Selasa, 14 Februari 2012

MAHASISWA, TRADISI MENULIS, DAN MUTU LULUSAN


Surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait publikasi karya ilmiah menimbulkan pro dan kontra secara luas. Dalam surat yang ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 adalah mempublikasikan karya ilmiahnya.
Disebutkan dalam surat edaran yang ditandatangani Djoko Santoso tersebut bahwa saat ini jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, hanya sepertujuh dari jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia. Oleh karena itu, ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah di Indonesia.
Secara terperinci, bunyi surat tersebut adalah: (1) Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. (2) Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. (3) Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Surat edaran tersebut menarik dicermati dalam konteks membangun tradisi membaca dan menulis. Sudah bukan rahasia lagi jika membaca dan menulis belum tumbuh secara baik dalam kultur akademik pendidikan tinggi kita. Makalah dan tugas akhir penulisan karya ilmiah yang sebenarnya telah menjadi bagian dari kegiatan akademis banyak yang dikerjakan asal-asalan. Bahkan tidak jarang dengan comot sana-sini, plagiat, atau meminta bantuan orang lain.
Dalam kerangka semacam ini, surat edaran tersebut memiliki peran strategis. Diharapkan di kalangan mahasiswa kita akan tumbuh tradisi menulis dan pada ujungnya, mutu lulusan pun meningkat. Sebab, salah satu kriteria mutu seorang lulusan adalah mampu menghasilkan karya ilmiah yang dipublikasikan dan dibaca secara luas.
Tetapi ditinjau dari perspektif teori Pierre Bourdieu, kebijakan tersebut menyisakan beberapa agenda yang harus diperjuangkan untuk penyelesaiannya. Dalam kerangka Bourdieu, menulis masih belum menjadi habitus. Habitus adalah hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Dari perspektif ini, menulis yang menjadi habitus dilakukan sebagai suatu kebiasaan sehari-hari. Menulis dapat dilakukan dengan mudah dan tidak banyak memiliki kesulitan.
Realitas dunia akademis selama ini menunjukkan bahwa menulis masih belum menjadi habitus. Banyak mahasiswa mengeluh jika ada tugas membuat makalah. Selain itu, ada juga pandangan bahwa menulis itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memang memiliki bakat.
Sebenarnya tidak mudah mengurai rumitnya persoalan menulis di kalangan mahasiswa, baik pada tingkat S1, S2, dan S3. Ada banyak faktor yang saling berkaitan. Namun demikian bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Harus ada keberanian untuk memutus kebekuan dan ketertinggalan dalam persoalan menulis ini.
Namun demikian, membangun tradisi menulis sesungguhnya bukan persoalan yang sederhana. Untuk mengubah kebiasaan kurang baik terkait tradisi menulis, perlu ditemukan simpul-simpul perubahan habitus dalam interaksi sosial. Ada tiga tiga bentuk interaksi sosial yang dominan yang perlu dicermati agar mampu membawa perubahan, yaitu interaksi komunikasi, kekuasaan, dan sanksi/moralitas.
Ajakan mengubah kebiasaan harus disertai pemberian fasilitas atau penggunaan sistem yang mampu menjamin untuk terciptanya tradisi menulis. Dalam kerangka ini, sarana untuk pemuatan karya tulis semestinya juga sudah disediakan. Berkaitan dengan lulusan S1, Ditjen Dikti Djoko Santoso mengatakan bahwa yang penting namanya jurnal. Agar efektif dan efisien, beliau menyarankan jurnal online. Untuk menjaga mutu jurnal online, menurut Djoko, mahasiswa dapat meminta bantuan dari para pakar untuk mengkaji karya ilmiahnya. Menurutnya, para pakar akan dengan senang hati memberikan bantuan terlebih jika diberi janji namanya tercantum sebagai pengkaji dalam jurnal yang akan terbit. "Saya rasa para pakar akan membantu meski tanpa dibayar. Karena mereka akan terkenal, semua orang ingin terkenal," ujarnya.
Tampaknya aspek yang perlu dipikirkan adalah implementasinya. Mengelola jurnal secara online dan menjaga mutu tulisan yang dimuat membutuhkan penanganan secara serius. Misalnya saja dari satu perguruan tinggi setiap tahun meluluskan 500 orang, maka ada 500 karya yang harus dimuat.  Menjaga tulisan bermutu, tidak plagiat, dan memenuhi kaidah penulisan karya ilmiah membutuhkan penanganan yang serius.
Sementara bagi mahasiswa S2 yang akan lulus dipersyaratkan untuk menulis di jurnal ilmiah nasional, khususnya yang terakdreditasi. Tentu saja, ini merupakan sebuah saran bagus. Jika mampu terlaksana, akan banyak pemikiran-pemikiran bermutu yang bisa diakses publik secara luas. Tetapi yang perlu mendapat perhatian, menulis di jurnal ilmiah nasional, apalagi yang terakreditasi, bukan pekerjaan mudah. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa jurnal yang terakreditasi menerapkan syarat yang cukup ketat. Semua naskah dikoreksi tim ahli dan mitra bestari yang terdiri dari para pakar di bidangnya. Jika tidak lolos koreksi berarti tidak bisa dimuat. Jika pun dimuat, masih harus melakukan perbaikan sesuai catatan mitra bestari. Proses dari naskah masuk sampai akhirnya dimuat di jurnal membutuhkan waktu yang tidak pendek. Sebab, sebuah jurnal ilmiah rata-rata terbit setahun dua kali. Itupun tulisan yang dimuat hanya sekitar sepuluh judul.
Jurnal terakreditasi sendiri jumlahnya terbatas. Informasi terakhir menyebutkan bahwa jumlah jurnal akreditasi nasional di Indonesia tidak lebih dari 100 buah. Di lingkungan perguruan tinggi agama, misalnya, jumlahnya hanya sekitar 20 buah. Jumlah jurnal yang terbatas jelas tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang akan lulus. Pihak Diktis seharusnya memikirkan secara serius persoalan ini.
Bagi mahasiswa S3, persoalannya juga hampir sama. Jurnal internasional itu jumlahnya terbatas sekali. Proses pemuatan sebuah tulisan memakan waktu bertahun-tahun. Apakah seseorang baru bisa lulus menjadi doktor dengan menunggu dimuatnya tulisan tersebut?
Ditinjau dari perspektif ini, simpul perubahan untuk membangun habitus menulis dari perspektif sarana masih harus diperjuangkan pemenuhannya. Jika tidak, surat edaran tersebut akan kurang efektif pada tataran aplikasinya.
Di sisi lain, perubahan itu juga harus disertai sanksi bagi pelanggarnya. Pelanggaran akan merugikan diri sendiri, dan imbalan bagi yang mematuhi. Jangan sampai tekanan hanya terfokus pada pemberian sanksi bagi pelanggar. Artinya, bagi mahasiswa yang akan lulus dan berprestasi seharusnya mendapatkan penghargaan yang memadai sesuai dengan prestasi dan jerih payahnya. Sementara bagi yang tidak menjalankan, harus ada sanksi yang jelas. Perubahan efektif bukan melalui imbauan, refleksi atau evaluasi, tetapi mulai dengan menemukan simpul-simpul pengikat praktik-praktis menulis yang selama ini ada di perguruan tinggi.
Spirit surat edaran tersebut sesungguhnya sangat bagus, yakni bagaimana lulusan S1, S2, dan S3 mampu menerbitkan karyanya di berbagai jurnal. Lebih jauh, hal itu diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi. Tetapi masih banyak hal yang harus dipenuhi agar dalam pelaksanaannya berjalan secara efektif.

2 komentar:

  1. Bagaimana caranya tulisan kita bisa diterbitkan dalam jurnal ilmiah pak?
    Untuk selevel kampus saja misalnya. Apakah perlu seleksi ketat?

    BalasHapus
  2. Caranya ya punya tulisan, terus dikirimkan. Bisa langsung temui saya. Trims.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.