Sabtu, 30 Mei 2020

Perjuangan Selalu Dibutuhkan


Ngainun Naim

Dua hari yang sangat melelahkan. Kamis (28 Mei 2020) dan Jumat (29 Mei 2020), saya dan Kikin—adik bungsu—menjalani aktivitas mengurus Taspen Almarhum Bapak. Kamis jam 09.30 saya meluncur dari Trenggalek menuju Tulungagung.
Informasi mendadak dari Kikin bahwa Taspen harus segera diurus membuat saya segera meninggalkan aktivitas di rumah. Sesampai di Tulungagung sudah hampir jam 11.00 WIB. Setelah siap, kami berdua langsung menuju Kantor Taspen yang ada di Kediri.
Perjalanan secara umum cukup lancar. Tidak ada banyak halangan. Jalanan cukup lengang. Padahal jalan raya Tulungagung Kediri pada hari biasa—apalagi pada jam 11.00—cukup padat. Pandemi ternyata mampu mengurangi mobilitas manusia.
Sesampai di Alun-Alun Kota Kediri, saya membelokkan mobil ke kiri. Beberapa puluh tahun lalu saya mengantar Bapak mengurus pensiun, tetapi saya tidak ingat persis jalan menuju ke Kantor Taspen. Saya hanya ingat lokasinya ada di timur jalan.
Berbekal bantuan Google Map, kami sampai lokasi. Tidak terlalu sulit.  Begitu sampai, saya menemukan sedikit memori tentang kantor itu. Banyak sekali perubahannya. Ya saya kira wajar karena sudah cukup lama.
Kikin langsung menuju pos pelayanan. Di sana dijelaskan berbagai hal yang harus dipenuhi. Berkas yang dibawa belum mencukupi. Lewat selembar kertas berisi syarat-syaratnya, kami pun pulang.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Puasa membuat tubuh saya lemas. Sesampai di rumah saya langsung istirahat. Sementara kondisi Mbah Uti—panggilan saya pada Ibuk—sedang sakit. Beliau mengalami kesulitan untuk berjalan. Bahkan sekadar bangun saja kesulitan. Sepertinya tulang belakang beliau kembali mengalami persoalan.
Setelah mandi sore saya ajak beliau untuk periksa. Beliau minta ke Klinik dr. Gendut. Setelah telepon, dapat urutan nomor 3. Kami berangkat jam 19.00 WIB. Sesampai di klinik segera diperiksa. Sekitar jam 20.00 kami sudah sampai di rumah.
Jumat pagi hari kami sibuk mencari berkas pendukung. Berjam-jam kami mencermati satu demi satu berkas. Persoalan yang utama adalah SK terakhir. Cukup lama kami mencarinya. Akhirnya ketemu juga. Belum lagi berkas-berkas yang lain yang harus dilengkapi.
Setelah merasa lengkap, kami berangkat. Surat dari desa sudah beres. Kami menuju KUA Sumbergempol. Di sinilah akar masalah terjadi. Ternyata di surat nikah, nama Bapak berbeda ejaan. Kata Kikin, karena perbedaan data itu, petugas administrasi KUA tidak mau melegalisir. Agar bisa dilegalisir, kami harus ke desa untuk meminta salinan surat nikah ke desa. Setelah itu meminta surat ke Polsek, lalu legalisir ke Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tulungagung.
Gusti Allah. Masih sangat panjang jalannya.
Saya bisa saja memanfaatkan relasi, tapi saya tidak mau. Saya bilang ke Kikin agar melakukannya secara prosedural. Jangan merepotkan orang lain.
Saya pulang dengan tubuh lemes. Lemes selemes-lemesnya. Ternyata masih jauh yang harus dilalui. Tadi pagi sebelum subuh saya hanya sahur mie goreng saja, tanpa nasi. Lengkap sudah kelemesan itu 😅😅😅😅.
Saya teringat Bapak mengalami persoalan semacam ini saat akan mendaftar haji. Saya harus kesana-kemarin untuk menyelesaikannya. Butuh beberapa waktu sampai kemudian beres. Bapak Ibu pun akhirnya bisa mendaftar haji.
Ingatan saya kembali menemukan bahwa saat itu ada beda ejaan antara Bapak dan Ibu. Kemungkinan surat nikah ada berkas perbaikannya. Jika berkas perbaikan ditemukanJadi tidak perlu mencari lagi yang baru.

Sesampai di rumah jam 10.30, kami langsung beraksi. Berkas demi berkas kami cermati. Hasilnya: NIHIL. Tidak ada saudara-saudara. Tidak ada pilihan lagi. Saya meminta Kikin melalui jalur prosedural ke Balai Desa.
Kikin berangkat ke Balai Desa. Saya terus berdzikir. Semoga ada pertolongan. Dan alhamdulillah, persoalan ternyata semakin rumit. Di Balai Desa tidak ada berkas pernikahan karena pernikahan berlangsung di Desa Bendiljati Kulon. Berarti kami harus mengurus ke sana. Allahu Akbar.
Saya beranjak dengan tubuh lemas mengajak Kikin ke Kediri. Sebelum berangkat saya minta doa kepada Ibu agar urusan lancar. Sepanjang jalan, dengan tubuh yang lemas, saya melantunkan dzikir agar urusan bisa lancar.
Saat mengendarai mobil, kaki saya gemetar. Benar-benar lemes. Tidak ada pilihan. Kalau dipaksakan bisa membahayakan perjalanan. Saya memutuskan membatalkan puasa.
Usai makan soto, kami melanjutkan perjalanan menuju Kantor Taspen Kediri. Saya kelelahan di perjalanan. Tetap di mobil sambil merebahkan tubuh. Alhamdulillah, setelah melalui perjuangan, juga berkat doa ibu, urusan cukup lancar. Tinggal satu saja yaitu Ibu belum memiliki rekening.
Kikin menjelaskan kepada petugas bahwa Ibu sedang masa ‘iddah. Jadi tidak mungkin keluar untuk mengurus membuka rekening. Setelah melalui pertimbangan, petugas tersebut justru berbaik hati memberikan formulir pembukaan rekening. Tinggal diisi dan ditanda tangani oleh Ibu.
Alhamdulillah, urusan lancar. Perjalanan pulang terasa landai. Tubuh ini sangat lelah, tetapi terasa lega. Sore menjelang magrib kami sampai di rumah. Selasa depan kami akan ke Kantor Taspen lagi. Semoga semuanya lancar. Mohon doanya.
Juga doa agar Ibu segera sembuh. Malam ini, setelah saya tanya, katanya kondisi beliau sudah lumayan. Alhamdulillah.

Tulungagung, 29 Mei 2020

18 komentar:

  1. Semoga puasa syawwal nya tetap di terima

    BalasHapus
  2. Luar biasa pengorbanannya pak. Semoga Allah melancarkan urusan bapak.

    BalasHapus
  3. Sabar nggih pak semoga ada keberkahan aaamiiin

    BalasHapus
  4. Sy pernah merasakan hal yg sama pak 2 tahun lalu. Insya Allah niat puasanya sdh diijabah

    BalasHapus
  5. Yaa Alloh...smoga negara membuka telinganya. Hingga dapat bijaksana kpd rakyatnya. Sebagaimana tujuan negera ini merdeka. Ini rakyat negri ini sendiri. Yg telah di kontrak seluruh jiwa raganya seumur hidup nya untuk mengabdi.

    Apa yg terjadi dan terpotret dlm cerita ini adalah gunung es penderitaan rakyat memperjuangkan hak nya. Hak nya sendiri. Bukan hak orang lain. Alih, alih negara hadir membayarkan hak pd rakyat dan abdinya. Tapi kok justru se miris ini yang terjadi.

    Saya mmbayangkan andai hal spt ini terjadi pd kluarga yg tdk kuat dan sehat. Tdk punya alat transportasi, tdk tahu menahu urusan biro krasi. Kira2 bisa memakan korban. Jantungan, saking emosinya.

    Menurut saya ini tugas sejati pemerintah. Hadir dan menjadi pahlawan bagi rakyatnya. Buat apa bicara yg jauh jauh dan besar2, jika yg berhubungan dg hak mendasar rakyat saja amburadul.

    Bukankan cukup dg satu lembar surat pernyataan bermaterai dari kluarga (ahli waris) menyatakan ini dan itu dg sebenarnya. Dan jika di kemudian hari di temukan kesalahan siap bertanggung jawab sebagai mana mestinya...dst.

    ----------

    Nderek ndedongo mugi2 mbah uti enggal pinaringan kesehatan. Dan smua urusan segera d lancarkan. Aamiin.

    BalasHapus
  6. Ya,urusan birokrasi dan pernsk prrniknya memang menggerus kesabaran

    BalasHapus
  7. Pasti orang tua bangga memiliki putra dan putri seperti bapak. Selamat pak. Jadi ikutan lemes membayankannya

    BalasHapus
  8. Mudah mudahan seperti covid 19, datanya melandai.

    BalasHapus
  9. Terinspirasi kaleh panjenegan pak...mugi berkah...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.