling berkaitan. Namun demikian bukan berarti tidak bisa
diselesaikan. Harus ada keberanian untuk memutus kebekuan dan ketertinggalan
dalam persoalan menulis ini.
Namun demikian, membangun tradisi menulis sesungguhnya
bukan persoalan yang sederhana. Untuk mengubah kebiasaan kurang baik terkait
tradisi menulis, perlu ditemukan simpul-simpul perubahan habitus dalam
interaksi sosial. Ada tiga tiga bentuk interaksi sosial yang dominan yang perlu
dicermati agar mampu membawa perubahan, yaitu interaksi komunikasi, kekuasaan,
dan sanksi/moralitas.
Ajakan mengubah kebiasaan harus disertai pemberian
fasilitas atau penggunaan sistem yang mampu menjamin untuk terciptanya tradisi
menulis. Dalam kerangka ini, sarana untuk pemuatan karya tulis semestinya juga
sudah disediakan. Berkaitan dengan lulusan S1, Ditjen Dikti Djoko Santoso
mengatakan bahwa yang penting namanya jurnal. Agar efektif dan efisien, beliau
menyarankan jurnal online. Untuk
menjaga mutu jurnal online, menurut
Djoko, mahasiswa dapat meminta bantuan dari para pakar untuk mengkaji karya
ilmiahnya. Menurutnya, para pakar akan dengan senang hati memberikan bantuan
terlebih jika diberi janji namanya tercantum sebagai pengkaji dalam jurnal yang
akan terbit. "Saya rasa para pakar akan membantu meski tanpa dibayar.
Karena mereka akan terkenal, semua orang ingin terkenal," ujarnya.
Tampaknya aspek yang perlu dipikirkan adalah
implementasinya. Mengelola jurnal secara online
dan menjaga mutu tulisan yang dimuat membutuhkan penanganan secara serius.
Misalnya saja dari satu perguruan tinggi setiap tahun meluluskan 500 orang,
maka ada 500 karya yang harus dimuat.
Menjaga tulisan bermutu, tidak plagiat, dan memenuhi kaidah penulisan
karya ilmiah membutuhkan penanganan yang serius.
Sementara bagi mahasiswa S2 yang akan lulus
dipersyaratkan untuk menulis di jurnal ilmiah nasional, khususnya yang
terakdreditasi. Tentu saja, ini merupakan sebuah saran bagus. Jika mampu
terlaksana, akan banyak pemikiran-pemikiran bermutu yang bisa diakses publik
secara luas. Tetapi yang perlu mendapat perhatian, menulis di jurnal ilmiah
nasional, apalagi yang terakreditasi, bukan pekerjaan mudah. Pengalaman penulis
menunjukkan bahwa jurnal yang terakreditasi menerapkan syarat yang cukup ketat.
Semua naskah dikoreksi tim ahli dan mitra bestari yang terdiri dari para pakar
di bidangnya. Jika tidak lolos koreksi berarti tidak bisa dimuat. Jika pun
dimuat, masih harus melakukan perbaikan sesuai catatan mitra bestari. Proses
dari naskah masuk sampai akhirnya dimuat di jurnal membutuhkan waktu yang tidak
pendek. Sebab, sebuah jurnal ilmiah rata-rata terbit setahun dua kali. Itupun
tulisan yang dimuat hanya sekitar sepuluh judul.
Jurnal terakreditasi sendiri jumlahnya terbatas.
Informasi terakhir menyebutkan bahwa jumlah jurnal akreditasi nasional di
Indonesia tidak lebih dari 100 buah. Di lingkungan perguruan tinggi agama, misalnya,
jumlahnya hanya sekitar 20 buah. Jumlah jurnal yang terbatas jelas tidak
sebanding dengan jumlah mahasiswa yang akan lulus. Pihak Diktis seharusnya
memikirkan secara serius persoalan ini.
Bagi mahasiswa S3, persoalannya juga hampir sama. Jurnal
internasional itu jumlahnya terbatas sekali. Proses pemuatan sebuah tulisan
memakan waktu bertahun-tahun. Apakah seseorang baru bisa lulus menjadi doktor
dengan menunggu dimuatnya tulisan tersebut?
Ditinjau dari perspektif ini, simpul perubahan untuk
membangun habitus menulis dari perspektif sarana masih harus diperjuangkan
pemenuhannya. Jika tidak, surat edaran tersebut akan kurang efektif pada tataran
aplikasinya.
Di sisi lain, perubahan itu juga harus disertai sanksi
bagi pelanggarnya. Pelanggaran akan merugikan diri sendiri, dan imbalan bagi
yang mematuhi. Jangan sampai tekanan hanya terfokus pada pemberian sanksi bagi
pelanggar. Artinya, bagi mahasiswa yang akan lulus dan berprestasi seharusnya
mendapatkan penghargaan yang memadai sesuai dengan prestasi dan jerih payahnya.
Sementara bagi yang tidak menjalankan, harus ada sanksi yang jelas. Perubahan
efektif bukan melalui imbauan, refleksi atau evaluasi, tetapi mulai dengan
menemukan simpul-simpul pengikat praktik-praktis menulis yang selama ini ada di
perguruan tinggi.
Spirit surat edaran tersebut sesungguhnya sangat bagus,
yakni bagaimana lulusan S1, S2, dan S3 mampu menerbitkan karyanya di berbagai
jurnal. Lebih jauh, hal itu diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan
perguruan tinggi. Tetapi masih banyak hal yang harus dipenuhi agar dalam
pelaksanaannya berjalan secara efektif.
Bagaimana caranya tulisan kita bisa diterbitkan dalam jurnal ilmiah pak?
BalasHapusUntuk selevel kampus saja misalnya. Apakah perlu seleksi ketat?
Caranya ya punya tulisan, terus dikirimkan. Bisa langsung temui saya. Trims.
BalasHapus