Kamis, 25 Juni 2020

Ikhtiar Lahir Batin Mendidik Anak


Ngainun Naim


Salah satu titik pembeda antara negara maju dengan negara Indonesia yang sedang berkembang adalah perspektif. Perspektif ini menentukan cara pandang dan sikap masyarakat dalam menghadapi setiap persoalan. Saya ingin mengambil satu contoh, yaitu Jepang. Sama seperti Indonesia, Jepang juga sering menghadapi bencana tsunami. Tetapi perspektif pemberitaan yang dikembangkan jauh berbeda. Jika Anda mencermati bagaimana Jepang mempublikasikan bencana tsunami, Anda akan menemukan berita mengenai bagaimana korban bencana rela antri secara tertib menerima bantuan, bagaimana puing-puing bekas bencana segera dibersihkan, dan tidak sampai satu minggu jalan-jalan rusak sudah diaspal kembali. Sementara di Indonesia yang diberitakan justru bagaimana mayat-mayat bergelimpangan, korban-korban yang tidak tertangani secara baik, dan bantuan yang disunat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Perbandingan ini sesungguhnya bermuara pada perspektif. Jika perspektif positif dan optimis yang selalu disebarluaskan kepada masyarakat, maka di masyarakat juga akan tumbuh spirit untuk maju. Sayangnya, hal semacam ini kurang mendapatkan apresiasi dari media. Media lebih suka mengangkat hal-hal yang justru menimbulkan keriuhan, perdebatan, dan bombastis.
Pada kondisi semacam ini, saya cukup apresiatif ketika media memberitakan hal-hal yang bersifat positif. Misalnya tentang orang-orang berprestasi, kreativitas di masyarakat, temuan-temuan baru, dan tulisan-tulisan yang membangkitkan optimisme.
Jika berbicara fasilitas, generasi sekarang ini lebih dimudahkan dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Temuan-temuan terbaru dalam berbagai bidang kehidupan berdatangan dengan sangat cepat. Saat satu temuan belum tersosialisasi secara luas, sudah datang temuan jenis baru.
Coba Anda simak dunia teknologi informasi dan komunikasi. Betapa sangat cepat perkembangannya. Saat saya masih belajar mengetik pakai komputer, sudah muncul i-Pad dan entah apalagi. Saya sendiri sering tersenyum mengamati anak-anak SD memegang tablet dan mengoperasikannya di tempat-tempat umum. Betapa generasi sekarang ini sangat luar biasa dimudahkan oleh fasilitas. Di usia yang sama dengan mereka, mendengar nama komputer pun belum, apalagi memegang dan mengoperasikannya. Bahkan saya dengan jujur harus bilang kalau salah satu cita-cita saya saat kuliah adalah bisa mengoperasikan komputer.
Mungkin kedengarannya lucu, tapi saat itu, di awal tahun 1990-an, komputer memang masih barang langka. Mesin ketik menjadi alat bantu untuk mengerjakan berbagai tugas, khususnya makalah kuliah. Komputer hanya ada di kantor-kantor atau lembaga kursus komputer. Komputer pribadi juga masih sangat jarang. Karena itu, orang yang bisa mengoperasikan komputer termasuk makhluk langka. Wajar jika di awal-awal kuliah, saya punya obsesi untuk kursus komputer.
Tapi keadaan zaman berubah dengan cepat. Sekarang, kondisinya tentu berbeda sangat jauh dibandingkan beberapa tahun lalu. Semuanya berlangsung tanpa bisa diprediksi secara pasti.
Tetapi ada hal yang menimbulkan keresahan saya pada generasi muda sekarang ini, yaitu moralitasnya. Generasi muda yang berprestasi memang banyak, tetapi yang bermasalah juga tidak kalah banyak. Mengkonsumsi narkoba, tawuran, kekerasan antargeng, seks bebas, gaya hidup hedonis, mental jalan pintas, mengabaikan ajaran agama, dan berbagai perilaku yang tidak sesuai ajaran agama semakin banyak terjadi.
Saya berdoa semoga anak saya, anak saudara-saudara saya, dan juga para murid-murid saya dapat menjalani kehidupan sekarang ini tetap dalam jalur agama. Mereka menjadi manusia-manusia shaleh yang berprestasi. Ini salah satu harapan saya.
Saat mengharapkan generasi yang semacam ini, saya mendapatkan inspirasi yang menyentak. Sebuah buku karya Ustadz Yusuf Mansur, Undang Allah Saja, Belajar Syukur Belajar Yakin (Jakarta: Dzikrul Hakim, 2012) menyadarkan saya betapa saya selama ini masih jauh dari baik. Saya banyak berharap kepada anak saya, kepada anak saudara saya, kepada murid-murid saya dan kepada para generasi muda Muslim, tetapi rupanya harapan saya hanya harapan yang minimal. Saya tidak melakukan harapan tersebut dengan totalitas.
Mungkin saya memang telah mengajar anak saya dan para murid saya, tetapi usaha saya tidak masuk ke wilayah yang lebih fundamental, yaitu wilayah ajaran agama. Saya kurang khusyuk dalam ibadah dan kurang serius berdoa. Tulisan Yusuf Mansur berikut ini, betul-betul menohok kesadaran saya.

Hampir di setiap pagi saya cium ubun-ubunnya anak-anak saya, dan saya bacakan al-Fatihah. Sebagai doa juga buat mereka. Bahkan tidak jarang anak saya menagih untuk dibacakan doa oleh anak saya. Subhanalallah, pastilah kedekatan saudara dengan anak-anak saudara, lebih dekat ketimbang saya dengan anak-anak saya.

Entah mengapa, kata-kata ini seolah mempermalukan saya. Ya, saya selama ini kurang dekat. Saya kurang memaksimalkan hubungan batin dengan anak saya. Saya harus semakin memperkaya doa buat mereka agar menjadi generasi berprestasi yang shaleh. Karena itu, saran Yusuf Mansur berikut ini saya kira penting untuk disimak.

Waba’du,  sering-sering mendoakan anak. Sering-sering mengusap anak sambil baca istighfar, sambil baca shalawat, sambil baca al-Qur’an. Anak-anak kita gak cuma butuh makanan fisik saja. Ia butuh doa kita semua.

Meyakini dengan doa saja tidak cukup. Doa itu penting. Saya kira sebagai Muslim yang baik, tidak ada yang meragukan statemen ini. Semua meyakininya. Bahkan anjuran doa itu disebutkan di al-Qur’an dan hadis di banyak tempat. Bahkan, buku-buku tuntunan doa yang saya cermati juga banyak yang laris manis di pasaran. Saya kira ini bukti konkrit bahwa doa itu penting, dan banyak orang yang ingin mengamalkan doa sebagaimana tuntunan dalam al-Qur’an dan hadis serta doa-doa yang diamalkan oleh orang-orang alim.
Tetapi seharusnya juga dipahami bahwa doa bukanlah segala-galanya. Doa adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam hidup manusia. Tetapi jangan hanya berserah kepada Allah semata tanpa melakukan usaha. Jadi, doa harus ditindaklanjuti dengan usaha.
Dengan demikian, ketika kita ingin menghasilkan generasi berprestasi yang shaleh, mendoakan mereka saja tidak cukup. Harus ada lebihnya, yaitu usaha-usaha sebagai bagian dari upaya mewujudkan harapan. Melalui usaha yang selalu diiringi dengan doa, kita berusaha sebaik-baiknya dalam kerangka mewujudkan harapan.
Terkait dengan usaha ini, saya menemukan inspirasi menarik dari sebuah buku mini yang ditulis oleh Fuad Nashori, psikolog Muslim dari Universitas Islam Indonesia. Buku ini saya sebut mini karena memang ukurannya yang mini, seukuran buku saku. Total seluruh isinya ada 80 halaman. Tetapi buku ini mengandung nilai dan manfaat yang tidak mini, bahkan menurut saya maksi alias sangat besar. Saya membaca secara pelan, sedikit demi sedikit, di sela-sela waktu yang memungkinkan.
Buku ini berjudul Profil Orang Tua Anak-anak Berprestasi (Yogyakarta: Insania Cita, 2005). Beberapa tahun lalu, saat masih studi di Yogyakarta, saya pernah menemukan buku ini. Tetapi saat itu tidak membelinya. Saya tidak ingat persis mengapa tidak jadi membeli buku itu. Mungkin juga karena keuangan yang terbatas sebagaimana ciri khas anak kos. 
Pada bab dua buku Fuad Nashori dijelaskan mengenai ”Penuturan Pakar tentang Ciri-Ciri Orangtua yang Sukses Mendidik Anak”. Saya membaca bagian ini dengan cermat. Kembali saya mendapatkan penjelasan yang menegaskan mengenai pentingnya peran keluarga. ”Keluarga merupakan bagian yang paling penting dari ”jaringan anak”, sebab keluarga merupakan lingkungan pertama anak”, tegas Nashori. 
Penjelasan Nashori ini memang sudah pernah saya ketahui hampir 20 tahun lalu saat saya studi S-1, hanya sekarang ini saya mendapatkan penjelasan ini dalam konteks yang lain. Penjelasan berikutnya yang menurut saya cukup menarik, yakni karakteristik keluarga yang anak-anaknya berprestasi. Berkaitan dengan hal ini, Nashori menulis:

Profil orangtua sukses sering dicapai oleh mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah, memiliki pekerjaan sebagai pendidik dan pengawai negeri, berada di pinggiran kota atau di kota kecil (secara sosiologis), sangat mencintai, menghargai, menerima, dan memperhatikan anaknya, dapat menjalani hidup secara prihatin, menekankan pentingnya kedisiplinan dan kemandirian kepada anak, memberikan teladan yang baik, menekankan etik moral kepada anak dalam berperilaku, member penghargaan dan meminimalkan hukuman fisik kepada anak.

Coba Anda cermati kutipan yang saya ambil dari halaman 13-14 buku Pak Nashori. Pada kutipan di atas,  keluarga yang anaknya sukses kebanyakan berasal dari kelas ekonomi menengah. Bukan berarti keluarga dari kelas atas atau kelas bawah tidak sukses. Tidak sedikit anak-anak yang sukses berasal dari keluarga atas. Dan jika ini terjadi, itu hal biasa karena mereka memang memiliki fasilitas berlebih untuk mencapai sukses. Kelebihan dari aspek fasilitas ini dalam realitasnya justru kurang bernilai positif. Orangtua dari kelas atas kebanyakan kurang memperhatikan dinamika dan perkembangan psikologi anak. Mereka kebanyakan disibukkan dengan beraneka kegiatan sehingga kurang memberikan perhatian terhadap prestasi anak-anaknya. Prestasi anak tidak hanya ditentukan oleh materi, tetapi juga perhatian dan kasih sayang orang tua.
 Atau sangat mungkin juga sukses diraih anak-anak dari keluarga kelas bawah. Tetapi karena konsentrasi kehidupan pada bagaimana mempertahankan kehidupan, maka prestasi anak pada keluarga bawah biasanya bukan menjadi perhatian utama. Kalaupun anak-anak keluarga bawah bisa sukses, kebanyakan bukan karena faktor materi yang memadai, tetapi paduan dari berbagai faktor lain yang saling mendukung.
Semua keluarga, baik dari kalangan atas, menengah, ataupun bawah, semuanya berharap agar anak-anaknya berhasil dalam hidup. Berkaitan dengan ikhtiar untuk mewujudkan harapan ini, kajian ilmiah berupa pendapat banyak pakar yang dilakukan oleh Nashori menyebutkan beberapa langkah penting yang dilakukan oleh orangtua. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, religiusitas dan moral etik sebagai dasar berperilaku. Pada umumnya keluarga dari anak-anak sukses hidup dengan patokan kelakuan yang jelas. Pada keluarga semacam ini tertuang harapan agar anak-anak hidup dan bekerja berdasarkan keyakinan sendiri dan tidak menaati peraturan orang tua secara buta. Tata kelakuan yang jelas itu dapat dilihat dari mana yang salah dan mana yang benar, disiplin keluarga yang konsisten dan ditaati secara baik. Namun demikian, anak-anak juga diberi keleluasaan untuk berinisiatif. Kalau terdapat konflik antara ”tata aturan baku” dan ”ruang keleluasaan”, pihak keluarga memiliki peluang untuk mendiskusikannya lebih jauh.
Keluarga orang-orang sukses memiliki dasar pengetahuan dan kemauan mempraktikkan ajaran agama secara tekun. Selain rajin beribadah, nilai-nilai keutamaan hidup juga menjadi titik tekan keluarga orang-orang sukses. Nilai-nilai yang dimaksud, antara lain, kejujuran, penghargaan kepada mutu, keinginan tahu secara intelektual, dan ambisi yang sehat.
Coba Anda cermati aspek pertama ini. Ya, sama dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya, yakni aspek religius (salah satu bentuknya adalah doa) ternyata menjadi dasar kesuksesan. Religius dan moral etik membuat seseorang dapat menjalani hidup ini dengan secara lebih penuh penghayatan dan kematangan. Pendapat pertama ini sekaligus meneguhkan bahwa aspek ini seharusnya kembali mendapatkan penekanan. Kehidupan kita sekarang ini rasanya semakin menjauhkan diri dari urusan religiusitas. Hidup sekarang ini seolah dikepung dalam dahaga materialisme yang tidak akan pernah terpuaskan.
Kedua, kemandirian. Bagi budaya Indonesia, kemandirian memang kurang mendapatkan prioritas. Pola budaya yang penuh keakraban, kekeluargaan, dan kebersamaan menjadikan kemandirian dalam makna yang sesungguhnya kurang mampu terbangun. Kondisi semacam ini tentu berbeda dengan budaya negara maju. Di Jepang, misalnya, kemandirian begitu ditekankan. Dan hal ini sudah dimulai sejak kecil.
Anak-anak sukses pada umumnya sudah dilatih untuk mandiri oleh orang tuanya. Pola mandiri ini memungkinkan seorang anak mampu mengatasi berbagai persoalan, baik persoalan keseharian, pergaulan, hingga persoalan belajar. Kemampuan ini menjadikan anak mampu mencapai prestasi lebih bagus dibandingkan anak-anak yang memiliki tingkat kemandirian yang rendah.
Ketiga, komunikasi interpersonal. Dalam psikologi sosial dikenal konsep kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berkomunikasi antar pribadi secara efektif. Individu, termasuk anak dan remaja, yang sukses banyak yang bermodalkan kompetensi ini. Kompetensi ini berkembang karena tumbuh kembangnya konsep diri, kuantitas dan kualitas hubungan anak dengan orangtua, dan interaksi dengan teman sebaya.
Faktor keempat yang disebutkan oleh Fuad Nashori adalah motif berprestasi. Jika seseorang ingin sukses dalam bidang tertentu, maka ia harus memiliki motif. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan ”motif berprestasi” itu? Nashori membuat definisi yang sangat sederhana dan mudah dipahami, yaitu ”kebutuhan untuk melakukan aktivitas dengan kualitas yang setinggi-tingginya” (hlm. 19). Oleh karena itu, aspek penting yang harus dilakukan adalah menyemai munculnya kebutuhan bagi anak-anak untuk berprestasi. Banyak anak yang sarat prestasi tetapi tidak menjadi anak berprestasi karena memang ia tidak memiliki motif untuk menjadi anak yang berprestasi. Sebaliknya, banyak anak yang potensi dirinya sesungguhnya biasa saja, tetapi karena motifnya untuk berprestasi sangat tinggi, ia mampu mengatasi berbagai hambatan dan tantangan dalam mewujudkan hasrat dan mimpinya untuk berprestasi.
Motif akan terbangun kuat dalam diri anak jika sejak dini orang tua sudah memompa motivasi anak akan pentingnya berprestasi. Sarana yang cukup efektif adalah dengan cerita. Cerita memang sederhana, tetapi dampaknya sangat besar dalam membangun imajinasi anak. Orang tua yang rajin membacakan cerita mengenai perjuangan menuju sukses biasanya juga akan menghasilkan anak yang sukses.
Tentu saja, cerita hanyalah salah satu cara saja. Ada banyak cara lain yang dapat ditempuh. Prinsipnya adalah bagaimana anak memiliki spirit dan motif untuk berprestasi.
Kelima, kreativitas. Masyarakat kita tampaknya kurang memandang secara apresiatif terhadap kreativitas. ”Kreativitas bukan termasuk ciri kepribadian anak yang paling diinginkan oleh orang tua dan guru”, papar Nashori dengan mengutip pendapat Utami Munandar. Tetapi jika orang tua menyadari, ini adalah kunci penting untuk mengantarkan anak menjadi anak-anak yang berprestasi.
Keenam, kedisiplinan dan kerajinan. Banyak orang tua dan pendidik yang sangat percaya bahwa kedisiplinan atau pengikat diri kepada norma-norma atau aturan-aturan sebagai salah satu hal utama dalam menggapai keberhasilan. Dan ini memang sesuai secara teori maupun praktik.
Ketujuh, prihatin dan kesabaran. Mengutip pendapat Supra Wimbarti, Nashori menyatakan bahwa para orangtua di Jawa sangat menekankan pentingnya keprihatinan dan kesabaran dalam mendidik anak. Kesabaran berarti mampu bertahan sekalipun dalam keadaan sulit dan penuh dengan cobaan.
Kedelapan, pengambilan resiko.
Demikian catatan sederhana ini. Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih-shalihah dan memberikan manfaat buat kehidupan. Amin.

Tulungagung, 25 Juni 2020

Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Literasi dari Brunei Darussalam (2020),  Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), dan Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019). Untuk komunikasi via email: naimmas22@gmail.com. WA: 081311124546.

17 komentar:

  1. Sentuhan spiritual barangkali yang kini jarang diperhatikan, dalam mendidik anak. Melalui tulisan ini, kita digugah kembali akan pentingnya spiritualitas dalam membimbing perkembangan anak.

    BalasHapus
  2. Semoga anak-anak kita menjadi generasi penerus tidak hanya memiliki kompetensi akademik,sosial, tetapi juga kompetensi keagamaan shg mjd generasi yang berkarakter.

    BalasHapus
  3. Dari catatan yang demikian lengkap. Ada dua point yang nyerempet saya.
    Pertama, kesuksesan anak karena doa orang tua Guru SMA saya mengingatkan, sukses anak anak disebabkan orang tuanya tirakat, prihatin. Almarhum Abah, setelah maghrib tidak pernah turun dari tempat solat sampai isya'. Sepanjang waktu itu, terdengar munajat doa untuk orang tua dan anak keturunannya. Makanya selalu terdengar doa lirih "Allahumjalni wa awladi wa dhuriyyati min ahlil ilmi wa ahlil khoir wala taj'alni wa iyahum....." panjang dan diulang seperti wirid.
    Kedua, motivasi berprestasi kunci yang saya pegang terus sampai saat ini. Tidak tahu seberapa berat yang saya hadapi, bila ingat itu, semangat lagi. Hidup hanya sekali, buatlah berarti. Motiv ini membuat saya tak cepat puas. Dalam hal beramal dan berkarya saya lihat yang lebih berhasil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mantap. Tulisan ini pengingat bagi saya untuk memperbanyak ikhtiar batin.

      Hapus
  4. Aamiin...

    anak-anak selalu mewarnai hidup dalam berkeluarga...

    BalasHapus
  5. Kabul Trikuncahyo25 Juni 2020 pukul 18.34

    Hmm... Bahan renungan ini Tadz.

    BalasHapus
  6. Makanan yang dimakan anak juga bisa berpengaruh. Dia diberi makanan baik tapi dengan cara TDK halal akan membentuk karakter anak lebih susah dididik.
    Maka semoga kita semua SBG orang tua bisa memberikan ke anak anak kita nafkah baik dan halal.
    Aminn

    BalasHapus
  7. karen pak, pengalaman dan pembelajaran yang luar biasa

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.